Dengan sedikit curiga, berikutnya Neni masih sering ke sana. Ia turuti rasa penasarannya. “Sejak itu, aku ikutin dulu maunya mereka apa. Aku juga pengen tahu sejauh mana mereka.”
***
RASA PENASARAN Neni belum juga terjawab hingga pada sesi ketiga, bersama Esti, ia di ajak ke suatu tempat dengan mata ditutup. Esti meyakinkan bahwa ini hanya untuk perjalanan sementara saja sebelum mengikuti tes. Sebuah tes khusus. Karena sifatnya khusus, meski tak jauh dari tempat biasa, ia tak boleh tahu di mana tempatnya.
Setibanya di sebuah rumah, keduanya dipisah. Neni dibawa ke sebuah ruangan, dan Esti ke ruangan lainnya. Masing-masing di pertemukan dengan seseorang yang usianya di atas mereka.
Seorang perempuan berjilbab mendekati Neni. Setelah basa-basi sejenak, ia memperkenalkan diri sebagai orang yang bertugas mengujinya. Ia menanyakan hal-hal yang Neni peroleh di Rancho. Termasuk tentang pohon faktor dan lainnya. “Aku berhasil menjawab semua pertanyaannya dan aku diluluskan,” kenang Neni.
Namun, meski terbilang lulus dengan predikat cukup memuaskan, perasaan Neni kian tak nyaman, terutama pada sesi-sesi diskusi berikutnya.
Pertayaan-pertanyaan yang Neni ajukan—tak jarang dikaitkan dengan perlunya membangun sebuah negara berlandaskan agama—selalu dijawab hanya dengan ayat-ayat yang selalu tergenggam di tangan seniornya.
Sejak itu Neni dikenal sebagai anak baru yang keras kepala. Ia sering membantah karena tak puas dengan jawaban-jawaban si senior.
Jawaban yang diberikan dirasa Neni tak masuk akal. Neni heran, seakan semua masalah dapat diselesaikan hanya dengan dibacakannya teks-teks.
Neni mulai kecewa. Suasana ceria dan mencerahkan yang ia rasakan saat pertama kali, kini berubah kaku dan dogmatik. Ia juga merasa terbebani banyak kewajiban.
Bagi yang sudah mengisi formulir punya kewajiban mengikuti sesisesi berikutnya, setiap kali ke “markas”, ia selalu ditanya ihwal keyakinan dan loyalitasnya pada oraganisasi. Selain itu, setiap anggota diwajibkan menyetor sejumlah uang untuk membiayai perjuangan organisasi.