Mohon tunggu...
Bee Bonk
Bee Bonk Mohon Tunggu... -

hanya ingin berkata dengan hati yang bebas,.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tanpa Restu, Perjalanan Menjadi Berliku

27 Oktober 2013   17:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:58 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bisa sih neng, tapi jauh. Mendingan neng naik perahu biar nggak capek. Naik perahu cuma Rp. 100.000 kok neng. Nanti di tungguin pas mau pulangnya."

"Kita jalan kaki saja kang, ini arahnya kemana ya ?" tanyaku berusaha menyudahi pembicaraan yang bertele-tele.

"Lurus saja neng, nanti ikuti jalan setapak ke arah barat." petugas loket itu mengarahkan dengan tangannya.

Kita menyusuri jalan setapak. Dimana kiri dan kanannya di kelilingi dengan kebun. Sesampainya di ujung jalan, terhampar lapangan luas. Kita berdua kebingungan, jalan mana yang harus di ambil. Melihat orang-orang menuju arah perbukitan. Kita pun memutuskan untuk mengikutinya. Jalan yang kita tempuh ternyata tidak sejauh yang di infokan petugas loket tadi, kita berjalan hanya sekitar 10-15 menitan. Dan benar saja, di balik bukit itu. Kita melihat Curug nya.

Di bawah Curug itu. Kita saling berpandangan, kemudian tertawa dengan begitu kerasnya. Entah menertawakan kebodohan atau kesialan. Curug Cikaso yang begitu megah dan indahnya saat kita melihat fotonya di Google. Kini hanya tinggal khayalan. Curug itu kering, tanpa ada air yang jatuh dari ketinggian Curugnya. Air di bawah Curugnya memang hijau dan terlihat sama bagusnya seperti foto-foto yang kita lihat. Hijaunya air di sebabkan pada dasar air itu banyak tumbuh lumut.

Kita duduk pada bebatuan di bawah Curug itu. Kita beristirahat sejenak, minum dan memakan roti yang kita beli di minimarket tadi. Kita lupa memperkirakan, bahwa musim juga berpengaruh pada kouta air yang menghiasi Curug. Kita tidak menghabiskan waktu lama di Curug Cikaso, mengingat perjalanan utama kita belum di kunjungi. Setelah kembali ke tempat penitipan motor dan berbasa-basi sejenak, kita melanjutkan perjalanan ke Ujung Genteng.

Udara mulai lebih panas dari biasanya. Sepanjang jalan yang kita lalui, pepohonan terlihat begitu gersang. Petanda bahwa sebentar lagi kita akan bertemu dengan pantai. Benar saja, setelah sejaman kita melewati hamparan tanaman gersang kita sampai juga di Pantai Ujung Genteng. Kita menyusuri hutan kecil, untuk menuju ujung pantai tersebut. Sesampainya di sana, setelah memakirkan motor. Kita saling pandang dan tertawa kembali. Pantai Ujung Genteng sedang mengalami surut. Hanya terdapat sehamparan karang, sepanjang bibir pantai. Niat kita untuk berenang, seketika langsung surut.

Sepanjang pantai, kita hanya berfoto. Mengabadikan sekaligus membuktikan bahwa kita pernah menjajakkan kaki di pantai tersebut. Dari pantai di ujung kita pindah ke pantai sebelahnya. Ritual yang selalu kita lakukan ketika ke pantai adalah minum air kelapa muda. Buatku kelapa muda tanpa es dan gula adalah kelapa yang paling enak sedunia.

Setelah perut kembung, kita melanjutkan main-main di bibir pantai. Merendam kaki, berfoto kembali dan sedikit ikut berbincang dengan pengunjung wisatawan lokal yang lainnya.

"Sayang ya neng, pantainya lagi surut. Neng dari mana ?" tanya seorang bapak-bapak, salah satu wisatawan lokal.

"Dari bandung pak," jawab temanku Kunyuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun