Mengapa layarnya kelihatan hitam? pikirku.
Tidak ada lagi pesan 'selamat pagi' darinya. Biasanya dia suka menyapaku dengan menggunakan berbagai bahasa. Kadang, 'Guten Morgan', bahkan kadang dalam bahasa daerahnya, "Yaahowu Zihul6wongi". Â Â
Meskipun kadang sulit mengerti apa maksudnya, tapi itu membuatku tersenyum kecil dan hati ini sedikit berdenyut riang karenanya.
Ku berjalan keluar kamar menggelengkan kepala, mencoba menghentikan memori ini. Menuju teras rumah dan melihat sinar matahari yang belum setinggi pohon alpukat di depan rumahku.
Suara-suara di kepalaku berbisik, "Sudah hari kesepuluh."Â
Aku menghela nafas sejenak. Mencoba acuh dan masa bodoh. Tapi semakin aku berusaha mengingkari itu, semakin besar suara-suara itu di pikiranku.
Aku teringat sebuah lagu yang berlirik realistis. Sebuah lirik karya Eross Chandra yang beberapa waktu lalu ku dengar. Liriknya membuatku tersadar, betapa aku memang di persimpangan jalan.
"Mau tak mau ku harus melanjutkan yang tersisa, meski semua telah berbeda dan takkan pernah ada yang sama... (Jagostu - Mau Tak Mau)." Â
Lagu dari band side job yang dibentuknya itu meringankan langkahku.
Aku mengamininya.
Aku tahu, aku benar-benar tahu, meskipun dia kembali suatu saat, meski aku bisa melihatnya lagi, meski ada harapan untuk itu, dia hanyalah orang di masa lalu yang takkan pernah sama seperti dulu lagi. Â