Mohon tunggu...
Anom B Prasetyo
Anom B Prasetyo Mohon Tunggu... Peneliti, penulis, editor -

Lahir pada 12 Mei 1983. Penulis dan peneliti. Email: kalibenings@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

KISAH DARI LENTENG AGUNG

8 Agustus 2010   12:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:13 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagaimana para mahasiswa ditarik ke dalam gerakan Negara Islam Indonesia?

NENI ROSIDA seumur hidup tak akan melupakan peristiwa siang itu. Seorang temannya di kampus, Esti, mengajaknya menemui seorang pria.

Esti hanya menyebut hendak menemui seorang kawan SMA yang sudah lama tak bersua. Hanya main saja, kata Esti.

Tak biasanya Esti berbuat demikian, pikirnya. Neni dan Esti berkawan baik sejak semester awal. Menginjak semester empat, keduanya aktif di organisasi intrakampus. Jadi aktivis, kata orang. Keduanya kerap cerita terusterang, bahkan ihwal pribadi masingmasing. “Dia bestfriend aku, kami sering jalan bareng,” kata Neni kepada MaJEMUK, akhir Agustus silam.

Rasanya ada yang ditutup-tutupi Esti, Neni penasaran. Meski tak jauh dari kampus, tak biasa pula Esti menjemputnya ke asrama. Tak mau karibnya kecewa, Neni mengiayakan saja ajakan karibnya yang tomboi itu.

Di sebuah tempat di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, mereka bertemu. Teman SMA Esti rupanya seorang pria biasa—seperti pria kebanyakan. Tapi Neni terkesan, ia murah senyum, ramah, dan pandai bergaul.

Pria berkulit coklat itu rupanya juga kocak dan berwawasan luas. Keduanya amat terkesan saat ia cerita tentang masalah kegamaan. Sebuah tema yang memang disukai Neni sejak jadi mahasiswi. “Kebetulan, saat itu aku sedang tertarik pada banyak hal. Aku juga lagi butuh pegangan kokoh pada agama yang aku yakini,” tuturnya menerawang.

Tahu bahwa Neni terkesan dengan ceritanya, pria bernama Yunus itu kemudian bilang bahwa ia punya seorang kakak senior. Yunus menyebut seniornya seorang mahasiswa cemerlang dalam pemikiran keagamaan. Hal itu membawanya menjadi peserta pertukaran pelajar di Eropa. Yunus juga menawari Neni dan Esti untuk bertemu seniornya itu. “Gimana, kalian tertarik nggak ketemu dia?” ajak Yunus. Akhirnya, mereka bertiga sepakat untuk bertemu lagi dua hari berikutnya.

Tanpa pikir panjang, dengan dukungan Esti, Neni tertarik oleh ajakan pria yang baru dikenalnya itu. Neni sebelumnya memang sempat cerita kepada Esti bahwa ia “sedang mencari.” Mungkin ini jawaban dari Tuhan, pikir Neni.

“Wah, saat itu saya tertarik sekali. Aku pada intinya berminat, karena waktu itu dalam diriku lagi ada pertanyaan tentang bagaimana beragama yang benar, makanya aku tertarik sekali.”

***

TAK JAUH dari Universitas Pancasila--sekitar sepuluh kilometer dari Pasar Minggu--di Jakarta selatan, ketiganya bertemu di sebuah rumah berlantai dua. Sekitar sepuluhan mahasiwa-mahasiswi—dengan gaya mahasiswa masa kini yang necis dan manis—tampak berdiskusi saat mereka memasuki rumah kontrakan itu. Di sinilah Yusuf mengenalkan Neni kepada seniornya, seorang pria tampan bersetelan kemeja warna gelap.

Seperti cerita Yusuf, pria parlente ini memang punya potongan seorang peserta pertukaran pelajar, smart dan excelellent. Ia memperkenalkan diri dengan sopan. “Dia seperti model gitu deh.., cakep and manis pokoknya. Seingatku namanya Wawan. Nggak Islam banget kok namanya,” tutur Neni bersemangat.

Wawan memang pandai menarik perhatian. Ia mulai bercerita tentang pengalamannya di Eropa dan sesekali menyinggung forum diskusi keagamaan yang ia bikin bersama teman-temannya di sana.

Neni terkesima. Kepada Wawan ia ceritakan semua ganjalan hatinya tentang Islam. Wawan tak hanya menanggapi dan menjawab dengan tangkas dan simpatik. Ia bahkan tak keberatan menawarkan sesi diskusi rutin tentang keagamaan.

Diskusi agak serius pun akhirnya berlangsung di sebuah ruang agak tertutup. Usai cerita lebih jauh tentang pengalamannya, Wawan mulai membahas Pancasila dengan sesekali mengutip sejumlah ayat pendek dari Alquran dan hadis yang ia hafal di luar kepala.

Semangat Wawan membuat Neni kian yakin bahwa ia telah temukan apa yang dicarinya selama ini. Seperti dalam pelatihan-pelatihan, penjelasan Wawan dilengkapi ilustrasi berupa gambar dan coretan coretan.

Tak ketinggalan, ia juga membandingkan Alquran dan Pancasila dalam sebuah gambar pohon faktor: Alquran pada satu sisi, dan Pancasila di sisi yang lain. Meski penjelasannya agak rumit dan provokatif, Wawan tetap tampak simpatik, tenang, dan tak emosional.

Ia pun mengajak Neni untuk lebih condong kepada Alquran, karena dengan itu akan dibentuk suatu sistem negara berdasarkan syariat, negara Islam. Sebaliknya, baginya Pancasila adalah pilihan yang salah, tak cocok sebagai ideologi karena hanya melahirkan kebobrokan.

“Sistem yang bobrok oleh Pancasila ini mesti diubah dengan sebuah sistem yang berdasarkan Alquran,” kata Wawan meyakinkan. Segala hal yang Neni tanyakan, ia cari jawabannya dalam Alquran dan hadis. Neni serasa memasuki sebuah dunia baru.

Neni juga diminta mengisi selembar formulir berikut iuran alakadarnya. Kolom nama, alamat, nomor telepon hingga orang tedekat, harus ia isi semua. Ini merupakan syarat awal untuk seorang anggota baru.

Yang membuatnya penasaran, ia ditanya secara khusus tentang keluarga dan orang-orang terdekatnya. Ditanyakan pula apakah Neni punya saudara di militer atau kepolisian. Lhoh, ini organisasi apaan sih, kok ditanya ginian segala?, tanya Neni dalam hati.

Dengan sedikit curiga, berikutnya Neni masih sering ke sana. Ia turuti rasa penasarannya. “Sejak itu, aku ikutin dulu maunya mereka apa. Aku juga pengen tahu sejauh mana mereka.”

***

RASA PENASARAN Neni belum juga terjawab hingga pada sesi ketiga, bersama Esti, ia di ajak ke suatu tempat dengan mata ditutup. Esti meyakinkan bahwa ini hanya untuk perjalanan sementara saja sebelum mengikuti tes. Sebuah tes khusus. Karena sifatnya khusus, meski tak jauh dari tempat biasa, ia tak boleh tahu di mana tempatnya.

Setibanya di sebuah rumah, keduanya dipisah. Neni dibawa ke sebuah ruangan, dan Esti ke ruangan lainnya. Masing-masing di pertemukan dengan seseorang yang usianya di atas mereka.

Seorang perempuan berjilbab mendekati Neni. Setelah basa-basi sejenak, ia memperkenalkan diri sebagai orang yang bertugas mengujinya. Ia menanyakan hal-hal yang Neni peroleh di Rancho. Termasuk tentang pohon faktor dan lainnya. “Aku berhasil menjawab semua pertanyaannya dan aku diluluskan,” kenang Neni.

Namun, meski terbilang lulus dengan predikat cukup memuaskan, perasaan Neni kian tak nyaman, terutama pada sesi-sesi diskusi berikutnya.

Pertayaan-pertanyaan yang Neni ajukan—tak jarang dikaitkan dengan perlunya membangun sebuah negara berlandaskan agama—selalu dijawab hanya dengan ayat-ayat yang selalu tergenggam di tangan seniornya.

Sejak itu Neni dikenal sebagai anak baru yang keras kepala. Ia sering membantah karena tak puas dengan jawaban-jawaban si senior.

Jawaban yang diberikan dirasa Neni tak masuk akal. Neni heran, seakan semua masalah dapat diselesaikan hanya dengan dibacakannya teks-teks.

Neni mulai kecewa. Suasana ceria dan mencerahkan yang ia rasakan saat pertama kali, kini berubah kaku dan dogmatik. Ia juga merasa terbebani banyak kewajiban.

Bagi yang sudah mengisi formulir punya kewajiban mengikuti sesisesi berikutnya, setiap kali ke “markas”, ia selalu ditanya ihwal keyakinan dan loyalitasnya pada oraganisasi. Selain itu, setiap anggota diwajibkan menyetor sejumlah uang untuk membiayai perjuangan organisasi.

Ia juga mulai merasa terasing dengan teman-temannya di asrama. Teman-teman asramanya tak ada yang tahu apa yang ia lakukan selama ini. Demikian pula dengan keluarganya. Lagi pula, mustahil ia cerita kepada mereka. Ini bisa jadi masalah besar. Ia merasa bersalah.

Setelah mengikuti tiga kali sesi khusus, ia memutuskan tak lagi datang ke Lenteng Agung. Ia curiga, juga kecewa. Jawaban yang dicarinya ternyata tak ia temukan di sana. Ah, pria parlente berpotongan fotomodel itu hanya pancingan di tahap-tahap awal. Cowok sialan, pikir Neni kesal.

Berkali-kali Esti meneleponnya, menayakan kenapa tak datang lagi ke basecamp. Sedapat mungkin ia memberikan jawaban yang masuk akal supaya tak membuat karibnya itu tersinggung. “Aku capek dan lagi banyak kegiatan,” jawab Neni.

Dengan penuh rasa resal, Neni berusaha melupakan pengalaman pahitnya itu. “Aku berusaha melupakannya, sekadar untuk pengalaman saja. Pengalaman pahit yang tak boleh terulang,” tuturnya.

Namun, ia tak mau persahabatannya dengan Esti berakhir. Mereka tetap berkawan baik, meski tak sekarib sebelumnya. Sejak itu, Esti juga tak lagi berusaha mengajaknya kembali ke sana.

***

TAHUN 2006, dari seorang kakak kelasnya di kampus, Neni akhirnya tahu bahwa Esti ternyata orang dalam. Esti rupanya hanya berpurapura. Ia sudah jauh lebih dulu di organisasi itu. Hal ini Esti dilakukan demi menarik Neni menjadi anggota baru.

“Kamu tahu nggak sih, gua pernah lama di situ. Gua sempet jadi pengurus (koordinator) malahan,” tutur Lia, kakak kelasnya. Lia cerita bahwa sebetulnya Esti berusaha merekrut Neni. Dan Lia yang dulu merekrut Esti.

Dari cerita Lia pula Neni akhirnya tahu bahwa oraganisasi tersebut adalah gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Sebuah gerakan “bawah tanah” yang intensif melakukan rekrutmen kalangan muda untuk dijadikan kadernya.

Dikenal dengan nama Darul Islam (DI)— yang artinya Rumah Islam—organisasi ini merupakan gerakan politik yang didirikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

NII diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (12 Syawal 1368) di di desa Cisampah, kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong Tasikmalaya, Jawa Barat. Sejak itu, seluruh Jawa Barat dianggap sebagai teritori Darul Islam.

Sejak awal gerakan ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi, dengan agama Islam sebagai dasarnya. Dalam proklamasinya ditegaskan bahwa hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah hukum Islam, Islam menurut penafsiran sang imam, Kartosoewirjo.

Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk memproduk undang-undang yang berlandaskan syariat Islam.

Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, di antaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh.

Struktur NII Kartosoewirjo meliputi tujuh Komandemen Wilayah (KW). Masing-masing: Priangan Utara (KWI), Jawa Tengah (KWII), Jawa Timur (KWIII), Sulawesi (KWIV), Kalimantan (KWIV), Aceh (KWVI), dan Priangan Selatan (KWVII).

Dengan kekuatan tentara yang cukup terorganisasi, selama 13 tahun NII Kartosoewirjo melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah RI.

Perlawanan mereka sementara terhenti setelah sang imam tertangkap pada 1962 oleh Pasukan Kujang II/328 Siliwangi di Gunung Rakutak, Kecamatan Pacet Majalaya, Bandung. Melalui pengadilan Mahadper, pemerintah Sukarno menjatuhinya hukuman mati pada 16 Agustus 1962.

Pasca Kartosuwiryo, diangkat Kahar Muzakkar hingga tahun 1965. Pasca Kahar Muzakkar, NII vakum tanpa imam hingga Abu Daud Beureueh diangkat sebagai imam pada tahun 1974. Namun, tahun 1975 ia tertangkap dan NII kembali vakum tanpa imam.

NII kemudian diwarnai dengan munculnya faksi-faksi baru yang berujung perpecahan dan membuatnya terpecah menjadi dua kubu pada 1978-1979. Pertama, kubu Jamaah Fillah yang diketuai oleh Djadja Sujadi. Kedua, Jamaah Sabilillah yang dipimpin oleh Adah Djaelani Tirtapradja.

Keduanya petinggi militer TII, Anggota Komandemen Tertinggi (AKT) yang diangkat langsung oleh Kartosoewirjo. Karena "tidak boleh ada dua Imam", Djadja Sujadi dibunuh oleh Adah Djaelani.

***

DI MASA kepemimpinan Adah Djaelani inilah dibentuk KWVIII (Lampung) dan KWIX (Jakarta Raya, yang meliputi Bekasi, Jakarta, Tangerang dan Banten).

KWIX sebagai wilayah strategis gerakan ini dipimpin oleh Abu Karim Hasan. Pada masa kepemimpinannya, ia menciptakan doktrin baru, Mabadi Tsalatsah. Tiga pokok yang menjadi landasan teologis NII. Yakni hukum Islam, umat Islam, dan negara Islam.

Abu Karim Hasan meninggal tahun 1992 dan kedudukannya digantikan oleh Abu Toto alias Abu Ma’ariq alias Abu Ma’arif alias Syamsul Alam alias Syaikh AS Panji Gumilang. Pada tahun 1996, Abu Toto menjadi Imam NII menggantikan Adah Djaelani. International Crisis Group (ICG) dalam sebuah laporan tahunannya mencatat, adah Djaelani pernah memuji kepandaian Abu toto dalam menghimpun dana. Inilah yang membuat Abu Toto banyak disegani oleh para anggota lainnya.

Imam Shalahuddin, mantan aktivis NII-anggota KWIX, dalam sebuah draf bukunya menyebut pada masa kepemimpinannya Abu Toto mulai mengubah sistem keuangan serta doktrin dasar NII, Mabadi Tsalasah. Pada masa inilah dimulai pengerukan dana besar-besaran.

Dalam al-Mabadi al-Tsalatsah KWIX, ditegaskan bahwa Alquran, sebagai landasan syariat, pada dasarnya menjelaskan masalah negara. Surat awal Alquran (al-Fatihah) dan surat terakhirnya (an-Nas), selain dijadikan konsep dasar trilogi akidah, juga dijadikan landasan global tentang berdirinya sebuah negara Islam.

Karenanya, bagi para pengikut NII, seluruh isi Alquran yang diimplementasikan dalam laku hidup bernegara harus bisa dirujuk pada konsep di atas.

Surat al-Fatihah ayat 2, 4, dan 5 dijadikan pokok akidah. Demikian halnya ayat 1, 2, dan 3 surat an-Nas. Ayat-ayat ini ditafsiri sebagai definisi al-din atau negara. Penjabarannya:
Al-Fatihah
Al-Nas
(2) Rabb al-‘alamin
(1) Rabb al-nas
(4) Malik yaum al-din
(2) Malik al-nas
(5) Iyyaka Na’bud
(3) Ilah al-nas

Ayat-ayat di atas sepadan, dan kesepadanan ini mereka indikasikan sebagai trilogi tauhid. Kata Rabb dimaknai rububiyah, Malik berarti mulkiyah, dan Ilah/ ibadah berarti uluhiyah.

Trilogi akidah ini ditafsiri sesuai obsesi NII tentang berdirinya negara Islam di Indonesia. Yang dimaksud rububiyah, dengan demikian, adalah undang-undang (hukum Islam), mulkiyah adalah tempat berlakunya undang-undang (negara Islam), dan uluhiyah sebagai warga negara (umat Islam warga NII).

Oleh karena itu, menurut mereka, negara adalah wadah berikut tempat pelaksanaan ibadah secara sempurna (kaffah). Sah- tidaknya ibadah bergantung pada sarana (tempat) dilakukannya ibadah, yakni negara. Karena itu, pembentukan NII merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.

***

DENGAN PELBAGAI cara, penggalian dana intensif dilakukan para anggota KWIX. Dalam pencarian dana perjuangan ini para anggota dihalalkan merampas (fai’) harta orang kafir.Yang disebut kafir di sini adalah mereka yang bukan anggota NII.

Dalam doktrin NII ditegaskan bahwa negara mereka adalah representasi masyarakat Madinah yang dibangun Muhammad SAW. Sementara, Republik Indonesia mereka identifikasi sebagai negara Mekkah yang penuh kemusyrikan dan kesesatan di bawah pemerintahan kafir Quraisy.

Tak ada solusi lain bagi warga RI yang ingin selamat dunia akhirat, kecuali bila mereka mau hijrah, pindah dari kewarganegaraan RI menjadi warga negara NII. Nah!

Pemerintahan RI dipersepsikan sebagai pemerintahan thaghut karena sistem pemerintahannya tak Islami dan tak didasarkan pada hukum Islam. Sesuatu yang sejak awal tak disukai sang pendiri, Kartosoewirjo.

Bahkan, dalam catatan materi tilawah NII, warga RI dikategorikan orang-orang non-Muslim atau kafir. Golongan yang hartanya halal untuk dirampas.

Untuk akumulasi dana semacam ini pula Lia mesti banting tulang memenuhi target-target yang sudah ditentukan. Lia dan ribuan mahasiswa lainnya di Jabotabek yang terjebak dalam gerakan iniberjuang mati-matian memberikan sumbangan.

Awalnya Lia tak tahu kalau itu NII. Sama seperti Neni, ia ikut tertarik pada tawaran konsep yang menurutnya mencerahkan. Konsep yang saat itu memberinya jawaban terhadap pertanyaan- pertanyaannya seputar agama yang ia yakini.

Satu bulan dua bulan Lia merasa nyaman berada di lingkungan yang kritis dan membebaskan itu. Ia merasa terbebaskan dari cara beragama dogmatik yang ia terima di keluarganya. Tapi, sesudah itu, komunitas yang dibanggakannya itu membuatnya kian terperosok dalam dogmatisme.

Kecurigaan Lia mulai timbul. Dari pertanyaan-pertanyaaan yang ia ajukan, ahirnya terjawab sudah ganjalan hatinya. Seorang seniornya dengan tegas menyebut bahwa NII adalah turunan DI/ TII. Lia kaget, tak percaya dan merasa dihianati niat tulusnya.

“Saya baru tahu ketika sudah beberapa bulan mengikuti kajian ini, itu pun mereka tidak secara gamblang menyebutkannya, paling menyebutkan bahwa pusat dari semua ini adalah Pesantren Alzaytun di Indramayu, Jawa Barat.”

Begitu Lia tahu dan sadar bahwa organisasi yang diikutinya itu NII, tak ada pilihan lain, ia telah dianggap sudah masuk dalam sebuah sistem negara. Dan ketika masuk sebuah negara, sebagai warganya, merupakan kewajiban baginya untuk meyumbang,” kata Lia kepada MaJEMUK awal September silam.

Saat menyetor sumbangan pertama kali, ia setor 300.000. Uang ia rencanakan untuk membeli kamera. Demi loyalitasnya untuk perjuangan, Lia lebih memilih menunda membeli kamera. Selain itu, ia juga dituntut untuk memenuhi target dana perjuangan. Ia ikhlas.

“Waktu menyetorkan uang, aku bukan karena didorong oleh balasan surga atau takut neraka, namun karena aku didorong oleh sebuah keyakinan akan lahirnya sesuatu yang bakal mengubah keadaan,” tutur Lia kepada MaJEMUK.

Banyak mahasiswa-mahasiswi yang senasib dengan Lia bahkan kerap menangguhkan uang kuliah untuk memenuhi target. Banyak pula di antara mereka rela hutang sana-sini, selain sesekali merampas hak milik orang, demi memenuhi taget akumulasi dana perjuangan. “Saya sampai pontang-panting untuk memenuhi target. Tiap hari harus ada pemasukan untuk dana perjuangan. Karena saya koordinator, saya yang ditanya terus. Targetnya per hari Mas. Kalau untuk pribadi, minimal harus setor 20.000 setiap hari, kalau bisa lebih. Pola demikian masih berlaku sampai sekarang.”

Seperti dialami Neni, Lia pun memutuskan keluar karena merasa tersiksa. Lia merasa tersiksa karena—sebagai kordinator—ia berkewajiban memenuhi target kas organisasi. Ia malu karena kerap ngutang sana-sini untuk memenuhi target.

Kini, bahkan pola ideologisasi mereka sudah melalui cara pernikahan. Para anggota saling dijodohkan. “Karena orang semakin banyak, jadi nanti rekrutmennya lewat pernikahan seperti itu. Aku tahu perkembangan terakhir seperti itu,” kata Lia.

***

SUDAH BANYAK kasus seperti Lia dan Neni terungkap di sejumlah tempat. Namun, para pelaku di balik praktik menyesatkan dan merusak generasi muda ini belum pernah ditindak oleh aparat.

Kasus ini hanya menjadi desas-desus yang seakan tak pernah nyata. Banyak fakta mengungkapkan bahwa organisasi yang menyebut dirinya NII ini telah memakan korban tak terkira.

Belum lama ini, misalnya, ketua FUUI di Bandung Athian Ali, yang pernah memfatwa mati Ulil Abshar-Abdalla, melaporkan gerakan ini kepada Polda setempat.

Dalam berkas laporannya Athian menyebut NII KWIX sebagai gerakan sesat dan meresahkan karena banyak anggota masyarakat telah menjadi korban gerakan ini. Gerakan ini, menurut Athian, telah banyak meyimpang dari akidah dan syariat Islam.

Athian memberikan data-data yang dapat dijadikan bukti kesesatan gerakan ini. Dari bukti-bukti yang dimiliki, ia meminta Kapolda untuk menindak atau membubarkan NII KWIX. Namun, hingga kini, laporan Athian berhenti tanpa alasan yang jelas. Ini hanya satu contoh dari deretan peristiwa serupa yang dialami oleh banyak orang.

Walhasil, organisasi yang telah banyak menebar mudarat di kalangan muda ini kian leluasa menebar jala. “Negara” dalam negara itu masih terus menumpuk pundi-pundi. Kita pun tak dapat berbuat banyak untuk membendungnya, hanya bisa menduga-duga, siapakah gerangan orang-orang di balik organisasi ini.[] Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Majalah Majemuk pada September 2006.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun