Sejak awal gerakan ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi, dengan agama Islam sebagai dasarnya. Dalam proklamasinya ditegaskan bahwa hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah hukum Islam, Islam menurut penafsiran sang imam, Kartosoewirjo.
Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk memproduk undang-undang yang berlandaskan syariat Islam.
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, di antaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh.
Struktur NII Kartosoewirjo meliputi tujuh Komandemen Wilayah (KW). Masing-masing: Priangan Utara (KWI), Jawa Tengah (KWII), Jawa Timur (KWIII), Sulawesi (KWIV), Kalimantan (KWIV), Aceh (KWVI), dan Priangan Selatan (KWVII).
Dengan kekuatan tentara yang cukup terorganisasi, selama 13 tahun NII Kartosoewirjo melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah RI.
Perlawanan mereka sementara terhenti setelah sang imam tertangkap pada 1962 oleh Pasukan Kujang II/328 Siliwangi di Gunung Rakutak, Kecamatan Pacet Majalaya, Bandung. Melalui pengadilan Mahadper, pemerintah Sukarno menjatuhinya hukuman mati pada 16 Agustus 1962.
Pasca Kartosuwiryo, diangkat Kahar Muzakkar hingga tahun 1965. Pasca Kahar Muzakkar, NII vakum tanpa imam hingga Abu Daud Beureueh diangkat sebagai imam pada tahun 1974. Namun, tahun 1975 ia tertangkap dan NII kembali vakum tanpa imam.
NII kemudian diwarnai dengan munculnya faksi-faksi baru yang berujung perpecahan dan membuatnya terpecah menjadi dua kubu pada 1978-1979. Pertama, kubu Jamaah Fillah yang diketuai oleh Djadja Sujadi. Kedua, Jamaah Sabilillah yang dipimpin oleh Adah Djaelani Tirtapradja.
Keduanya petinggi militer TII, Anggota Komandemen Tertinggi (AKT) yang diangkat langsung oleh Kartosoewirjo. Karena "tidak boleh ada dua Imam", Djadja Sujadi dibunuh oleh Adah Djaelani.
***
DI MASA kepemimpinan Adah Djaelani inilah dibentuk KWVIII (Lampung) dan KWIX (Jakarta Raya, yang meliputi Bekasi, Jakarta, Tangerang dan Banten).