Mohon tunggu...
Andre Zalukhu
Andre Zalukhu Mohon Tunggu... Penulis - Miracle 24

Penulis berprofesi sebagai Digital Marketer di salah satu perusahaan otomotif di Kota Medan. Hobi mendengar lagu-lagu indie folk dan senang berpetualang di alam absurditas kata.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sang Mantan: Dialog Lagu yang Sedang Membicarakanmu...

19 Februari 2020   22:14 Diperbarui: 19 Februari 2020   22:22 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu...

Aku merasa yang namanya berat untuk bangun dari tidur. Seakan kaki dirantai bola besi yang sering dipakai bajak laut yang ditawan di penjara berkeamanan maksimum dalam anime One Piece all chapter.

Pagi itu suasananya senyap. Aku terbangun pukul 6 pagi.

Mencari, mengumpul nyawa sedikit demi sedikit, untuk sadar hari apa ini, akan kemana, dan bertemu siapa. 

Aku beranikan diri untuk duduk dulu.

Melihat ke sekeliling, ya hari ini hanyalah hari biasa, seperti hari-hari kemarin.

Ini hanyalah kamarku sendiri, seperti hari-hari yang lewat.

Tidak ada yang berbeda.

Kecuali...

Aku beranjak bangun dan mengambil handphone yang ku taruh di meja belajarku, hanya beberapa meter saja jaraknya dari ranjang ini.

Aku mengusapnya dan sadar, fotonya tak lagi di sana.

Mengapa layarnya kelihatan hitam? pikirku.

Tidak ada lagi pesan 'selamat pagi' darinya. Biasanya dia suka menyapaku dengan menggunakan berbagai bahasa. Kadang, 'Guten Morgan', bahkan kadang dalam bahasa daerahnya, "Yaahowu Zihul6wongi".    

Meskipun kadang sulit mengerti apa maksudnya, tapi itu membuatku tersenyum kecil dan hati ini sedikit berdenyut riang karenanya.

Ku berjalan keluar kamar menggelengkan kepala, mencoba menghentikan memori ini. Menuju teras rumah dan melihat sinar matahari yang belum setinggi pohon alpukat di depan rumahku.

Suara-suara di kepalaku berbisik, "Sudah hari kesepuluh." 

Aku menghela nafas sejenak. Mencoba acuh dan masa bodoh. Tapi semakin aku berusaha mengingkari itu, semakin besar suara-suara itu di pikiranku.

Aku teringat sebuah lagu yang berlirik realistis. Sebuah lirik karya Eross Chandra yang beberapa waktu lalu ku dengar. Liriknya membuatku tersadar, betapa aku memang di persimpangan jalan.

"Mau tak mau ku harus melanjutkan yang tersisa, meski semua telah berbeda dan takkan pernah ada yang sama... (Jagostu - Mau Tak Mau)."  

Lagu dari band side job yang dibentuknya itu meringankan langkahku.

Aku mengamininya.

Aku tahu, aku benar-benar tahu, meskipun dia kembali suatu saat, meski aku bisa melihatnya lagi, meski ada harapan untuk itu, dia hanyalah orang di masa lalu yang takkan pernah sama seperti dulu lagi.  

Suara di kepalaku kembali berbisik.

"Terbiasa bersama, membuat tersiksa. Aku di sini bermimpi tentangmu. Rindu, mengapa datang selalu. Rindu aku tak sanggup, rindu mengapa datang selalu. Bahkan sekarang ku rindu amarahmu...(Dengarkan Dia - Rindu)." 

Lagu dari pasangan Ayudia Bing Slamet dan Ditto Percussion seperti menantangku.

Jujur saja pada dirimu sendiri, kau merindukannya kan? tanya batinku sendiri.

Meski harus ku akui, aku memang rindu. Bahkan pada waktu bertengkar pun, waktu kami berdebat, waktu kami saling mempertahankan ego masing-masing, dia terlihat sangat menawan.

Aku rindu momen ketika dia marah, dia terlihat lucu ketika wajahnya cemberut karena kehabisan kata-kata.

Ahh, sialan, pikirku.

Aku ingin masuk saja kembali ke rumah dan langsung mandi.

Lalu tiba-tiba suara lain datang.   

"Ingin ku tau apa kata hatimu. Saat berpisah, kita saling menjauh. Samakah kehilangan itu...(Ryan Ho - Berhenti Mencintai)."  

Lagu itu tiba-tiba muncul di pikiranku. Membuatku menghentikan langkah.   

Dan aku benci, karena perlahan aku mulai mengakui, aku ingin dia merindukanku juga.

Apa secepat itu dia melupakanku?

Suara itu memang mengesalkan.

Aku kembali duduk di teras rumah.  Bertanya-tanya sendiri sesuatu yang sebenarnya aku tidak ingin tau jawabannya.

"Namun ku yakin kau kembali untukku...(Baim - Kau Milikku)." Kemudian suara lagu lain datang padaku. Entah apa maksudnya.

Tapi ia seperti lempang saja, aku tak berdaya menahannya.

"Masih ku rasakan kau milikku, selamanya....(Baim - Kau Milikku)."  

Tanganku seketika ingin mengetik pesan. Mengetik pesan yang biasanya aku kirim padanya setiap pagi. Aku sudah tak tahan lagi.

"Selamat beraktivitas, jangan lupa sarapan, yang semangat ya kuliahnya!" Seakan memang dia masih milikku dan peristiwa kemarin, pertengkaran hebat kemarin hanyalah mimpi buruk dan aku sudah terbangun dari mimpi itu.

Aku ingin lari dari kenyataan.

Jari-jari ku sudah mengetik pesan itu. Dan aku sisipkan namanya di kalimat akhir. Aku mulai mengotak-atik kontak. Mulai mengetik namanya, mencari orang yang menganggu pikiranku sedari tadi itu. 

"Seharusnya kau dan aku tetap memiliki...(Baim - Kau Milikku)."  

Lagu itu terus memburuku. Jantungku berdegub kencang tak karuan, padahal ini masih pagi.

Jari-jariku semakin cepat mencari namanya.

Aku tidak melihat namanya ada di kontak. Mataku terbelalak. Mencoba mengulang lagi mengetik namanya.

Aku melemaskan jariku dan mencoba men-scroll kontak dari atas ke bawah.

Mencari namanya. Namamu, namamu, siapa namamu? 

Aku cari dan cari. 

Aku menghela nafas. Aku lupa. Sejak pertengkaran hebat kita kemarin, aku sudah menghapusnya. Bahkan aku sudah memblokirnya.

Aku merasa bodoh.

Untuk apa aku kirimkan pesan ini? batinku.

Bisa ku nikmati setiap kursor itu menghapus kata demi kata di kotak pesanku lalu mataku berkaca-kaca.  

"Namun ku yakin kau kembali untukku...(Baim - Kau Milikku)." Lirik lagu itu melantun lagi.  

Aku menggertakkan gigi.

Aku kesal. Aku tidak peduli. Aku ingin membanting saja handphone ini. Siapa peduli pada keyakinanmu?! Bodoh! batinku.   

"Apa yang bisa aku lakukan jika ia memilih untuk tak tinggal dan semua terus berjalan...(Jagostu - Mau Tak Mau)." Lirik lagu Jagostu kembali berdengung di pikiranku.

Potongan lirik itu seperti melawan lirik Baim yang barusan.   

Terima saja kenyataan Andre, semua takkan sama lagi!  

Aku menghela nafas, menundukkan kepalaku dan berjalan lambat ke pintu. 

"Baru ku sadari kalau aku kehilangan, terbangun dari tidurku dan merasakan sepi...(Baim- Kau Milikku)." Lagu dari Baim itu sepertinya tak mau kalah. Ia terus saja mengusikku.

 "Ada yang hilang waktu kamu tak ada, seakan mati rasa dan tak sempurna... (Ryan Ho - Berhenti Mencintai)" Lagu dari Ryan Ho itu juga ikut menggerayangiku. Potongan lirik itu seakan bersanding dengan Baim. Duet mereka seperti tak bosan menggara-garaiku pagi ini.

Memang ada yang hilang dari dalam diriku.

Aku...aku tau itu.

"Separuh nafasku terbang bersama dirimu, saat kau tinggalkanku, salahkanku...(Dewa 19- Separuh Nafas)" Kini giliran lagu puitis dari seorang Ahmad Dhani yang menggoyahkan pikiranku. 

Ingin ku teriak jadinya.

Tapi aku tidak tau untuk apa. Aku merasa baik-baik saja, tapi sebenarnya tidak baik-baik saja.

Paham?!

Aku juga tidak.

"Tetapi tak dapat ku mengerti, tak dapat ku mengerti, tak dapat ku mengerti... (Peterpan - Di Atas Normal)" Kali ini playlist di pikiranku berganti lagi. Seakan dia berganti otomatis, bernyanyi sesuai dengan mood ku pagi ini.

"Ooh, ku mencari sesuatu yang telah mati, ku mencari hati yang ku benci, ku mencari sesuatu yang tak kembali, ku mencari hati yang ku benci...(Peterpan - Di Atas Normal)"

Salah satu hits dari Peterpan di awal 2000-an itu bermain di pikiranku. Membuatku mulai membenci diriku sendiri untuk semua pencarian ini.

Aku tidak tau lagi harus mendengar yang mana.

Aku memejamkan mataku.

"Apa yang bisa aku lakukan, jika ia memilih untuk tak tinggal, dan semua terus berjalan... (Jagostu- Mau Tak Mau)."

Ya, lagu itu kembali berbisik.  

Semua terus berjalan. Bumi terus berputar pada porosnya. Kau benar, Jagostu.

Kau adalah satu-satunya temanku.

Si Baim, si Ryan Ho, si Dhani, bahkan si Ariel tidak mengerti yang aku rasakan. Mereka semua hanya mengeluh! batinku kesal.     

Dia yang memilih untuk tak tinggal. Bukan aku.  

Dia yang memilih untuk lari. Bukan aku.

Aku menunggu pikiranku memainkan lagu-lagu lain. Mereka memang senang menggodaku. Untuk kembali murung. Untuk menggoyahkan keputusanku. Untuk kembali padanya.  

Nah, mana? Apa lagi yang mau kau mainkan?!  

Aku melihat jam tanganku. Ternyata sudah hampir 30 menit aku terbengong di sini. Lalu aku bergegas masuk ke rumah, bersiap menuju kampus. Ada mata kuliah Ekonomi Makro pagi ini.

Suara-suara itu perlahan hilang.

Aku sampai ke kelas pagi sekali. Mencoba bicara dengan siapapun yang pertama ku jumpai. Meski itu hanya caraku untuk menyembunyikan patah hatiku.

Demi Tuhan, aku hanya ingin tertawa hari ini.

Aku menggoda seorang gadis manis di kelasku. Dia duduk sendirian di pojokan sambil mendengarkan lagu di headset-nya. Dia memang selalu datang pagi-pagi sekali. Aku menarik bangku, duduk di sampingnya dan memulai pembicaraan kecil.

"Kamu ada waktu gak entar malam?"

"Enggak. Kenapa?"

"Keluar, yuk. Cari angin."

"Haha. Modus, ya?"

"Yee. Kok modus. Aku serius, loh."

"Aku kabari entar deh."

Aku lalu mengajaknya ke topik lain. Sampai aku membuatnya tertawa terpingkal-pingkal dengan ceritaku, karena kata orang cara membuat seorang gadis jatuh cinta adalah dengan membuatnya tertawa.  

"Kamu lucu banget deh. Beneran kamu jatuh dari sepeda dan kakimu nginjak tahi?" tanyanya.

Aku cengengesan saja. Dan pagi itu aku bisa tertawa lepas.

Jujur saja, mungkin ini yang ku butuhkan.

"Ku kan terus berjalan, walau hatiku panas, ku rela biarkan saja sekarang, siapapun gantimu aku akan mau...(Tongam Valentino - Ku Kan Terus Berjalan)." Potongan lagu ini berbisik padaku.

Mencari pelarian? Itu ide yang bagus.  

Seperti ingin berkoalisi denganku, lagu itu seakan memberi sugesti. "Iya, Ndre. Cari saja penggantinya sekarang." 

Perkuliahan pun dimulai beberapa menit kemudian.

Aku tidak ingin ingat bagian yang ini. 

Skip. 

Aku pulang dari kampus, lalu merebahkan diriku di kasur. Rasanya lelah sepanjang hari.

Aku memandang dinding putih kamarku. Rasanya hampa. Kosong.  

Biasanya ada yang mengingatkanku makan siang, biasanya ada yang mengingkatkanku untuk tidur selagi sempat, biasanya dia akan mengirimkan pesan-pesan lucu untuk menghiburku.

Aku memejamkan mata. RASANYA BERAT SEKALI UNTUK MELUPAKANMU. 

Padahal sudah hampir dua minggu.

"Namun masing-masing kamar kita telah menjadi saksi, siapa nama yang kita tangisi, dan bingkai mana yang kita peluk berulangkali, hingga jatuh air mata ke dasar, hingga jatuh air mata, hingga menggenang...(Elegi - Rindu Yang Kita Tangisi)." Lirik itu bersenandung di kepalaku.

Aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa berdiam diri saja. Pikiran tentangnya terus mengusikku.

Aku mencoba menyibukkan diri sendiri. Jangan sampai mengingatnya terus dan ini bisa membuatku gila.

Aku  bangun, mulai mengetik di laptop. Mencoba mengerjakan tugas makalah yang sudah dekat deadline-nya.

Sewaktu aku asyik mengetik dan menyimpan file words-nya, aku teringat folder yang pernah ia buat.

Tanganku sedikit ragu membukanya.

Jangan dibuka, jangan dibuka, batinku.

Tapi tetap saja. Aku membukanya seperti membuka kotak pandora dan melihat banyak tulisan yang ia buat seperti makalah kampus, esai dan lainnya. Ia memang sering meminjam laptopku waktu itu.

Aku membacanya satu per satu, dan aku...

Shit. Apa aku harus membuang laptopku juga?  

Aku langsung menutup laptopku. Perasaan ini tak boleh dibiarkan terlampau lama.

Aku tak boleh jatuh dan jatuh lagi pada pertanyaan yang sama.

Pada harapan yang sama.

Hubungan ini sudah selesai.

Cukup.

Dan kalimatnya kemarin tak bisa dicabut kembali.

"Aku ingat pertemuan terakhir kita, sedang bertengkar hebat, lalu diam tak bicara. Tak ada kata maaf yang terucap. Pun selamat tinggal tak pernah terdengar. Hanya ada kata: CUKUP SUDAH. Lalu pergi saling membelakangi diri, menoleh untuk terakhir kali? Tak kita lakui...(Elegi - Rindu Yang Kita Tangisi)."

Potongan lagu itu berbisik, seperti sebuah rekaman CCTV yang mengingatkanku lagi rentetan pertengkaran hebat kemarin, lagu itu tahu benar apa yang terjadi malam itu.    

Andai aku bisa kembali ke masa lalu dan menegur diriku sendiri untuk bersabar, ingin aku menampar keras pipiku sendiri.  

Sore ini, aku benar-benar menyesal pernah berkata kasar padanya waktu itu.

Dan seandainya aku bisa jadi seorang penengah, sabar, dan  mengimbanginya, semua ini takkan pernah terjadi.

Seandainya saja aku mau mengalah, sedikit saja mengalah, maka hari ini aku masih bisa mendengar suaramu, bukan lagi suara-suara lagu yang saling memperdebatkan dirimu.

"Maafkan kata yang t'lah terucap, akan ku hapus jika ku mampu. Andai ku dapat meyakinkanmu, ku hapus hitamku...(Andra And The Back Bone - Hitamku)."

"Andai ku dapat memutar waktu, semua takkan terjadi..." lanjutan lirik itu kembali menyerbuku. Membuatku larut dalam penyesalan.  

Selalu saja penyesalan.

Ketika aku hampir putus asa dan ingin kembali tidur, tiba-tiba saja handphoneku bergetar.

"Jadi keluar gak malam ini?" tanya gadis di kelasku tadi lewat sebuah pesan pendek.

Aku sumringah sekali membacanya. Senyum langsung tersungging di wajahku.

Jemariku sudah mengetik setengah baris dengan semangat, sebelum akhirnya berhenti. Aku berpikir ulang.

Aku menghapusnya, lalu mengetik ulang, "Enggak." 

Tak lama dia membalas, "Huh, gaje lu." 

Aku menghela nafas.

"Jangan anggap hatiku, jadi tempat persinggahanmu untuk cinta sesaat... (HIVI - Pelangi)" Aku merasa jahat padanya jika mengajaknya keluar malam ini. 

Aku menghentikan itu.

Aku merasa ini cara yang salah untuk move on.

Dan aku tidak mau mengecewakan siapapun lagi.

Malam ini aku matikan sosial mediaku, dan mulai berdoa.

Berdoa dengan sungguh-sungguh.

Semoga Tuhan memberi dia kebahagiaan. 

Semoga Tuhan membuka pintu maaf di hatinya, dan dia menemukan orang yang tepat untuk membahagiakannya.

Ya, aku mohon maaf pada-Mu, aku telah gagal menjaga salah satu gadis favorit-Mu.

Aku memejamkan mataku.

Suara di pikiranku bernyanyi lagi, mungkin ini yang terakhir sebelum aku tidur dari dialog-dialog lagu yang mengusik.

"Semoga angin berhembus, membawakan mimpi baru, meski ku tau takkan pernah ada yang sanggup mengganti keindahannya...( Jagostu - Mau Tak Mau)."

Ya, pada akhirnya selalu penyesalan.

Terima itu.

Tapi aku percaya, melupakanmu hanya sejauh penerimaanku akan kenyataan.

Hari Ini 
Waktu berlalu. Memang tak sampai sewindu, tapi rasanya seperti sudah lama aku tak lagi dengar kabarmu.

Iya, kamu.

Aku berharap kamu baik-baik saja di sana. Aku harap kamu menikmati valentine days mu dengan kekasihmu yang baru kemarin, dan berharap kekasihmu tidak lupa menegurmu karena kamu selalu saja tidak menghabiskan makananmu. Itu saja. Sisanya aku yakin kamu bisa mengatasinya.   

Aku mengetik ini sambil tersenyum. Mengingat-ingat semua. Rasanya aku dulu seperti anak-anak. Rasanya dulu kita seperti anak-anak.

"Sesungguhnya ku t'lah rela melepaskan dirimu, hanya saja ku menyesal kau telah buang waktuku, dan kini semuanya telah terjadi...(Mocca - Ketika Semua Telah Berkahir (ft. Gardika Gigih)" 

Aku tidak sedang ingin berdebat denganmu tentang ini. Dia memang membuang waktuku, tapi itu semua demi sesuatu yang berarti.  

Tapi Mocca benar. Aku telah rela melepaskan dirinya. Rasanya itu sudah lama sekali.

Mantan. Iya, mantan.

Mantan selalu menghadirkan kesan tersendiri di hati manusia perasa.

Berbahagialah mereka yang memiliki mantan.

Karena mantan adalah sahabat terbaik yang pernah memperkenalkan kamu dengan dirimu sendiri. 

Karena mantan adalah orang yang menguji batas-batas dirimu.

Kamu jadi tau seberapa dalam kamu bisa mencintai, seberapa dalam kamu ternyata bisa cemburu, seberapa sabar kamu, seberapa cepat kamu mengambil keputusan, seberapa labilnya dirimu, dan seberapa kamu sadar membutuhkan lebih dari sekedar teman di hidupmu.

Mantan membawamu pada dunia yang benar-benar baru, dan ketika kamu berpisah dengannya, kamu menjadi orang yang sama sekali berbeda.

Caramu bicara, logatmu, gaya hidupmu, kebiasaanmu, pengalamanmu, semua kenangan itu telah mengubahmu meski tanpa kamu sadari. 

Dan kalau kamu merindukannya, percayalah dia juga pasti merindukanmu.

"Biar dia merindukanmu sendiri, jangan resah dia pasti pikirkanmu, walau kau tak tahu...(Iqbaal Ramadhan- Rindu Sendiri)."

Valentine days tahun ini membuatku ingat padanya. Bukan tentang cokelatnya, bukan tentang bunga plastiknya, atau tentang kalimat-kalimat romantisnya, tapi tentang apa yang selalu ia ucapkan dulu ketika bersama: "Bang, jangan lupa sikat gigimu malam ini, ya."

Karena ketika kalian berpisah, dalam diri kalian ada sesuatu yang telah tertinggal.

Walau kau tak pernah tau. Walau dia juga tak pernah tau.

Tapi kalian sama-sama tau itu tersembunyi di hati masing-masing.

Dan itu bernama: Kebiasaan.

Terima kasih mantan.

Valentine days di tahun ini terasa lebih hangat ketika mengingatmu (psst... jangan kasih tau pacarku.)   

 (Based on true story)

***

My Estafet Team: Ade Guntur & Una Anshari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun