“Apa yang bisa kuperbuat?” desah Daan mengenang tingkah Daisy yang suka pergi begitu saja tanpa pamit, tanpa memo. “Apa semua penulis seperti itu?!”
Daan tiba-tiba terdiam, kembali memikirkan dua luka gores di tengkuk Daisy. Seakan mengingat sesuatu yang terabaikan, Daan bergegas menghubungi seseorang lewat ponselnya.
“Hallo, Danang. Saya minta kamu memeriksa kuku tangan korban… ya, TKP pantai. Benar, korban ketiga. Ya. Ok, secepatnya. Satu jam lagi saya akan berada di kantor.”
“Rhesus Negatif? B?” ulang Daan.
“Ya. Anda terlihat tidak senang, Pak?” sahut Danang memerhatikan mimik wajah Daan yang lain dari biasanya.
“Yakin cuma ini saja yang kautemukan?” selidik Daan lagi.
Danang mengangguk pasti, cuma sedikit bercak darah yang bisa ia temukan di kuku korban ketiga tersebut, nyaris luput dari mata telanjang.
Daan menghela napas panjang. “Terima kasih,” ujarnya sambil berlalu dari ruang laboratorium tersebut.
“Sial… bagaimana ini?” geram Daan seorang diri di koridor lengang itu. Di satu sisi, ia senang sebab dengan informasi dari Danang, jelas Daisy tidak lagi menjadi kandidat pelaku-nya. Namun di sisi lain, kembali ia harus memulai dari nol. Ahh, tidak. Dari angka satu, paling tidak ia sudah mengantongi golongan darah pelaku yang tergolong langka—Rhesus Negatif.
Daan baru akan mencapai pintu kantor sang komandan saat ponselnya berdering.