Mohon tunggu...
Anom B Prasetyo
Anom B Prasetyo Mohon Tunggu... Peneliti, penulis, editor -

Lahir pada 12 Mei 1983. Penulis dan peneliti. Email: kalibenings@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

KISAH DARI LENTENG AGUNG

8 Agustus 2010   12:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:13 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Waktu menyetorkan uang, aku bukan karena didorong oleh balasan surga atau takut neraka, namun karena aku didorong oleh sebuah keyakinan akan lahirnya sesuatu yang bakal mengubah keadaan,” tutur Lia kepada MaJEMUK.

Banyak mahasiswa-mahasiswi yang senasib dengan Lia bahkan kerap menangguhkan uang kuliah untuk memenuhi target. Banyak pula di antara mereka rela hutang sana-sini, selain sesekali merampas hak milik orang, demi memenuhi taget akumulasi dana perjuangan. “Saya sampai pontang-panting untuk memenuhi target. Tiap hari harus ada pemasukan untuk dana perjuangan. Karena saya koordinator, saya yang ditanya terus. Targetnya per hari Mas. Kalau untuk pribadi, minimal harus setor 20.000 setiap hari, kalau bisa lebih. Pola demikian masih berlaku sampai sekarang.”

Seperti dialami Neni, Lia pun memutuskan keluar karena merasa tersiksa. Lia merasa tersiksa karena—sebagai kordinator—ia berkewajiban memenuhi target kas organisasi. Ia malu karena kerap ngutang sana-sini untuk memenuhi target.

Kini, bahkan pola ideologisasi mereka sudah melalui cara pernikahan. Para anggota saling dijodohkan. “Karena orang semakin banyak, jadi nanti rekrutmennya lewat pernikahan seperti itu. Aku tahu perkembangan terakhir seperti itu,” kata Lia.

***

SUDAH BANYAK kasus seperti Lia dan Neni terungkap di sejumlah tempat. Namun, para pelaku di balik praktik menyesatkan dan merusak generasi muda ini belum pernah ditindak oleh aparat.

Kasus ini hanya menjadi desas-desus yang seakan tak pernah nyata. Banyak fakta mengungkapkan bahwa organisasi yang menyebut dirinya NII ini telah memakan korban tak terkira.

Belum lama ini, misalnya, ketua FUUI di Bandung Athian Ali, yang pernah memfatwa mati Ulil Abshar-Abdalla, melaporkan gerakan ini kepada Polda setempat.

Dalam berkas laporannya Athian menyebut NII KWIX sebagai gerakan sesat dan meresahkan karena banyak anggota masyarakat telah menjadi korban gerakan ini. Gerakan ini, menurut Athian, telah banyak meyimpang dari akidah dan syariat Islam.

Athian memberikan data-data yang dapat dijadikan bukti kesesatan gerakan ini. Dari bukti-bukti yang dimiliki, ia meminta Kapolda untuk menindak atau membubarkan NII KWIX. Namun, hingga kini, laporan Athian berhenti tanpa alasan yang jelas. Ini hanya satu contoh dari deretan peristiwa serupa yang dialami oleh banyak orang.

Walhasil, organisasi yang telah banyak menebar mudarat di kalangan muda ini kian leluasa menebar jala. “Negara” dalam negara itu masih terus menumpuk pundi-pundi. Kita pun tak dapat berbuat banyak untuk membendungnya, hanya bisa menduga-duga, siapakah gerangan orang-orang di balik organisasi ini.[] Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Majalah Majemuk pada September 2006.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun