"Oh, iya Maria," balasku dengan seulas senyum.
Aku sungguh merasa malu padanya. Aku mengeluh oleh sesuatu yang tak sepadan dengan beban besar yang ia derita. Tentu saja, masalahku jauh lebih kecil jika dibanding masalah yang ditanggung Maria selama ini.
Jika Maria mampu mengatasi masalah seberat itu, lalu mengapa aku harus kalah oleh keadaan yang sebenarnya mampu kuatasi dengan mudah. Sekali pun itu butuh waktu, sebentar atau pun lama. Suatu saat aku pasti bisa menyelesaikan masalah yang menjerat hidupku satu persatu. Aku baru sadar kini, bahwa memang selalu ada aral melintang dalam kita menjalani hidup. Kecil, besar semua terjadi sebab untuk mendewasakan kita.
"Kau di sini hanya liburan, Aida?" tanyanya sebelum mengundurkan diri untuk pulang.
"Ya, Maria," balasku singkat.
"Pulang nanti, bisa sampaikan pesanku pada adikku?" Pintanya.
Dia merogoh sesuatu di dalam tas. Mengeluarkan sebuah buku kecil, menuliskan sesuatu lalu merobeknya.
"Suruh Melia datang ke alamat ini jika ada waktu," ucapnya menyodorkan kertas itu padaku.
Aku menerimanya. Sebuah alamat rumah di jalan  Ir. H. Juanda.
"Ini alamat rumahmu?" tanyaku.
"Ya, Aida. Dan ini kunci rumahku. Tolong serahkan ini untuk Melia," balasnya.