“Menarik,” Daan terkekeh. “Kaumembunuh demi pasanganmu, begitu?” Dian menanggapi pertanyaan Daan dengan tawa, tawa tak bersuara. “Darah?”
Dian mengisap rokok lebih dalam. “Kautahu… bercinta itu adalah seni tertinggi. Sebagian mereka bilang; seni ilahi. Kauingin melakukan apa saja saat bergumul. Bercinta dalam genangan darah yang hangat, itu—sensasi yang luar biasa. Kaumau mencoba?”
“Lewatkan saja,” Daan mematikan rokok ke dalam asbak.
Di luar, Dwipa dan beberapa anggota saling pandang. Bergidik ngeri mendengar pengakuan wanita tersebut.
“Jadi… siapa femme yang satu lagi?”
“Aku tidak akan mengatakannya,” Dian mencibir. Sebelum Daan membuka mulut, Dian mendahului, “Kaupikir dia juga terlibat?” Daan mengangkat kedua bahu. “Kau tidak mengerti apa-apa tentang kami—“
“Kurasa,” potong Daan. “Aku lebih dari mengerti.”
“Begitu?” Dian terkekeh lantas menjentikkan sisa rokok.
Daan memiringkan kepalanya ke kiri menghindari terjangan puntung rokok, lantas mengumbar senyum.
Dayita Calya… Dian terkekeh lagi, ia ingin saja menyebutkan nama itu sekencang-kencangnya. Namun, ia memilih menyimpannya dalam hati.