Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Maria

29 Maret 2019   12:10 Diperbarui: 29 Maret 2019   19:42 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Pixabay

Sudah lama sekali aku tak singgah ke Bandung. Dan untuk pertama kalinya setelah 15 tahun tak berkunjung, akhirnya aku berhasil merayu suami untuk berlibur di sini.

Masa muda kuhabiskan di sini, bersama dua sahabat yang kini tak lagi saling berkabar. Waktu perlahan menggerus kenangan yang pernah terukir di antara kami.

Aku baru memasuki sebuah Cafe mencari tempat untuk bersantai ketika tak sengaja mendapati Maria salah seorang sahabat di masa laluku itu tengah asyik menyeruput secangkir kopi. Entah sudah berapa tahun kami tak berjumpa, terakhir adalah ketika ibu Maria meninggal.

Setelah menyapa dan meyakinkan bahwa itu benar Maria, aku pun bergabung duduk dengannya.

"Lama sekali rasanya aku tak melihatmu, Maria," ujarku memulai pembicaraan.

"Kau benar. Sepuluh tahun? Sebelas tahun? Atau lebih?" tebaknya sembari tertawa kecil.

"Entahlah, aku sendiri sudah lupa. Kau tinggal di sini, Maria?" tanyaku.

Kulihat raut wajahnya berubah redup. Dia menunduk dan mengaduk-aduk kopi di hadapannya.

"Aku sudah 9 tahun tinggal di sini," balasnya dengan seulas senyuman.

Dia melambai ke arah seorang pelayan dan memesan secangkir kopi untukku.

"Oh, kau minum kopi atau mau kuganti pesan minuman yang lain?" tanyanya kemudian.

"Kopi juga tidak apa-apa, maaf aku malah merepotkan," balasku merasa tak enak.

Dia mengibas tangannya sebagai jawaban.

"Kau sudah menikah, Maria?" tanyaku.

Maria justru tertawa mendengar pertanyaanku. Aku tak mengerti, apakah pertanyaanku itu lucu?

"Itu sesuatu yang rumit bagiku, Aida," balasnya kemudian.

"Kenapa?" balasku sedikit terkejut dan penasaran.

"Banyak yang terjadi di hidupku sekian tahun ini, Aida. Vania, apa dia sudah memiliki seorang adik?" balasnya balik bertanya padaku.

"Vania sudah memiliki adik laki-laki berumur tujuh tahun, Maria. Kau seharusnya sudah menikah juga dan punya anak," balasku mencoba bergurau dengannya.

Pesanan kopi untukku datang. Sejenak kami menghentikan pembicaraan.

"Minumlah! Kopi di sini sangat enak. Dulu saat kita masih sama-sama di sini belum ada Orofi Cafe bukan?" ujar Maria.

Aku tersenyum menanggapi ucapannya. Meniup dan menyeruput sedikit-sedikit kopi yang masih panas itu, lalu meletakkannya kembali di meja.

"Benar, ini enak," jawabku menyetujui.

Menikmati kopi di saat senja seperti ini memang menyenangkan. Terlebih dengan pemandangan yang menakjubkan seperti di sini, di Orofi Cafe. Membuat kita enggan untuk segera beranjak meninggalkan tempat yang dikenal sebagai Santorini ala Bandung ini.

"Kau bahagia, Aida?" tanya Maria.

Aku tersenyum, menatap matanya yang bening. Maria, memang wanita yang cantik. Matanya indah, bibirnya mungil manis dan lesung di kedua pipi membuatnya semakin bertambah manis.

"Aku bahagia tentu saja, tapi ...,"

"Tapi ...?" tanya Maria mendapati jawabanku yang terputus.

Aku menegakkan kepala setelah tadi sempat menunduk. Lalu tersenyum ke arah Maria.

"Akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang menimpa kami, Maria," ucapku akhirnya mencoba memberi jawaban.

Maria tersenyum, kemudian menyesap kopinya yang masih tersisa. Aku pun mengikuti yang Maria lakukan, menyesap kopi dan menikmati setiap aroma yang menyeruak dari dalamnya.

"Kau sendiri bagaimana?" tanyaku pada Maria setelah meletakkan cangkir ke meja.

"Kau sendiri tahu bagaimana ibu meninggal, Aida," balasnya.

Aku ingat kejadian itu. Kejadian di mana tante Ratna dibunuh oleh seorang lelaki, yang katanya adalah kekasihnya sendiri. Tante Ratna memang seorang janda, dan ia terjerat pesona lelaki yang usianya terpaut jauh lebih muda. Sebab itu pula dulu Maria kerap mengeluhkan perihal ibunya. Setelah kematian tante Ratna, aku tidak tahu lagi tentang kabar Maria atau pun adiknya. Aku terlalu sibuk mengurus kehidupanku sendiri. Padahal jarak rumah kami tak jauh.

"Mungkin Cuma Vina yang sekarang bahagia menikmati hidupnya," ucapku kemudian.

Maria kembali tersenyum mendengar perkataanku. Sepertinya dia memang akan selalu menjadi wanita tersabar yang pernah kukenal. Wanita yang selalu murah akan perihal memberi senyum kepada orang-orang.

"Kita tidak pernah tahu apa yang dihadapi olehnya Aida. Setiap orang pasti memiliki masalah, termasuk Vina. Tinggal bagaimana kita akan menyikapinya. Apakah akan menghadapinya dengan kesabaran dan keikhlasan atau dengan mengeluh dan menyalahkan Tuhan," balas Maria bijak.

Dia tidak pernah berubah. Dari dulu selalu mengagumkan. Tak seperti aku yang banyak keluh.


"Kau benar," balasku kemudian.

Ya, aku kalah. Benar yang Maria katakan, semua orang pasti memiliki masalah. Bahkan kurasa Maria lebih menyedihkan dari padaku.

"Kau tahu, sepeninggal ibu banyak sekali beban yang harus kutanggung," cerita Maria.

"Aku mengerti," balasku seolah tahu semua apa yang terjadi dalam hidup Maria, padahal tidak sama sekali.

"Tidak Aida, kau tidak mengetahui tentang ini kurasa," balasnya.

"Lalu?" tanyaku mulai penasaran.

"Ibu meninggalkan banyak hutang. Semua itu akibat lelaki keparat yang telah membunuhnya. Aku yakin selama ini ibu hanya dimanfaatkan olehnya," jelasnya.

Aku tak tahu, jika ternyata Maria lebih menderita dari apa yang kukira. Perihal kematian ibunya tentu sudah membuatnya sedih, lalu hutang? Apa lagi itu?

"Ibu meninggalkan hutang sebanyak 500 juta. Aku harus membayar semuanya. Dan kau tentu tahu Aida, aku pun harus menghidupi adikku," lanjutnya.

Tuhan, sungguh nahas sekali hidup Maria. Bebannya sungguh begitu besar, tapi dia masih terlihat tegar sama seperti saat muda dulu, saat hidupnya dinikmati hanya untuk bekerja dan bersenang-senang saja bersamaku, juga Vina.

"Kau sungguh hebat, Maria," ucapku memuji.

"Bagaimana dengan hutang ibumu sekarang?" lanjutku bertanya.

Kulihat dia menarik nafas dalam-dalam, memejamkan kedua mata lalu tersenyum menatapku ketika membuka mata.

"Semua sudah selesai, Aida. Tugasku sudah selesai," balasnya tersenyum.

Aku yakin, dia pasti merasa lega sekarang. Seperti seseorang yang telah lama mendekam dalam penjara lalu dibebaskan.

"Aku harus pulang, Aida," ucapnya kemudian.

Dia melihat jam di tangannya. Kemudian menyesap kopi terakhir.

"Oh, iya Maria," balasku dengan seulas senyum.

Aku sungguh merasa malu padanya. Aku mengeluh oleh sesuatu yang tak sepadan dengan beban besar yang ia derita. Tentu saja, masalahku jauh lebih kecil jika dibanding masalah yang ditanggung Maria selama ini.

Jika Maria mampu mengatasi masalah seberat itu, lalu mengapa aku harus kalah oleh keadaan yang sebenarnya mampu kuatasi dengan mudah. Sekali pun itu butuh waktu, sebentar atau pun lama. Suatu saat aku pasti bisa menyelesaikan masalah yang menjerat hidupku satu persatu. Aku baru sadar kini, bahwa memang selalu ada aral melintang dalam kita menjalani hidup. Kecil, besar semua terjadi sebab untuk mendewasakan kita.

"Kau di sini hanya liburan, Aida?" tanyanya sebelum mengundurkan diri untuk pulang.

"Ya, Maria," balasku singkat.

"Pulang nanti, bisa sampaikan pesanku pada adikku?" Pintanya.

Dia merogoh sesuatu di dalam tas. Mengeluarkan sebuah buku kecil, menuliskan sesuatu lalu merobeknya.

"Suruh Melia datang ke alamat ini jika ada waktu," ucapnya menyodorkan kertas itu padaku.

Aku menerimanya. Sebuah alamat rumah di jalan  Ir. H. Juanda.

"Ini alamat rumahmu?" tanyaku.

"Ya, Aida. Dan ini kunci rumahku. Tolong serahkan ini untuk Melia," balasnya.

Aku tidak mengerti mengapa Maria menyerahkan kunci padaku. Jika Melia disuruh datang bukankah cukup dengan dia membukakan pintu untuk adiknya itu? Ah, mungkin Maria sibuk, akan lebih baik kalau Melia memegang kunci sendiri.

"Aku harus pulang Aida," ucapnya lagi.

Dia sudah berdiri kini. Aku pun kemudian ikut beranjak.

"Boleh kita foto sebentar, Maria?" pintaku.

Maria tersenyum, kemudian menganggukkan kepala. Aku mengeluarkan Smartphone dari tasku. Dan membidik wajahku yang kutempelkan di pipi Maria. Dengan mimik senyum ceria, kami mengabadikan gambar.

"Terima kasih, Maria," ucapku.

"Oke Aida, aku harus pergi," ucapnya dan langsung beranjak pergi.

Dia seperti terburu-buru. Bahkan, aku belum sempat meminta nomor ponselnya. Aku benar-benar bodoh.
***
Seminggu sudah kunikmati liburan di Bandung bersama keluarga. Hari ini, aku akan pulang bersama suami dan anak-anak. Sebelum pulang, aku izin kepada mas Anto, suamiku untuk berkunjung ke rumah Maria. Aku memiliki alamatnya bukan?

Setelah mencari-cari dan bertanya ke sana ke mari, akhirnya aku menemukannya. Sebuah rumah yang cukup asri. Aku takjub melihatnya. Bagaimana tidak, setelah mendengar cerita Maria tentang hutang yang harus ia tanggung dan berhasil dilunasi olehnya, kini aku menyaksikan sebuah rumah yang cukup mewah yang dimilikinya. Bahkan aku sendiri pun belum mampu membeli sebuah rumah kecil meski telah lama menikah dan memiliki dua orang anak. Aku masih menumpang di rumah orang tua.

Sepi. Aku berkali-kali menekan bel yang ada di depan gerbang tapi masih belum ada yang keluar dari dalam. Mungkin Maria sedang pergi. Sendirikah dia tinggal di rumah ini?

Sesaat terbersit keinginan untuk membuka sendiri dengan kunci yang Maria kasih padaku. Tapi kuurungkan ketika seseorang datang menanyakanku.

"Cari siapa Neng?" tanya seorang lelaki paruh baya.

"Maria. Bapak kenal?" tanyaku kemudian.

"Aduh Neng, kau siapanya Maria? Kerabatnya?" tanya bapak itu.

"Aku temannya, Pak," balasku tersenyum.

"Kau sama cantiknya dengan Maria. Kalian teman kerja ya? Ada waktu untukku malam ini, Cantik?" ucap bapak itu dengan tatapan menggoda.

Aku tak mengerti apa yang diucapkannya.

"Maksud bapak apa?" tanyaku.

"Alah kau paling sama seperti Maria. Pelacur, iya kan?" ucapnya.
Aku semakin tak mengerti dengan apa yang bapak itu katakan. Pelacur? Apa Maria seorang pelacur?

"Tidak, Pak. Saya hanya temannya di waktu remaja dulu," balasku mencoba menjelaskan.

"Oh, aku kira kau sama seperti Maria. Untuk apa kau mencarinya, dia itu sudah mati," balasnya.

Mati? Apa lagi ini? Perasaanku semakin tak karuan.

"Apa maksud bapak bilang Maria mati?" tanyaku sebab tak percaya.

Baru dua hari yang lalu aku bertemu dengan Maria. Dia tampak sehat, bagaimana mungkin Maria meninggal?

"Aduh Neng, kalau tidak percaya tanya saja sama semua orang di sekitar sini. Semua orang kenal Maria, seorang pelacur cantik yang tak sepi orderan dari orang-orang kaya termasuk artis dan pejabat pun pernah merasainya. Dia itu sudah mati dua minggu yang lalu gantung diri," balas bapak itu panjang lebar.

Lalu, siapa yang kutemui dua hari yang lalu? Aku berkali menggelengkan kepala tak percaya.

"Tidak mungkin Maria mati. Aku baru bertemu dengannya dua hari yang lalu. Kalau bapak tidak percaya akan aku tunjukkan fotoku bersamanya yang kuambil saat bertemu," ucapku dengan suara sedikit dikeraskan. Aku marah.

Aku merogoh tas, mengeluarkan Smartphone lalu membuka album mencoba menunjukkan fotoku dengan Maria. Tapi..,

"Maria," lirihku.

Di foto itu hanya ada aku yang tengah tersenyum. Sementara wajah Maria yang seharusnya ada di sebelahku hilang entah ke mana. Seketika, air di mataku pun runtuh.


Kaohsiung, 29 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun