Aku tidak mengerti mengapa Maria menyerahkan kunci padaku. Jika Melia disuruh datang bukankah cukup dengan dia membukakan pintu untuk adiknya itu? Ah, mungkin Maria sibuk, akan lebih baik kalau Melia memegang kunci sendiri.
"Aku harus pulang Aida," ucapnya lagi.
Dia sudah berdiri kini. Aku pun kemudian ikut beranjak.
"Boleh kita foto sebentar, Maria?" pintaku.
Maria tersenyum, kemudian menganggukkan kepala. Aku mengeluarkan Smartphone dari tasku. Dan membidik wajahku yang kutempelkan di pipi Maria. Dengan mimik senyum ceria, kami mengabadikan gambar.
"Terima kasih, Maria," ucapku.
"Oke Aida, aku harus pergi," ucapnya dan langsung beranjak pergi.
Dia seperti terburu-buru. Bahkan, aku belum sempat meminta nomor ponselnya. Aku benar-benar bodoh.
***
Seminggu sudah kunikmati liburan di Bandung bersama keluarga. Hari ini, aku akan pulang bersama suami dan anak-anak. Sebelum pulang, aku izin kepada mas Anto, suamiku untuk berkunjung ke rumah Maria. Aku memiliki alamatnya bukan?
Setelah mencari-cari dan bertanya ke sana ke mari, akhirnya aku menemukannya. Sebuah rumah yang cukup asri. Aku takjub melihatnya. Bagaimana tidak, setelah mendengar cerita Maria tentang hutang yang harus ia tanggung dan berhasil dilunasi olehnya, kini aku menyaksikan sebuah rumah yang cukup mewah yang dimilikinya. Bahkan aku sendiri pun belum mampu membeli sebuah rumah kecil meski telah lama menikah dan memiliki dua orang anak. Aku masih menumpang di rumah orang tua.
Sepi. Aku berkali-kali menekan bel yang ada di depan gerbang tapi masih belum ada yang keluar dari dalam. Mungkin Maria sedang pergi. Sendirikah dia tinggal di rumah ini?
Sesaat terbersit keinginan untuk membuka sendiri dengan kunci yang Maria kasih padaku. Tapi kuurungkan ketika seseorang datang menanyakanku.