Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: XYZ

23 Maret 2016   22:22 Diperbarui: 24 Maret 2016   00:52 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="ilustrasi: http://data.hdwallpapers.im/silent_hill_hd_collection.jpg"][/caption]Daan menghela napas, melepas sarung tangan karet berwarna hijau dari kedua tangannya. Lantas berdiri, melangkah menjauhi jasad kaku, meninggalkan sisanya pada tim forensik.

“Jadi,” songsong Dwipa, menyandarkan tubuhnya ke badan mobil. “Kaumenemukan sesuatu, Daan?”

Daan mengempaskan napas, dua tangan berada di sisi pinggang. “Entahlah… semua masih ambigu. Satu-satunya kesamaan, kemaluan korban yang hilang,” Daan menggerakkan kedua tangan sejajar bahu, menegaskan kata: hilang, pada ucapannya.

 Dwipa melipat kedua tangan ke dada, berpikir sejenak. “Dan ini, korban keempat…” desahan yang mengakhiri ucapannya seakan meneriakkan pada Daan, jika sang Kepala Bareskrim Polda Bali tersebut berharap pelaku—yang belum diketahui itu—tertangkap secepatnya. Begitu pula: mengungkap motif pelaku yang mengebiri kemaluan korbannya.

Ya, Daan sangat mengerti itu: keresahan warga, alih-alih wisatawan. Dan sampai korban keempat ini, pihak Kepolisian masih mampu menutupi. Tapi, andai jatuh korban lagi dan lagi, Daan sama khawatirnya dengan sang atasan. Bali, akan kembali ditelan ketakutan.

“Bagaimana dengan ide; profesionalisme-nya?”

Daan pun menyandarkan punggungnya ke mobil di hadapan Dwipa. “Yaa, saya masih memiliki prasangka pelakunya seorang dokter bedah—setidaknya seseorang yang sangat mengerti organ manusia.”

“Soal, darah?”

Ya, itu benar. Tidak setetes darah pun ditemukan tercecer di TKP, tidak pula semenjak TKP pertama hingga keempat. Inilah yang memusingkan Daan sebagai “orang andalan”  dalam tubuh Divisi Investigasi. Bahkan hal ini pun sudah dipastikan oleh tim forensik yang tidak menemukan ceceran darah meski telah menggunakan cairan luminol di sekitar TKP.

Daan tidak mampu menjawab pertanyaan Dwipa, terlalu sulit, pikirnya. Penjahat macam apa yang mau bersusah-susah agar darah korban tidak tercecer?

Dwipa merentangkan kedua tangan, memutar-mutar leher mencoba mengusir rasa pegal di tubuh. “Pukul tiga lewat sepuluh,” ujarnya melirik Daan. “Pulanglah, tenangkan pikiran, kami mengandalkanmu. Pastikan paling lambat jam sembilan pagi nanti, aku sudah menerima laporanmu di mejaku.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun