Catatan Harian Cucu Durhaka
Â
[caption caption="Peti"][/caption]
Senin, 8 Februari '16
Dear Diary...
Kuberi tahu kau satu rahasia. -Meski tentu saja bukan lagi rahasia lagi namanya begitu kuceritakan padamu-. Hari ini dua puluh lima tahun usiaku. Persis seperempat abad. Dan kuhabiskan lebih dari setengahnya untuk membenci seseorang. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah ibu kandung mamaku. Iya, nenekku sendiri.
Hey! Jangan buru-buru menuduhku cucu durhaka begitu. Kau kan tidak pernah bertemu langsung dengannya. Si Mbah Bawang Merah, aku diam-diam menjulukinya (awas! Jangan sampai kauberi tahu siapapun soal ini), karena perangainya benar-benar bertolak belakang dengan Mbah Bawang Putih, nenekku dari pihak ayah yang kalem dan pendiam. Mbah Bawang Merah ini, walau tubuhnya kurus pendek, ia dianugerahi Tuhan dengan talenta kecerewetakecerewetan luar biasa. Dia tidak akan pernah kehabisan kosakata untuk "ngerasani" tetangga atau sekadar mencela rasa masakan anak cucunya. Ada saja yang dikeluhkan atau dicacinya. Membuat lelah telinga siapa saja yang mendengar.
Oh iya, kata-kata mutiara Si Mbah itu juga berlaku untuk semua binatang peliharaan di rumah. Puluhan ayam akan menerima sumpah serapah berbonus sabetan sapu lidi jika jam setengah 5 sore belum masuk kandang atau nangkring di pelepah batang sawit. Aku bahkan tak tahu apa yang kerap dilakukan Mbah pada delapan kucing dan lima anjingku. Karena mereka semua akan lari bersembunyi jika melihat sosok Mbah di kejauhan.
Tapi sejujurnya, bukan perangai buruknya yang menorehkan luka di hatiku. Melainkan sikapnya yang pilih kasih dan sangat tidak adil hingga menumbuhkan bibit dengki dan menyuburkan akar pahit. Jadi Si Mbah ini hanya punya empat orang cucu. Hanya cucu pertama yang laki-laki, tiga sisanya (termasuk diriku) adalah perempuan. Bisa ditebak, cucu lelaki yang kakak kandungku sendiri itu yang menjadi kesayangannya. Oh, jangan berani-berani menyentuh atau melukai Sang Cucu kesayangan meski hanya secubit kuku jika tak mau menyesal seumur hidup.
Di mata Mbah, benar-benar tidak ada hal lain yang lebih berharga selain Putu Lanang (Cucu Lelaki) kesayangan. Cucu perempuan sepertiku, sekalipun yang paling banyak mengorbankan waktu untuknya, mencucikan pakaiannya, menyeduhkan kopinya setiap hari, memasak makanan khusus untuknya...sama sekali tak dia pedulikan. Hanya satu nama yang akan dilafalkannya setiap hari. Dan itu jelas, bukan Arako.
Â
Nb.
Hari ini Imlek. Aku tidak kemana-mana. Hujan deras seharian. (Si Mbah hujan-hujanan. Ngeyel, meski sudah dilarang Mama).
*
Minggu 21 Februari '16
Dear diary...
Sebenarnya aku sangat kagum dengan daya ingat Si Mbah. Di usianya yang 85 tahun lebih itu, dia sama sekali belum pikun. Daya ingatnya luar biasa. Dia masih fasih mengucapkan kalimat-kalimat seperti "Ohayo gozaimasu", "Kore wa nan desuka", atau "sayonara", yang akrab di telinganya saat zaman Jepang berkuasa. Saat itu Mbah sudah duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat. Pun Si Mbah masih lancar berkisah tentang pakaian karung goni, atau tetangganya yang jadi korban pemenggalan tentara karena dituduh PKI.
Sayangnya, kapasitas memori yang luar biasa untuk orang seusianya itu malah lebih sering dipakai untuk mengingat-ingat kenangan pahit yang bikin sakit hati. Utang orang yang tidak dibayar, misalnya. Padahal anak cucunya sudah berusaha kasih tahu, yang begitu cuma akan bikin sakit. Ya badan, ya pikiran. Ikhlaskan saja, sudah tua juga. Sudah tidak pantas memikirkan perkara seperti itu.
Seperti hari ini. Si Mbah minta ditelponkan Bibi Lis (adik mama yang di Bengkulu). Minta dikembalikan uang pembuatan peti mati yang tiga tahun lalu Mbah pesan. Mamaku bilang nggak usah dipikirin, memangnya kalau Mbah meninggal di Palembang sini nggak dibuatkan peti?
"Ya tapi kan lain," kata Mbah dengan nada bersiap merutuk. "Uang yang sama Lis itu uangku sendiri. Uang simpananku hasil kerja. Nggak minta sama anak-anakku. Benar-benar khusus disiapkan untuk peti kalau nanti aku mati!"
Tak ingin pecah perang mulut, mama mengakhirinya dengan, "Sudah dipesankan sama orang Gereja sini. Sebentar lagi selesai. Nggak usah mikir macem-macem lagi, Mak...."
Â
***
Selasa, 22 Maret 2016
Dear diary...
Hari kedua Pekan Suci Prapaskah.
Dan di sini aku sedang bete tingkat dew. Hari ini Si Mbah buat ulah lagi. Sore tadi, sekitar jam lima turun hujan. Intensitasnya nanggung. Lebat tidak, tapi terlalu deras untuk disebut gerimis. Coba tebak apa, Ry? Iyup. Benar sekali. Si Mbah mandi hujan di luar dengan asyiknya.
"Mbah, jangan hujan-hujanan. Dingin. Nanti rematiknya kumat," tegurku untuk ke-sejuta kalinya.
Dan, untuk ke-sejuta kalinya pula, jawaban bernada "ngeyel" yang sama terucap dari mulut Si Mbah. "Mana hujan? Cuma gerimis begini."
Ah. Si Mbah memang pecinta hujan. Sesuatu yang diwariskannya kepadaku. Memang tidak ada yang lebih nikmat dibanding menggigil di bawah guyuran airnya. Hanya saja, aku merasa tubuh renta yang semakin rapuh dimakan waktu itu jelas akan memburuk jika masih nekat mandi hujan. Bukan soal airnya, tapi angin dingin yang bertiup nakal itu pasti membuatnya sakit.
Tapi niat baikku itu sama sekali tak digubrisnya. Mbah tak mau dengar. Dia tetap hujan-hujanan meski kupaksa berteduh. Pada kaca mata Mbah, aku hanyalah cucu cerewet yang menghalangi kesenangannya.
*
Jumat, 25 Maret '16
Â
Dear diary...
Jumat Agung. H-2 Paskah.
Si Mbah jatuh sakit. Dua hari kemarin dia sudah tidak keluar kamar. Badannya lemas dan mengeluh pusing. Jadi hanya tiduran saja. Makan dan minum kuantar ke kamarnya, tapi sedikit sekali yang ditelan. Pasti karena hujan-hujanan tempo hari. Huh. Begitulah akibatnya kalau ngeyel. Sekarang kalau sudah merasakan sakit begitu, mau menyalahkan siapa?
*
Minggu, 27 Maret '16
Dear diary...
Kondisi Mbah semakin memburuk. Batuk dan sesak nafas setiap malam, namun menolak obat. Menolak pula saat hendak dibawa ke dokter. Buburnya dimuntahkan. Hanya air putih hangat yang mampu diterima oleh lambungnya.
Sepulang ibadah Paskah di Gereja, Pak Pendeta dan istrinya menjenguk Si Mbah. Setelah didoakan, Si Mbah bilang kalau waktunya ia dijemput sudah dekat.
*
Selasa, 29 Maret '16
Dear Diary...
Aku lelah. Sudah tiga malam tidurku tak nyenyak. Apalagi kalau bukan karena Si Mbah. Setiap malam dia terlihat begitu tersiksa. Terutama dalam setiap tarikan nafasnya yang terlihat sangat berat, juga batuknya yang tak kunjung reda. Pasti dada dan perutnya kaku dan sakit.
Aku heran. Dalam keadaan seperti itu, Si Mbah masih tak henti bersumpah-serapah meski hanya dalam igau. Tapi kalau dipikir-pikir, Mbah memang bukan orang yang religius. Jadi tak heran kelakuannya seperti itu. Bukannya orang religius itu akan terlihat dari sikap dan perilakunya sehari-hari? Mbah mengaku Kristen, tapi jarang sekali aku melihatnya berdoa. Mbah ke Gereja, tapi sepulangnya sudah "ngerasani" orang lagi.
Kautahu, Ry? Aku benar-benar ketakutan tadi malam. Bukan karena mendengar nyanyian burung aneh yang hinggap di bubungan rumah itu. Tapi karena mendengar Mbah, yang dalam ketakberdayaannya menahan sakit...antara sadar dan tidak... malah mengucapkan sesuatu dalam kepercayaan lamanya yang belum mengenal Tuhan. Aku ketakutan, bagaimana nasib Si Mbah nanti setelah meninggal kalau dia tak mengandalkan Tuhan?
Si Mbah orang yang keras kepala (sama denganku sih). Dia tak akan mau mendengar omongan orang lain. Tidak pernah mau dikritik atau diberi saran. Tapi sudah tak banyak lagi waktu tersisa. Aku harus melakukan sesuatu jika tak ingin menyesal. Sebenci-bencinya aku pada Si Mbah, aku tak mau kalau Mbah berakhir di neraka.
Maka pagi tadi, secara khusus aku meminta mama yang selama ini paling banyak mendampingi Mbah, untuk membimbing Mbah agar kembali mengingat Tuhan. Kusemangati mama, agar tak menyerah. Agar bersabar menghadapi respon apapun yang diterimanya. Kami berdoa bersama, agar Mbah tak mengeraskan hati.
Sorenya, dari kamarku, aku bisa mendengar penggalan pembicaraan dari kamar sebelah antara mama dan Si Mbah.
"...Iya, Mak...sakit. Tapi aku nggak bisa nolong. Cuma Tuhan yang bisa..." kata Mama pelan.
"Sudah mau dijemput aku ini..." Mbah tersengal.
"Iya, dijemput. Tapi dijemput sama siapa kalau nggak percaya Tuhan, Mak? Berdoa, Mak...minta Malaikat Tuhan yang 'njemput. Ya, Mak? Berdoa ya?" Mamaku berbicara seperti membujuk seorang anak kecil.
Si Mbah diam saja.
*
Rabu, 30 Maret '16
Dear Diary...
Belum ada perkembangan tentang Mbah semalam. Dia masih sama gelisahnya dengan malam-malam sebelumnya.
Pagi tadi, mama masak sayur daun katuk dan kates muda, yang dicampur umbi mirip lengkuas yang disebut "Kunci". Baunya sangat khas dan menyengat. Aku tidak suka. Tapi itu sayur kesukaan Si Mbah.Resep turun temurun warisan keluarga di Jawa. Mama berharap Mbah bisa berselera makan dengan menghirup baunya.
Benar saja, Mbah yang selama ini hanya berbaring, jadi duduk begitu menghirup aroma kunci. Saat hendak makan, Mama membimbing Mbah mengucapkan Doa Bapa Kami. Ah, tapi rupanya Si Mbah tidak perlu dibimbing. Memori otaknya masih sama dengan sebelum sakit. Mbah akhirnya meneruskan Doa sendiri, bahkan latah melafalkan 12 butir Pengakuan Iman Rasuli (bentuk pengakuan iman umat Protestan anggota PGI).
Aku dan mama berpandangan lega. Setidaknya ada kemajuan. Lebih lega lagi ketika Si Mbah menghabiskan sayur kunci hingga dua mangkuk meski hanya kuahnya.
Sore harinya, perkumpulan Ibu-ibu dari Gereja menjenguk. Saat mereka berpamitan, Si Mbah bilang "Terima kasih ya, Nak. Mbah sudah tidak bisa membalas apa-apa lagi. Biar Tuhan sendiri nanti yang memberkati..."
Menjelang malam, sekitar jam tujuh kurang, aku mendengar Mbah menangis.
"Gusti Yesus... Hamba sudah tidak kuat lagi. Ampuni semua dosa dan kesalahan hamba, Gustiii... Ampuni hambamu ini...kasihanilah hamba yang berdosa ini..." ucapnya diantara isak.
Aku ingin masuk ke kamar Mbah dan memeluknya. Tapi tidak jadi. Air mataku sendiri mengucur deras tanpa sadar.
*
Kamis, 31 Maret '16
Dear Diary,
Kupikir keadaan Mbah akan membaik tadi malam setelah dia meminta ampun pada Tuhan. Ternyata tidak. Tadi malam malah seperti malam terburuknya. Mbah merintih dan mengaduh... Ditambah mengeluarkan kotoran tubuh dalam jumlah tak biasa yang sangat menjijikkan dan membuat mual. Seluruh isi tubuhnya seperti dikuras saja. Mengerikan.
Tapi tak kudengar lagi sumpah serapah dari mulutnya. Hanya ucapan lemah menyebut Tuhan. Hanya Tuhan saja yang diserukannya. Sungguh kepasrahan yang total.
Pagi hari tadi, Mbah tak bergerak. Nafasnya pelan, satu-satu. Entah memang sudah tenang, atau hanya sekadar lelah. Mbah sudah tidak bisa bicara lagi. Mbah mengompol, tapi anehnya sama sekali tak berbau. Sungguh berbeda dengan apa yang dikeluarkannya tadi malam.
Siangnya, tetangga yang seorang tukang datang ke rumah. Papa meminta tolong dibuatkan sebuah peti mati. Aku diam saja. Firasatkah?
Petangnya, mama dan papa keluar membeli beberapa kebutuhan. Hanya aku dan Si Mbah di rumah. Si Mbah masih tak bergerak...
Lalu, mendadak saja. Gelenyar dingin tak wajar menghinggapi tubuhku. Nyanyian burung aneh itu semakin jelas saja.Isyarat alamkah ini? Pertanda kematian yang semakin dekat.
 Dan tanpa sengaja tertatap olehku sebuah buku lagu dari gereja di atas rak. Aku meraihnya... Membuka-buka lembarannya...lalu menyanyikannya. Spontan begitu saja tanpa berpikir apa-apa. Ah, lagu rohani kadang liriknya benar-benar menguatkan. Kukeraskan volume suaraku, berharap Si Mbah di kamar sebelah bisa mendengarnya.
Satu lagu selesai, kulanjutkan lagu lain di lembar berikutnya, berikutnya lagi...,
Â
dan berikutnya lagi. Begitu terus hingga tak sadar belasan lagu sudah kunyanyikan. Namun ketika sampai pada lagu I'm Pressing on the Upward Way ciptaan Johnson Oatman Jr pada tahub 1898, yang pada terjemahan Indonesianya berbunyi :
"Ya Tuhan angkat jiwaku...
Lebih dekat kepadaMu
Tegakkan hidupku kini
di tempat yang lebih tinggi"
Membuatku tak sanggup bernyanyi lagi. Lagunya berganti isak. Air mataku meleleh dengan derasnya, seiring ingatanku melayang pada masa aku kelas 3 atau 4 SD. Aku teringat Si Mbah yang kini terbaring lemah di kamar sebelah, pernah menyanyikan lagu itu seorang diri di hadapan jemaat Gereja. Si Mbah menyanyi sambil menangis kala itu. Entah apa yang dipikirkannya saat menyanyikannya... Aku tidak bertanya. Tidak sempat bertanya...
Lalu seperti flashback, aku bisa melihat cuplikan hidupku di masa lalu bersama Mbah dengan sangat jelas di kedua mataku. Berganti ganti seperti dalam film.
Aku kecil yang menangis ketakutan melihat Si Mbah mulutnya penuh "darah" karena menyirih (hey. Setelah itu, aku tak bisa mengingat lagi kapan Mbah menyirih. Kemungkinan besar Si Mbah berhenti karena tak ingin melihatku ketakutan).
Aku yang susah payah belajar menganyam ketupat bersama Mbah (oh,,sekarang aku sudah jago).
Aku yang berbaring telungkup dengan kaki diurut Mbah. Tak terhitung berapa kali tulang dan sendiku yang cedera akibat jatuh (anak pecicilan sepertiku berharap tak pernah jatuh? Mustahil) terselamatkan berkat teknik urut Mbah. Bahkan terakhir, bulan Januari lalu aku masih diurutnya karena terjatuh dari motor.
Aku teringat dongeng-dongen Mbah tentang zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Ceritanya tentang Bengkulu tempoe doeloe. Nasehat-nasehatnya untuk menjaga diri sebagai perempuan. Pengajarannya agar perempuan harus menjadi tangguh dan mandiri agar tak terlalu tergantung pada lelaki (Mbah sudah ditinggal mati suaminya sejak 30 tahun yang lalu)...juga pesannya agar tak salah memilih pendamping hidup....termasuk bujukannya agar aku meninggalkan profesi jurnalisku untuk bekerja yang bisa  di rumah saja...
Segalanya ditujukan padaku. Untukku..., untuk kebaikanku....
Malam ini, aku menyadari bahwa Mbah menyayangiku. Mungkin memang tak sebesar cintanya pada kakakku...tapi tetap saja, Si Mbah menyayangiku. Aku harusnya tahu. Rasa sayang berlebih pada kakakku itu semata dipicu oleh meninggalnya 3 anak Mbah -saudara mamaku- yang semuanya laki-laki. Â Sayang, selama ini aku menolak memahami... Hatiku terlanjur dibutakan oleh iri hati.
Malam ini, aku berucap doa pada Tuhan, karena hanya Dia sajalah tempat mengadu sekaligus tempat penghiburan yang sejati. "Jika sudah saatnya Engkau mau memanggil Mbahku, mudahkanlah jalannya, Tuhan. Akhiri penderitaanya. Ampuni dosa-dosanya. Pastikan Engkau menyelamatkannya, Tuhan... Aku siap kehilangan Mbah untuk jumpa lagi kelak di hidup yang kekal. Amin"
Â
***
Jumat.,1 April '16
Â
Dear diary...
Mamaku bertanya pagi ini, "Kok Mbah tenang sekali tadi malam? Nyenyak sekali tidurnya. Nggak batuk, nggak sesak juga... Kamu apakan?"
"Oh., aku nyanyikan banyak lagu. Mbah kan kalau nidurkan anak kecil pasti pakai nyanyi..." jawabku.
Setelah itu, mama menelpon Bi Lis untuk kesekian kalinya sejak Mbah jatuh sakit. Mengabari kondisi terakhir Mbah. Termasuk menyusun skenario persiapan "what if Si Mbah bla bla bla".
Sorenya, kakakku pulang. Aneh. Padahal biasanya hanya hari Sabtu dia pulang ke rumah. Tadi pagi di BBM dia juga bilang baru bisa pulang besok.
"Kok pulang, Kak? Tadi katanya besok...," tanyaku.
"Mmm...nggak tahu ya? Aku sendiri heran... Pulang kantor mau balik ke asrama malah sampai sini...."
Sinting, batinku.
Semuanya biasa saja. Makan malam, lalu nonton film downloadan.
Tiba-tiba, Kakak mendengar sesuatu dan berujar "Ma, Mbah..."
Kami yang di ruang depan langsung buru-buru ke kamar Mbah. Mbah yang berada di pelukan mama... Menarik nafas panjang satu kali..., menghembuskannya..., lalu terkulai lemas. Sudah. Begitu saja.
Aku melirik jam di HPku. 21.30 WIB. Masih terhitung tanggal 1 April. Sayangnya bukan April Mop... Si Mbah benar-benar sudah dijemput. Mbah hanya memastikan "Putu Lanangnya" pulang di hari kematiannya. Bulan sabit tersenyum tipis di atas sana. Setipis senyum Mbah yang perlahan membeku.
Â
***
Â
Sabtu, 2 April '16
Dear diary...
Aku sudah bilang kalau aku siap kehilangan Mbah. Toh, sejak beberapa hari yang lalu aku sudah meraba isyarat alam. Tapi tetap saja, aku tak menyangka setergesa itu. Semalam aku tak tidur. Sungguh pengalaman tak terlupakan, memandikan dan mengganti baju mayat di malam hari hanya berdua dengan mama (papa dan kakak pergi mengabari pendeta dan Pak RT).
Aku tahu yang kaupikirkan, Diaryku. Pasti kau akan bilang itu menyeramkan. Well, memang sih...aku mungkin akan berpikir hal yang sama jika tidak melihat sendiri wajah Mbahku. Sungguh tidak menyeramkan sama sekali. Wajahnya sangat cerah, kulit keriputnya segar dan bersih. Dan...lihatlah... Mbah tersenyum. Dengan semua gigi sudah tanggal -membuatnya seperti tak punya bibir-, sama sekali tak mengurangi kecantikannya. Aku tak akan banyak bicara. Kau lihat sendiri saja fotonya.
Pernahkah kau melihat seseorang yang begitu damai dipeluk kematian seperti itu, Ry?
Aku sendiri masih syok...karena semasa hidupnya, wajah Mbah tak pernah seberseri itu. Aku tahu, itu karena Mbah pulang dalam keadaan bersih. Tak hanya bersih secara fisik (saat memandikannya, tak kami jumpai kotoran dalam bentuk apapun. Mungkin karena sudah dikeluarkan semuanya kemarin lusa itu), melainkan bersih secara jiwa. Di hari-hari terakhir hidupnya, Mbah sudah mengakui dosanya dan meminta ampun. Dan Tuhan pasti sudah mengampuninya... Ya. Pasti begitu. Tidak ada penjelasan lain yang lebih masuk akal dari ini.
Hari ini pemakaman. Emosiku belum stabil... Hingga tak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di rumah. Tapi tetap saja...aku sungguh keheranan melihat tetangga dan kerabat tak henti datang dari semalam. Padahal kami hanya mengabari Pendeta dan Pak RT saja.
"Kami tahu karena tadi pagi diumumkan lewat toa masjid. Coba dikasih tahu dari semalam, pasti langsung ke sini," kata seorang Ibu berjilbab.
Toa? Masjid? Pengeras suara di masjid maksudnya? Otakku berusaha mencerna informasi itu. Lalu berubah takjub...luar biasa masyarakat dusunku ini. Padahal semua tahu kalau kami berbeda keyakinan. Hanya sekelompok kecil minoritas... Padahal kami juga tahu fungsi pengeras suara Masjid sesungguhnya....
Tak cukup sampai di sana saja, Ry. Kau akan kaget kalau kuberitahu yang membuatkan peti untuk Mbah, juga menggalikan kuburnya, termasuk yang meminjamkan mobil untuk mengantar kami ke pemakaman...semuanya adalah orang-orang Muslim. Betapa baiknya mereka. Tak tahu bagaimana harus membalas.
Kepedulian mereka...perhatian mereka... Keikhlasan mereka (hey. Mereka semua menolak dibayar...kami benar-benar mengeluarkan uang hanya untuk bahan2nya)... Menunjukkan bahwa kasih dan kebaikan tanpa pamrih itu nyata adanya. Sungguh sebuah bahasa universal yang menyejukkan hati. Keindahan yang melampaui segala jurang perbedaan agama juga budaya.
Aku tak terlalu ingat saat upacara penutupan peti. Tapi saat melihat peti dibawa ke kuburan sekitar pukul 2 siang...Untuk pertama kalinya aku menyadari... bahwa sesungguhnya memang pantaslah seorang Cucu laki-laki mendapat kasih sayang yang lebih. Karena dari tiga cucu perempuan Mbah, tak satu pun yang bisa membantu menggotongkan petinya hingga ke liang lahat.
Dengan semua yang terjadi ini, sadarlah aku bahwa selama ini aku sudah menjadi cucu durhaka. Tapi aku sudah mengakuinya di hadapan Tuhan dan mohon ampun. Aku meyakini Tuhan mengampuni segala dosa-dosaku kepada Mbah. Biarlah ini hanya menjadi catatan pengingat diri. Aku akan berbakti pada mereka, orang terkasih yang masih hidup. Cukuplah catatan ini mengajariku, agar kelak tak menambahinya dengan catatan anak durhaka, adik durhaka atau istri durhaka. Ya. Aku berjanji.
Lalu upacara pemakaman dimulai. Langit cerah sejak pagi mendadak saja mendung. Ketika peti perlahan diturunkan ke liang lahat..., hujan deras mengguyur kami semua yang hadir di kompleks pemakaman.
Aku ingin tertawa...
Rasanya baru kemarin kubilang "Mbah, jangan hujan-hujanan."
Tapi sekali ini aku tak akan melarangnya. Biarlah. Si  Mbah pecinta hujan itu..., untuk sekali ini hanya bermain hujan untuk kembali padaNya, Sang Pemilik Segala Tetes Air Hujan. Selamat jalan, Mbah.
Â
[caption caption="Selamat Jalan Mbah"]
Â
Â
:: In memoriam our beloved grandma... Karminah a.k.a Mbah Diko. +-1928 - 2016.
Â
***
Â
Kunjungi postingan peserta lain di akun Kompasiana FC dengan judul: Inilah Perhelatan Festival My Diary di Kompasiana dan Karya Para PesertaÂ
Jangan lupa bergabung di grup FB:Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H