Mohon tunggu...
Bee Bonk
Bee Bonk Mohon Tunggu... -

hanya ingin berkata dengan hati yang bebas,.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tanpa Restu, Perjalanan Menjadi Berliku

27 Oktober 2013   17:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:58 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berawal dari pembicaraan iseng antara aku dan sahabatku, mengenai perjalanan menjelajahi pantai.  Pantai yang belum di ketahui oleh orang banyak, pantai yang masih asri. Seperti Pantai Santolo di Garut yang pernah kita kunjungi sebelumnya. Setelah mencari info di sana dan di sini. Akhirnya tujuan pantai berikutnya jatuh pada Pantai Ujung Genteng di Sukabumi Selatan. Pantai yang belum banyak di ketahui orang, begitu kata artikel yang kita baca. Mulailah mensearch nya di mbah Google serta melihat-lihat foto pantai tersebut, kita pun memutuskan mengunjunginya.

Kita saat ini tinggal di Bandung. Temanku yang biasa aku panggil Kunyuk, dia memang orang asli Bandung. Dia bekerja sebagai Design Grafis. Sedangkan aku bekerja di Rumah Makan. Weekend dan tanggal merah mewajibkan aku untuk bekerja, liburku hanya ada pada salah satu hari di weekday. Sedangkan Kunyuk, weekend adalah saatnya untuk berlibur. Kita pun melihat dan membaca banyak artikel untuk menuju Ujung Genteng, waktu tempuh di perkirakan 7-8 jam.Libur pekerjaan yang tidak pernah bareng dan jarak tempuh yang jauh, membuat kita mulai melupakan perjalanan mengunjungi pantai itu.

Sepertinya Tuhan berkehendak lain. Kala itu di tahun 2011, tepatnya seminggu setelah lebaran aku mendapatkan libur empat hari. Kebanyakan teman kerjaku menghabiskan waktu liburan dengan pergi ke pantai Pangandaran. Sementara aku berfikir, untuk mengajak Kunyuk mengunjungi Ujung Genteng. Pantai yang dulu sempat kita rencanakan untuk mengunjunginya, namun mulai terlupakan. Aku menghubungi Kunyuk, lewat Yahoo Messenger. Menceritakan ideku. Awalnya Kunyuk menolak, dengan alasan pada tanggal tersebut dia sudah mulai masuk kerja. Tidak masuk kerja, menyebabkan gaji mengalami pemotongan. Potongan gajinya pun cukup besar, Rp. 100.000/hari.

"Udeh ntar potongan gajinya, gw yang bayar." ujarku menjawab kebingungannya.

Semenit, dua menit pesanku belum terbalaskan. Aku mulai memakinya dalam hati. Pada menit kelima, pesanku terbalas dengan emote tertawa darinya.

"Oke! setuju. Tapi makan, bensin dan tiket masuk di tanggung yah ?" tanyanya penuh kelicikan.

"Siaaap." jawabku pasrah.

*******

Hari itu tiba. Libur yang aku dapatkan yakni senin sampai kamis. Minggu malam, sekitar jam 10 malam aku pulang kerja. Kunyuk datang ke kosanku dan menginap. Hal itu di lakukan agar lebih memudahkan ketika berangkat esok harinya.

"Besok mau berangkat jam berapa ?" tanyanya sambil berbaring di tempat tidurku.

"Kalau perjalanannya 7-8 jam, terus nggak nginep," aku mulai menghitung dengan jari "kayaknya berangkat jam 3 pagi yah, biar sampai sana nggak terlalu siang terus balik ke Bandungnya nggak kemaleman. Gimana ?"

"Oke, semoga bisa bangun ya."

Seusai membahas jam keberangkatan. Kita masih membicarakan hal lain. Hingga sekitar jam 12 malam kita baru terlelap. Tidak lupa sebelum tidur, kita memasang alarm terlebih dahulu, agar tidak telat bangun.

how insensitive

I must have seemed

When he told me that he love me

how unmoved and cold

Lagu How Insensitive nya Olivia Wong mengalun. Aku terbangun, mematikan alarm pada ponselku. Aku melihat jam. 02:30 am. Aku membangunkan Kunyuk. Seperti biasa, manusia satu ini susah sekali untuk di bangunkan. Aku lebih memilih mandi, bila pilihan satunya lagi adalah membangunkan Kunyuk satu ini. Selesai mandi, aku membangunkannya kembali. Dengan malasnya, dia bangun dan kemudian masuk kamar mandi. Entah beneran mandi, atau hanya mencipratkan air ke wajahnya.

Kita membaca basmalah terlebih dahulu, ritual yang selalu kita lakukan sesaat sebelum keluar dari rumah. Sedikit telat 30 menit dari jam yang di sepakati. Kita pun akhirnya memulai perjalanan. Hawa dingin yang menerpa selama menyusuri jalan lenggang di Bandung. Membuat kita berhenti, dan mulai memakai dua jaket untuk meminimalkan hawa dingin menyentuh kulit. Melewati Jalan Bypass Soekarno-Hatta, kita mulai meninggalkan Bandung. Melewati Cimahi, Padalarang, Cianjur kemudian Sukabumi.

Sejujurnya, aku hanya mengetahui jalan dari Bandung ke Sukabumi. Sedangkan untuk menuju Sukabumi Selatan, tempat pantai Ujung Genteng berada. Kita hanya mengandalkan artikel-artikel yang kita baca. Artikel yang memberitahukan arah-arah mana yang akan kita tempuh setelah melewati Sukabumi Kota.

Pukul 05:30 am, kita sudah sampai di Sukabumi Kota. Kita berhenti di minimarket. Membeli beberapa makanan dan minuman serta menumpang buang air kecil. Kita juga sempat bertanya arah menuju Ujung Genteng.

“Emang dari mana neng ?” Pertanyaan sama yang ditujukan kepada kita setiap bertanya arah tujuan.

“Bandung kang.” Jawab kita berbarengan.

Membayar tagihan belanjaan, dan kita pun melanjutkan perjalanan kembali. Beberapa ratus meter dari minimarket tadi, kita melihat ada tukang bubur ayam. Akhirnya kita berhenti, untuk sarapan terlebih dahulu. Setelah membayar, kita bertanya kembali pada penjual bubur tersebut. Namun sayang, penjual bubur itu ternyata seorang pendatang yang baru dua bulan di Sukabumi.

Perut kenyang, perjalanan pun kita lanjutkan. Setelah bertanya beberapa kali, dan nyasar beberapa kali juga. Akhirnya kita menemukan papan petunjuk jalannya. Saat memasuki sebuah jalan yang sangat jelek, aku hanya mampu terkaget-kaget. Sepanjang jalan, dipenuhi tanah merah yang tercampur dengan tumpukkan batu kerikil dan batu kali yang besar-besar.

"Nyuk, ini beneran jalannya ? Kok jelek begini sih ?"tanyaku yang masih tetap konsentrasi mengendarai motornya Kunyuk.

"Kata orang yang tadi kita tanyain sih benar, papan nama tadi juga bilangnya lewat sini. Cuma nggak kebayang saja sih. Kalau kita pulang kemaleman terus lewat sini." Kali ini Kunyuk yang bergidik ngeri.

Tidak seperti perjalanan ke Garut yang melewati pegunungan. Perjalanan menuju Ujung Genteng lebih di dominasi hutan. Akhirnya jalan yang kita tempuh pun tidak lagi dipenuhi batu kerikil. Namun tetap tidak bisa dikatakan baik, karena sepanjang jalan yang kita lalui masih terdapat banyak lubang.

"Sebelum ke Ujung Genteng, kita ke Curug Cikaso dulu yah. Katanya sih sebelum pantai Ujung Genteng lokasinya."

Aku hanya mengangguk, mengiyakan permintaan Kunyuk. Saat itu pukul 09:30 am, ketika aku membelokkan motor yang ku kendarai ke arah kiri. Papan nama menunjukkan Curug Cikaso kurang lebih 7 km dari belokkan tersebut. Sesampainya di tempat parkiran di Curug tersebut, kita bertanya-tanya kepada pemilik warung sekaligus sebagai penjaga kendaraan di parkiran tersebut. Mereka berkata bahwa Curug Cikaso sangat bangus. Akses ke sana pun, bila kita menghendaki bisa menggunakan perahu. Kita mengiyakan, sambil tersenyum dan pamit menuju Curug yang di maksud.

"Ke Curug nya jangan naik perahu ya, mahal. Kan kita lagi kere." kata Kunyuk, saat kita telah melewati parkitan dan berjalan kaki menuju pos pembelian tiket.

"Neng, mau ke Curug yah. Naik perahu aja neng, pemandangannya bagus." promosi sang penjaga loket.

"Tapi jalan kaki bisa kan kang ?" tanya Kunyuk dengan logat khas Sunda.

"Bisa sih neng, tapi jauh. Mendingan neng naik perahu biar nggak capek. Naik perahu cuma Rp. 100.000 kok neng. Nanti di tungguin pas mau pulangnya."

"Kita jalan kaki saja kang, ini arahnya kemana ya ?" tanyaku berusaha menyudahi pembicaraan yang bertele-tele.

"Lurus saja neng, nanti ikuti jalan setapak ke arah barat." petugas loket itu mengarahkan dengan tangannya.

Kita menyusuri jalan setapak. Dimana kiri dan kanannya di kelilingi dengan kebun. Sesampainya di ujung jalan, terhampar lapangan luas. Kita berdua kebingungan, jalan mana yang harus di ambil. Melihat orang-orang menuju arah perbukitan. Kita pun memutuskan untuk mengikutinya. Jalan yang kita tempuh ternyata tidak sejauh yang di infokan petugas loket tadi, kita berjalan hanya sekitar 10-15 menitan. Dan benar saja, di balik bukit itu. Kita melihat Curug nya.

Di bawah Curug itu. Kita saling berpandangan, kemudian tertawa dengan begitu kerasnya. Entah menertawakan kebodohan atau kesialan. Curug Cikaso yang begitu megah dan indahnya saat kita melihat fotonya di Google. Kini hanya tinggal khayalan. Curug itu kering, tanpa ada air yang jatuh dari ketinggian Curugnya. Air di bawah Curugnya memang hijau dan terlihat sama bagusnya seperti foto-foto yang kita lihat. Hijaunya air di sebabkan pada dasar air itu banyak tumbuh lumut.

Kita duduk pada bebatuan di bawah Curug itu. Kita beristirahat sejenak, minum dan memakan roti yang kita beli di minimarket tadi. Kita lupa memperkirakan, bahwa musim juga berpengaruh pada kouta air yang menghiasi Curug. Kita tidak menghabiskan waktu lama di Curug Cikaso, mengingat perjalanan utama kita belum di kunjungi. Setelah kembali ke tempat penitipan motor dan berbasa-basi sejenak, kita melanjutkan perjalanan ke Ujung Genteng.

Udara mulai lebih panas dari biasanya. Sepanjang jalan yang kita lalui, pepohonan terlihat begitu gersang. Petanda bahwa sebentar lagi kita akan bertemu dengan pantai. Benar saja, setelah sejaman kita melewati hamparan tanaman gersang kita sampai juga di Pantai Ujung Genteng. Kita menyusuri hutan kecil, untuk menuju ujung pantai tersebut. Sesampainya di sana, setelah memakirkan motor. Kita saling pandang dan tertawa kembali. Pantai Ujung Genteng sedang mengalami surut. Hanya terdapat sehamparan karang, sepanjang bibir pantai. Niat kita untuk berenang, seketika langsung surut.

Sepanjang pantai, kita hanya berfoto. Mengabadikan sekaligus membuktikan bahwa kita pernah menjajakkan kaki di pantai tersebut. Dari pantai di ujung kita pindah ke pantai sebelahnya. Ritual yang selalu kita lakukan ketika ke pantai adalah minum air kelapa muda. Buatku kelapa muda tanpa es dan gula adalah kelapa yang paling enak sedunia.

Setelah perut kembung, kita melanjutkan main-main di bibir pantai. Merendam kaki, berfoto kembali dan sedikit ikut berbincang dengan pengunjung wisatawan lokal yang lainnya.

"Sayang ya neng, pantainya lagi surut. Neng dari mana ?" tanya seorang bapak-bapak, salah satu wisatawan lokal.

"Dari bandung pak," jawab temanku Kunyuk.

"Wahh jauh yah, bapak juga dulu pernah kerja di Bandung. Bandungnya dimana ? Oia tadi kesini naik apa ?" Mulailah pertanyaan basa basi menyerang.

"Bandungnya di Moh. Toha pak. Kita kesini naik motor pak." Masih Kunyuk yang menjawab pertanyaan bapak-bapak itu. Aku hanya sesekali senyum dan ikut nimbrung.

"Naik motor, berdua ? cewek-cewek ?" bapak itu terlihat syok mendengar pengakuan temanku itu.

"Nggak mungkin pulang pergi kan? pasti nginep kan?" tanya bapak itu bertubi-tubi.

"Iya pak cuma berdua, kita nggak nginep nanti jam 3 an kita mau perjalanan balik ke Bandung."

Bapak-bapak itu terdiam cukup lama. Mungkin peryataan temenku terdengar gila. Orang gila mana, yang melakukan perjalanan ke tempat wisata dengan waktu tempuh 7-8 jam dan itu baru perginya saja. Total perjalanan pulang pergi berarti sekitar 14-16 jam dan itu pun tanpa menginap serta wanita pula yang melakukan perjalanan. Mungkin dia sebagai lelaki pun akan berfikir ulang untuk melakukan perjalanan seperti itu.

"Hati-hati ya neng kalau pulang." Akhirnya bapak-bapak itu hanya mengucapkan kalimat itu dan memulai bincang-bincang pembahasan yang lainnya.

Temanku, Kunyuk. Sepertinya mulai jengah, dengan alasan waktu kita terbatas. Kita pun pamit dari obrolan, karena harus melanjutkan perjalanan kembali. Inginnya kita melanjutkan perjalanan mengunjungi pantai yang lain. Namun waktu yang kita miliki terbatas, akhirnya kita memutuskan untuk kembali ke Bandung. Selang beberapa menit saat perjalanan pulang, kita menepi. Mengisi perut terlebih dahulu.

Saat ingin melanjutkan perjalanan, ternyata ban motornya Kunyuk kempes. Kita pun terpaksa berjalan lebih lamban, mencari bengkel untuk menambal bannya yang kempes. Waktu semakin berlalu, dan sinar mentari pun semakin meredup. Setelah menambal ban, kita pun melanjutkan kembali perjalanan. Ketika berhenti di pom bensin, aku melihat wajah Kunyuk seperti berbeda dari biasanya.

" Kenapa Nyuk ?"

"Nggak apa-apa, barusan Nyokap telepon nanyain lagi dimana kok belum pulang." Jawabnya sambil mengutak atik ponselnya.

"Terus jawab apa? Jangan bilang, kalau belum ijin mau ke sini lagi ?"

"Bilangnya sih nganterin lw, cuma nggak bilang kalo ke Sukabumi. Bilangnya ke Lembang dan naik mobil."

"Mau di gantiin nggak ngendarain motornya ?"tawarku sambil memandangi wajah yang terlihat tidak tenang.

"Nggak usah, nanti kalo capek juga bakal bilang minta di ganti. Lagian kan pas berangkat udah lw yang bawa."

Tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama di pom bensin itu. Kita pun segera beranjak melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan yang kita lewati, hanya di kelilingi oleh hutan. Penerangan hanya berasal dari lampu sepeda motor yang kita kendarai dan lampu rumah penduduk bila posisi rumah tersebut berada di pinggir jalan. Kondisi penerangan yang minim, membuat kita hanya bisa menelusuri jalan. Sambil berdoa dalam hati, semoga jalan yang kita pilih tidak salah. Perjalanan yang sangat sepi dan senyap. Membuat kita terus mengeluarkan suara untuk mengusirnya. Salah satunya dengan bernyanyi, lagu apapun kita nyanyikan bahkan lagu dangdut sekalipun.

Perjalanan pulang terasa begitu lama, lebih lama dari perjalanan saat berangkat. Jalan yang kita lewati pun jalan yang terbilang cukup bagus. Kita tidak juga menemukan jalan jelek penuh batu seperti saat berangkat. Kita tetap berifkir positif thinking, berdoa semoga jalan yang kita lewati membawa kita menuju Sukabumi Kota. Tuhan sepertinya mendengar doa kita, akhirnya kita sampai di Sukabumi Kota. Meskipun jarak tempuh lebih lama, yakni selisih hingga sejaman bila di bandingkan dengan saat berangkat.

Aku menawarkan ke Kunyuk untuk menginap di rumah tanteku yang berada di Salabintana, Sukabumi. Mengingat malam yang semakin larut, dan mungkin saja lelah melandanya. Kunyuk menolak, dan kita pun melanjutkan perjalanan menuju Bandung. Melewati Cianjur, kita berhenti kembali di minimarket. Membeli beberapa minuman penyegar untuk mengahalau rasa kantuk.

"Gantian ya, bawa motornya." tiba-tiba Kunyuk bersuara.

"Oke."

Aku mengendarai kembali, membawanya pada kecepatan tidak terlalu tinggi. Saat akan memasuki daerah Cipatat, tiba-tiba ban motor depan kempes. Motor pun mulai ongleng, kehilangan keseimbangan.

"Nyuk Nyuk yah yah jatuh Nyuk jatuh." Aku hanya bisa berucap itu hingga akhirnya kita jatuh. Tubuh dan motor yang kita kendarai menghantam aspal. Kejadian yang begitu cepat, selang beberapa detik. Aku langsung terbangun, melihat Kunyuk yang terjatuh tidak jauh dariku.

"Nyuk nggak apa-apa ?' tanyaku panik.

"Nggak apa-apa kok." Jawabnya membantuku mendirikan motor. Orang-orang yang ada di sekitar pun ikut datang membantu kita menepi. Aku melihat sekitar. Ada truk yang berhenti di depan kita terjatuh, ada mobil APV di sebelah kiri keluar jalur dari jalan beraspal. Sepertinya mobil itu ketika melihat kita terjatuh, mobil itu langsung banting stir ke kiri.

Ban motor depan pecah dan hari pun semakin larut malam. Tidak ada bengkel di sekitar warung tersebut. Warung dimana menjadi tempat kita menepi. Penjaga warung dan temannya menawarkan bantuan untuk mengantarkan ke bengkel terdekat. Saat itu tidak ada pilihan lain, akhirnya kita pun mengiyakan dengan syarat Kunyuk juga ikut ke bengkel tersebut. Kunyuk pun pergi bersama teman penjaga warung tersebut. Aku masih duduk, menenangkan diri dari gemetaran akibat terjatuh tadi. Aku terus berdoa, semoga semua baik-baik saja. Dan kita tidak mengalami hal yang lebih apes dari hari ini. Aku sesering mungkin mengirimi Kunyuk sms, menanyakan bahwa dia pun baik-baik saja. Dan memastikan kita pun tidak sedang di tipu.

Sejam kemudian Kunyuk kembali. Berbasa basi sejenak, dan menyelipkan uang terimakasih. Kita pun melanjutkan perjalanan. Kunyuk yang mengendarai kendaraan itu. Aku tentu saja masih syock. Kunyuk pun tidak mengijinkan aku mengendarainya. Motor yang kita kendarai pun tidak bisa berjalan cepat. Kecepatan pun hanya mampu 40km/jam. Sesampainya di Bandung, waktu sudah menunjukkan tengah malam. Makan malam pun sudah tidak menjadi perhatian kita. Satu-satunya tempat yang ingin kita kunjungi adalah kamar.

Kita akhirnya sampai di kos ku. Setelah memakirkan kendaraan pada halaman kosanku. Kita dengan lelahnya menuju kamar, bertemu dengan kasur. Merebahkan tubuh yang sudah lelah dan letih.

“Kayaknya kalau kemana-mana harus ijin dulu dech. Nggak boleh bohong sama orang tua. Akibatnya ya ini nih, apes sepanjang perjalanan.” Ucap Kunyuk saat mata kita sama-sama tengah merejam.

Kita sama-sama tertawa dan kemudian terlelap.

27 Okrtober 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun