"Ibu meninggalkan banyak hutang. Semua itu akibat lelaki keparat yang telah membunuhnya. Aku yakin selama ini ibu hanya dimanfaatkan olehnya," jelasnya.
Aku tak tahu, jika ternyata Maria lebih menderita dari apa yang kukira. Perihal kematian ibunya tentu sudah membuatnya sedih, lalu hutang? Apa lagi itu?
"Ibu meninggalkan hutang sebanyak 500 juta. Aku harus membayar semuanya. Dan kau tentu tahu Aida, aku pun harus menghidupi adikku," lanjutnya.
Tuhan, sungguh nahas sekali hidup Maria. Bebannya sungguh begitu besar, tapi dia masih terlihat tegar sama seperti saat muda dulu, saat hidupnya dinikmati hanya untuk bekerja dan bersenang-senang saja bersamaku, juga Vina.
"Kau sungguh hebat, Maria," ucapku memuji.
"Bagaimana dengan hutang ibumu sekarang?" lanjutku bertanya.
Kulihat dia menarik nafas dalam-dalam, memejamkan kedua mata lalu tersenyum menatapku ketika membuka mata.
"Semua sudah selesai, Aida. Tugasku sudah selesai," balasnya tersenyum.
Aku yakin, dia pasti merasa lega sekarang. Seperti seseorang yang telah lama mendekam dalam penjara lalu dibebaskan.
"Aku harus pulang, Aida," ucapnya kemudian.
Dia melihat jam di tangannya. Kemudian menyesap kopi terakhir.