Mohon tunggu...
Andipati 2001
Andipati 2001 Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Suka nulis artikel random, cerpen dan puisi https://www.instagram.com/Andipati17/

Selanjutnya

Tutup

Horor

Kuyang

21 Agustus 2024   12:59 Diperbarui: 21 Agustus 2024   13:06 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.wattpad.com/1471120277-catatan-para-setan-antara-kelinci-dan-kuyang-part

Rita adalah seorang gadis remaja yang lahir dan besar di kota besar, tempat gemerlap lampu kota dan hiruk pikuk kehidupan urban menjadi bagian dari kesehariannya. Setahun yang lalu, keluarganya memutuskan untuk pindah ke sebuah desa kecil yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota, mencari kehidupan yang lebih damai dan kebetulan dengan bisnis ayahnya yang sekarang beroperasi di kampung. Awalnya, kepindahan ini dianggap sebagai perubahan yang positif. Warga desa menyambut keluarga Rita dengan hangat, dan meski mereka berasal dari kota, Rita dan keluarganya diterima dengan baik di desa yang erat dan penuh kekeluargaan. Yang Rita baru tahu, ayahnya ternyata pernah tinggal di desa ini waktu ia muda. Karena itulah, ayahnya cepat beradaptasi dan sudah kenal dekat dengan beberapa warga termasuk sang kepala desa yaitu Pak Kadir.

Rita yang masih duduk di bangku SMA pun dengan cepat menyesuaikan diri. Ia sering bermain dengan teman-teman barunya, anak-anak sebaya yang sudah lama tinggal di desa tersebut. Suasana desa yang asri dan tenang membuat Rita merasa nyaman, meski kadang ia merindukan kehidupan kota yang sibuk dan dinamis. Namun, semua berubah pada suatu hari ketika sebuah tragedi yang mengerikan menimpa keluarganya.

Hari itu, Rita tengah menikmati libur panjang di rumah neneknya yang berada di kota sekaligus mengobati rindu akan teman-teman lamanya di kota. Ia tidak menyangka bahwa hari-hari yang tenang di desa tersebut akan berubah menjadi mimpi buruk. Di rumah, hanya ada ibu, bapak, dan adiknya yang masih berusia tiga bulan. Namun, ketenangan itu hancur ketika adik Rita ditemukan tewas dengan kondisi yang mengerikan. Bayi mungil itu meninggal akibat gigitan makhluk misterius, luka yang terlihat bukan seperti gigitan hewan biasa. Bahkan tubuh mungilnya pun tercabik-cabik.

Ketika Rita kembali ke rumah, ia menemukan keluarganya dalam kondisi yang jauh dari normal. Ibunya menjadi sangat terguncang, berada di ambang kegilaan, sering kali berteriak dengan histeris, memanggil nama adiknya yang telah tiada, "MAAAFKAN IBU, RUDI!!!" Suara itu terdengar setiap malam, menghantui seluruh sudut rumah mereka. Sementara itu, ayahnya, meskipun berusaha tegar, hanya bisa mengurus ibunya dengan kesabaran yang semakin menipis, mencoba menyembunyikan kesedihannya yang mendalam.

Tragedi ini tidak hanya menghancurkan kebahagiaan keluarganya, tetapi juga menjadi bahan pembicaraan di desa. Warga desa mulai membicarakan keluarga Rita, dengan nada yang sering kali terdengar menyalahkan. Mereka bergunjing bahwa keluarga Rita telah mengabaikan adat kampung yang sangat penting untuk keselamatan bayi, yakni memasang belati di bawah ranjang bayi sebagai penangkal makhluk halus. Dalam kepercayaan desa, belati itu dipercaya mampu melindungi bayi dari bahaya yang tidak terlihat, sesuatu yang tidak dipahami oleh keluarga Rita yang berasal dari kota.

Merasa disalahkan dan dihantui oleh rasa bersalah serta keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, Rita mulai mencari-cari informasi di internet. Ia menemukan berbagai cerita dan mitos tentang makhluk gaib yang mengerikan. Salah satunya adalah tentang kuyang, makhluk pemakan bayi yang terkenal dalam mitos lokal. Konon, kuyang adalah seseorang yang menggunakan ilmu hitam untuk memperoleh keabadian, tetapi dengan harga yang sangat tinggi: memakan darah bayi yang masih suci agar umur mereka panjang.

Cerita itu membuat darah Rita berdesir. Ia terbayang makhluk menyeramkan itu yang mungkin saja telah menjadi penyebab kematian adiknya. Namun, ia juga sadar bahwa mitos dan legenda sering kali tidak bisa dibuktikan dengan logika. Meskipun begitu, pikiran tentang kuyang terus menghantui Rita, membayangi setiap langkahnya di desa yang dulu ia anggap sebagai tempat yang tenang dan damai.

Sejak kematian adik bungsunya yang tragis, kesehatan mental dan fisik ibu Rita semakin memburuk. Ibunya yang memang sudah lama sakit-sakitan, kini tampak seperti bayangan dirinya yang dulu. Pikirannya terus dihantui oleh kenangan akan anaknya yang telah pergi, meninggalkan lubang besar yang tidak bisa diisi oleh apa pun. Seiring berjalannya waktu, tubuhnya semakin kurus, matanya cekung dan selalu penuh dengan air mata yang tak pernah kering. Kejadian itu menghancurkan semangat hidupnya, membuatnya terperosok ke dalam jurang kesedihan yang begitu dalam.

Setiap malam, suara isak tangis ibunya menggema di seluruh rumah, menambah berat beban yang sudah dirasakan oleh Rita dan ayahnya. Ayah Rita, dengan penuh kasih sayang, berusaha keras untuk membantu istrinya bangkit dari keterpurukan. Ia bahkan sempat berencana membawa sang istri ke kota, berharap seorang psikiater bisa menyelamatkan kesehatan mentalnya. Namun, setiap kali ia mencoba membujuk istrinya untuk berobat, yang terjadi justru sebaliknya: ibunya akan meronta, menolak dengan keras, seolah berusaha lari dari kenyataan. Ketakutan dan penolakannya terhadap pengobatan membuat ayah Rita hanya bisa pasrah, merawatnya dengan sabar di rumah, mencoba yang terbaik meski tahu itu mungkin tidak cukup.

Situasi menjadi semakin sulit ketika ibunya mulai menunjukkan perilaku yang semakin tidak terkendali. Karena kondisinya yang semakin memburuk, ayah Rita terpaksa mengunci ibunya di dalam kamar, agar tidak melukai diri sendiri atau orang lain. Dalam kondisi yang rapuh itu, hanya ayahnya yang diperbolehkan masuk ke kamar, merawat dan menemaninya. Rita, meskipun sangat ingin berada di dekat ibunya, dilarang untuk menemui sang ibu. Ia hanya bisa berdiri di depan pintu kamar, mendengarkan suara tangisan ibunya yang memilukan, yang seakan-akan menembus dinding dan langsung menyayat hatinya.

Rita sering kali merasa putus asa dan tak berdaya. Tangis ibunya yang terus menerus itu menjadi mimpi buruk yang selalu menghantuinya. Setiap malam, Rita akan menangis di pelukan ayahnya, merasakan kesedihan yang mendalam namun tak mampu melakukan apa pun untuk mengubah keadaan. Setiap hari berlalu dengan rasa putus asa yang semakin menumpuk, hingga akhirnya, setelah empat bulan yang penuh penderitaan, ibunya meninggal dunia. Tubuhnya yang lemah tak lagi sanggup menahan rasa sakit dan kesedihan yang telah merusaknya secara perlahan.

Kematian ibunya menjadi pukulan terakhir bagi Rita. Malam setelah ibunya dikuburkan, Rita mengalami mimpi yang sangat nyata, seolah-olah ia kembali ke masa-masa ketika ibunya masih hidup dan menunggu ajal di dalam kamarnya. Dalam mimpinya itu, Rita melihat sosok ibunya yang pucat, dengan mata yang kosong namun penuh dendam. Tubuh ibunya yang kurus kering mendekatinya, dan sebelum Rita bisa menghindar, tangan ibunya mencengkeram kuat tangannya. Cengkraman itu terasa begitu nyata, seakan-akan mimpinya bukanlah sekadar mimpi. Dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, ibunya berbisik, namun nadanya penuh tekanan, "Temukan pembunuh adikmu! Jangan tidur dengan nyenyak, jangan makan dengan kenyang, jangan memotong rambut, sampai kamu menyeret pembunuh adikmu dan membuatnya sujud ke makam ibu!"

Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di benak Rita, bahkan setelah ia terbangun dari mimpi buruk tersebut. Setiap kali ia menutup mata, ia bisa merasakan cengkraman dingin ibunya, mengingatkan kembali akan janji yang harus ia tepati. Kini, Rita merasa seolah-olah ia terikat pada sumpah yang diberikan oleh ibunya dalam mimpi itu. Perasaan bersalah dan tanggung jawab yang besar mulai merayap ke dalam jiwanya, membuatnya sadar bahwa hidupnya tidak akan pernah kembali normal sampai ia berhasil menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian adiknya.

Sejak saat itu, hidup Rita berubah sepenuhnya. Rasa takut, kesedihan, dan dendam mulai menguasai pikirannya. Ia tahu bahwa ia harus mencari kebenaran, meskipun itu berarti harus menggali lebih dalam ke dalam dunia gelap yang selama ini berusaha ia hindari. Rita tidak tahu apa yang akan ia temukan, tetapi satu hal yang pasti: ia tidak akan berhenti sampai ia menemukan jawaban dan memberikan keadilan untuk keluarganya, terutama untuk ibunya yang kini sudah tenang di alam baka, menunggu janji yang diucapkan anaknya dalam mimpi.

Dua tahun telah berlalu sejak tragedi yang mengguncang hidup Rita. Kini, ia tengah menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi, mencoba melanjutkan hidupnya di tengah bayang-bayang masa lalu yang masih menghantui. Namun, di balik rutinitas kuliah dan pertemanan yang baru, Rita tidak bisa sepenuhnya melupakan apa yang telah terjadi. Kesedihan yang dulu menekan jiwanya kini berubah menjadi dendam yang membara. Setiap langkahnya dipenuhi dengan tekad untuk menemukan kebenaran tentang kematian adiknya, Rudi.

Rita tidak tinggal diam. Ia telah melakukan berbagai penyelidikan, bertanya kepada sesepuh desa yang dianggap mengetahui banyak hal tentang dunia gaib. Ia juga mendatangi orang-orang pintar yang terkenal mampu berkomunikasi dengan makhluk halus. Tapi setiap kali ia berharap menemukan petunjuk, yang ia terima hanya kebingungan dan penolakan. Semua orang yang ia temui seakan tidak tahu atau mungkin tidak mau berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi pada adiknya. Semakin banyak jawaban yang tidak memuaskan, semakin besar rasa putus asa yang ia rasakan.

Usahanya yang tanpa henti untuk menemukan jawaban membawa Rita ke titik terendah dalam hidupnya. Ia merasa seolah-olah semua usahanya sia-sia, tidak ada jalan keluar, dan kebenaran yang ia cari seolah semakin jauh dari jangkauannya. Dalam keputusasaan itu, ia mulai merasa bahwa ia mungkin tidak akan pernah tahu siapa atau apa yang bertanggung jawab atas kematian Rudi. Pada saat-saat seperti itu, ketika beban mental dan emosionalnya mencapai puncaknya, ayahnya, satu-satunya orang yang ia rasa masih bisa ia andalkan, datang membawa kabar yang tak terduga.

"Rita," suara ayahnya terdengar tenang, namun di dalamnya ada nada yang berat, seolah-olah apa yang akan ia katakan juga membebani pikirannya, "Bapak berencana menikah lagi."

Kata-kata itu menghantam Rita seperti pukulan yang tak terduga. Sebelum ia sempat memproses sepenuhnya apa yang telah dikatakan ayahnya, ia mendengar siapa calon istri baru ayahnya: guru SMA-nya dulu, seorang perempuan aneh yang selalu mengenakan syal ke mana pun ia pergi, atau setidaknya mengenakan baju turtle neck yang menutupi hampir seluruh lehernya. Perempuan itu, Rita tak kenal betul. Katanya orang yang dicintai para murid, tapi Rita tidak kenal dekat dengannya sewaktu SMA. Rita kepalang benci padanya karena banyak warga yang berbisik-bisik di belakangnya jika perempuan yang dipanggil Bu Santi itu sempat hamil di luar nikah karena ayahnya, sewaktu ayahnya masih tinggal di desa ini. Rita tentu tidak percaya, ayahnya bukan orang yang seperti itu.

"Bapak tuh emang ga pernah peduli sama Ibu ya?! Ga pernah peduli sama nasib Rudi!" Rita meledak, kemarahannya yang telah lama terpendam kini meluap tanpa terkendali. "Sampai sekarang pun kita ga tahu siapa yang makan Rudi, Pak! Bapak pernah mikir ga si, sekali aja, buat nyari siapa pembunuh Rudi, Pak? Emang dasar lelaki gatal!"

Sebuah tamparan mendarat di pipi Rita, keras dan mengejutkan, memutus aliran kata-kata kasar yang hampir tak bisa ia kendalikan. Untuk sesaat, ada keheningan yang sangat mencekam di antara mereka. Rita merasakan pipinya yang panas dan berdenyut, sementara air mata mulai menggenangi matanya. Ia menatap ayahnya dengan perasaan tidak percaya, tidak percaya bahwa orang yang selama ini ia pandang sebagai satu-satunya penopang kini tampak seperti orang asing.

"Sudahlah, Rita! Lupakan soal itu, kamu tidak harus kesusahan mencarinya! Yang sudah terjadi biarkan saja berlalu!" Suara ayahnya bergetar, namun tetap tegas. Kata-katanya menghancurkan sisa-sisa harapan yang mungkin masih tersisa dalam hati Rita. Bagaimana bisa ayahnya menyuruhnya melupakan sesuatu yang begitu penting? Bagaimana bisa ayahnya berpaling dari kebenaran yang seharusnya mereka perjuangkan bersama?

Rita tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya berlari keluar rumah, air matanya tumpah, membasahi wajahnya yang penuh amarah dan kepedihan. Malam itu, langit desa tampak suram, seolah-olah mencerminkan kekacauan yang berkecamuk dalam hati Rita. Di tengah langkahnya yang cepat, tangisnya yang terisak-isak diiringi oleh angin malam yang dingin.

Namun, di saat itulah sesuatu yang aneh terjadi. Di ujung jalan desa yang gelap, Rita melihatnya---sebuah sosok aneh yang tidak pernah ia bayangkan akan ia temui dalam kehidupan nyata. Di bawah sinar bulan yang pucat, ia melihat kuyang, makhluk mengerikan yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita rakyat. Tubuhnya tampak seperti kepala yang melayang dengan organ-organ yang menjuntai, terlihat jelas di balik rambut hitam kemerahannya yang panjang dan berkibar menabrak angin.

Jantung Rita berdegup kencang. Adrenalin mengalir deras di nadinya, memberikan kekuatan pada kakinya yang seakan-akan membeku. Tanpa berpikir panjang, ia berusaha mengikuti makhluk itu, berharap bahwa ini adalah jalan menuju kebenaran yang selama ini ia cari. Namun, langkah Rita terhenti ketika suara tangis yang sangat memilukan terdengar dari sebuah rumah di dekatnya. Tangis itu begitu menyayat hati, seakan-akan berasal dari jiwa yang terpecah.

Rita merasa terpecah antara mengikuti kuyang itu atau menghampiri sumber tangis tersebut. Tapi pada akhirnya, naluri empatinya menang. Ia berbelok menuju rumah tersebut, meninggalkan jejak kuyang yang semakin menjauh dalam kegelapan. Saat Rita tiba di rumah itu, ia menemukan seorang ibu yang terbaring di lantai, tubuhnya penuh dengan darah segar. Tampaknya ibu itu baru saja mengalami keguguran, dan suasana di rumah tersebut begitu memilukan. Rita terduduk lemas memandangi ibu muda itu.

Kabar tentang kuyang kembali menjadi perbincangan hangat di desa. Desas-desus tentang makhluk gaib yang berkeliaran di malam hari, mencari mangsa, sekali lagi menyebar di antara warga. Ketakutan kembali merasuki hati penduduk desa, mengingatkan mereka pada kejadian tragis yang menimpa keluarga Rita dua tahun lalu. Bagi Rita, ini adalah pertanda bahwa pencariannya belum berakhir. Di balik ketakutannya, ia kini memiliki alasan baru untuk melanjutkan apa yang telah ia mulai---kebenaran tentang kematian adiknya semakin dekat, dan ia tidak akan berhenti sampai ia menemukannya.

Rita datang lagi ke kantor desa untuk menemui Pak Kadir, kepala desa yang sudah berkali-kali menolak permintaan Rita untuk membicarakan tentang kuyang. Rita sadar ia tidak bisa mencari kuyang itu sendirian dan harus meminta bantuan otoritas paling tinggi di desa ini, Pak Kadir lah orangnya. Melihat Rita yang mendekat, Pak Kadir sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan. Apalagi dengan kejadian beberapa hari terakhir, dia sudah menduga Rita akan menemuinya. Pak Kadir sendiri sudah merasa lelah dengan topik yang sama berulang kali.

"Kamu lagi," katanya dengan nada datar. "Saya ga mau lagi bicara soal kuyang. Kuyang itu ga ada!"

Rita tidak menyerah. "Kuyang itu ada! Buktinya, si ibu yang keguguran itu, dan tepat pada malam itu, saya lihat sendiri, Pak Kadir!"

Pak Kadir menghela napas panjang, lalu menatap Rita dengan ekspresi yang cenderung sabar namun jenuh. "Saat malam itu, kamu juga sedang bertengkar dengan bapakmu, kan? Bisa saja kamu berhalusinasi. Sudahlah, Rita, tidak ada kuyang di desa ini. Mereka kan di Kalimantan, ngapain kuyang ke sini?" Rita berdecak bibir, jelas Kuyang bisa ke mana saja, sebab kuyang sendiri adalah jelmaan orang yang memiliki ilmu hitam.

Rita kembali berdecak kesal, yakin bahwa ayahnya pasti telah memberi tahu kepala desa tentang pertengkaran mereka. Kedekatan antara ayahnya dan Pak Kadir memang bukan rahasia. Sebelum pindah ke desa ini, mereka sudah berteman lama, karena memang ayahnya Rita pernah tinggal di desa ini jauh sebelum ayahnya menikah dengan ibunya.

"Lalu bagaimana dengan nasib adik saya? Nasib ibu saya yang jadi sakit-sakitan dan akhirnya meninggal!? Bagaimana dengan nasib ibu itu? Apa saya harus diam dan menganggap itu ga pernah terjadi?" Suara Rita semakin meninggi, rasa frustrasi dan amarahnya semakin memuncak. Namun, Pak Kadir hanya bisa menatapnya dengan pandangan yang lembut, bukan marah, melainkan penuh keprihatinan.

"Bapak bisa cek leher orang-orang di desa ini Pak! Kalau ada orang yang sering menyembunyikan lehernya, berarti dialah kuyangnya Pak! Karena orang yang bisa berubah menjadi kuyang, selalu ada guratan merah di lehernya!" Pak Kadir hampir tertawa mendengar pernyataan Rita. "Saya ga bercanda, Pak!" Rita menatap sebal.

"Ya ampun Rita, di desa ini ada banyak orang yang menyembunyikan lehernya. Ada Pak Kosim yang panuan dan selalu pake baju kerah tinggi, ada Bu Santi yang punya tanda lahir hitam besar dan selalu pake syal, ada Bu Ningrum yang punya penyakit gondok, ada Pak Ahmad yang baru operasi, kemana-mana pakai perban kamu mau periksa satu-satu dan membongkar hal yang membuat mereka malu? Astaga Rita, kamu mau jadi tukang bully?" Pak Kadir hanya menggeleng pelan. Rasanya Rita ingin menarik kumis tebal Pak Kadir saking kesalnya. Harus berapa kali sih Rita memohon bantuan Pak Kadir ini?

Rita menyerah dan hendak keluar dari kantor desa, namun langkahnya terhenti. Pandangannya terpaku pada sebuah foto yang tergantung di dinding ruang kantor Pak Kadir. Rita baru menyadari keberadaan foto itu di ruang tersebut. Foto itu menampilkan seorang wanita cantik, berkulit bening, dengan rambut panjang sedikit bergelombang yang tergerai indah. Foto itu hitam putih, sedikit buram namun kecantikan wanita itu tidak bisa dibatasi kualitas foto yang minim. Mungkin foto jadul. Ada sesuatu tentang wanita itu yang menarik perhatian Rita, membuatnya bertanya-tanya.

"Ada apa, Rita?" Pak Kadir bertanya ketika melihat gadis itu terhenti dan memandang foto tersebut dengan begitu intens.

"Itu siapa, Pak?" tanya Rita dengan nada penasaran yang menggantikan amarahnya.

Pak Kadir mengikuti pandangan Rita ke arah foto tersebut, kemudian menjawab dengan santai, "Itu kepala desa di tahun tujuh puluhan."

Rita menatap foto itu lebih lama, wajahnya berubah heran sekaligus curiga. "Kok mirip sama Bu Santi?" tanyanya, dengan perasaan aneh yang mulai merambat di pikirannya.

Pak Kadir tersenyum kecil, tampak sedikit bingung dengan arah pembicaraan. "Kamu sadar ya? Iya, mereka memang mirip sekali. Banyak yang bilang begitu. Soalnya itu neneknya Bu Santi."

Rita menggeleng pelan, menolak dengan halus penjelasan kepala desa. Baginya, kemiripan ini bukanlah sesuatu yang wajar. Wajah yang begitu bening dan sempurna di masa lalu, baginya, pasti ada sesuatu di baliknya. Entah itu susuk, pelet, atau bahkan perawatan khusus yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya di zaman itu. Apapun itu, dia merasa ada yang tidak beres.

Dalam catatan yang pernah Rita baca. Tujuan kuyang memakan bayi dan janin adalah untuk mendapatkan kemampuan awet muda, hidup abadi, dan kecantikan yang diidam-idamkan oleh setiap wanita.

Dengan pikiran yang semakin berputar-putar, Rita tiba-tiba berbalik dan pergi tanpa pamit. Dia keluar dari kantor kepala desa dengan langkah cepat, seolah-olah sedang mengejar sesuatu yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Ada benda di kamarnya yang bisa mengusir kuyang, ia harus mencobanya pada Bu Santi. Namun, lebih dulu ia akan menyelidiki Bu Santi lebih dalam. Ia harus segera ke kamarnya dan memulai rencana penyelidikan.

"Rita! Mau ke mana?!" teriak Pak Kadir yang semakin kebingungan dengan sikap Rita, namun ia hanya bisa melihat Rita yang pergi dengan tergesa-gesa. Namun, Rita mengabaikan kebingungan Pak Kadir dan terus melangkah dengan cepat. Ia terus berjalan, meninggalkan kantor kepala desa dengan pikiran yang berkecamuk.

Pak Kadir hanya bisa menghela napas panjang, matanya mengikuti punggung Rita yang semakin menjauh. Ada rasa sedih dan keprihatinan yang mendalam dalam tatapannya. Pak Kadir tahu bahwa apa yang Rita alami bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan mudah, dan dia hanya berharap bahwa gadis itu tidak terjerumus lebih jauh dalam rasa sakit dan dendam yang terus membayangi hidupnya. Pak Kadir menyimpan cerita yang tidak bisa ia ceritakan pada Rita saat ini. Saat melihat Rita, hanya tatapan mengasihani yang Pak Kadir tunjukkan. Pak Kadir hanya bisa berdoa jika Rita sudah mengetahuinya, semoga Rita bisa ditabahkan hatinya.

Saat Rita pulang ke rumah dengan hati yang masih dipenuhi rasa penasaran dan kemarahan, pandangannya langsung tertuju pada pemandangan yang mengejutkan di ruang tamu. Ayahnya dan Bu Santi, guru SMA-nya yang kini menjadi calon istri ayahnya, terlihat berciuman mesra di tengah ruangan dengan suara-suara dan dialog yang bagi Rita terdengar menjijikkan. Adegan itu memicu ledakan emosi dalam diri Rita, tanpa berpikir panjang, dia langsung menyeret Bu Santi dengan kasar dan langsung menamparnya, Bu Santi hampir terhuyung jatuh.

Ayahnya terkejut, berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan Bu Santi dari amukan Rita yang seakan siap menerkam. "Minggir Pak! Dia---dia itu pembunuh Rudi! Dia yang makan Rudi, Pak! Dia kuyangnya Pak!" Teriakan histeris Rita memenuhi ruangan.

Ayahnya, yang selama ini mencoba bersikap sabar, tak lagi bisa menahan amarahnya. "Ngomong apa kamu, Rita!? Kalau kamu tidak suka Bu Santi, kalau kamu tidak mau melihat bapak kembali bahagia, BAIK! Bapak akan tinggalkan Bu Santi, biar kamu puas lihat Bapak sendirian!" Suaranya bergetar, bukan hanya karena amarah, tetapi juga karena keputusasaan. Ia tahu betapa dalam luka di hati anaknya, tetapi tuduhan Rita kali ini terasa terlalu jauh dan kelewatan.

Rita masih terus berusaha mendekat ke arah Bu Santi, matanya menyala dengan kebencian yang mendalam. "Bapak jangan terpengaruh dengan peletnya, Pak! Dia itu kuyang! Dia makan bayi dan janin demi bisa awet muda dan cantik! Dasar wanita busuk! Kau bunuh istri dan anaknya, kau rebut suaminya! Wanita pelacur!"

Ayahnya mengguncang tubuh Rita dengan keras, mencoba menenangkannya. "Rita! Rita! Hentikan!" katanya dengan suara yang mulai terdengar lelah. "Dengerin Bapak ngomong dulu, Rita!"

Guncangan itu berhasil sedikit meredakan amukan Rita, meski pandangan matanya masih penuh kebingungan dan kecurigaan.

Bu Santi yang sejak tadi ketakutan, kini perlahan mendekati mereka. "Mas," katanya lembut, sambil mengelus punggung ayah Rita, "sepertinya kamu harus ceritakan semuanya pada Rita. Rita kan sudah besar, dia pasti paham kalau kamu jelasin pelan-pelan. Biar dia paham, Mas. Aku dengar cerita dari Mas Kadir tentang Rita, dan aku juga sedih, kasihan Rita. Aku yakin Rita sudah siap, Mas. Biar Rita lebih tenang," suara Bu Santi terdengar parau.

Ayah Rita menghela napas panjang, ketenangan yang perlahan kembali di dirinya mulai menular ke Rita yang kini hanya berdiri terpaku, merasa bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan lembut, Bu Santi mengarahkan mereka untuk duduk. "Aku juga mau menceritakannya. Mari duduk, Rita." Suara ayahnya terdengar seperti seseorang yang menahan sesuatu di hatinya selama berpuluh tahun.

Rita menuruti, meski masih ada kebingungan yang memenuhi pikirannya. Matanya menerka-nerka apa yang akan dikatakan ayahnya dan Bu Santi.

Bu Santi menatap Rita dengan penuh empati, "Sebelumnya, maaf jika saya ikut campur, Rita. Tapi ingat, apa yang akan disampaikan bapakmu ini adalah sebuah kebenaran. Kamu bisa buktikan sendiri dengan keanehan yang selama ini kamu alami, dengan cerita yang akan Bapak kamu sampaikan."

Rita menatap ayahnya, perasaannya semakin tidak menentu. "Cerita apa?" tanya Rita dengan suara yang hampir berbisik. Wajahnya menggambarkan kebingungan, seperti seorang yang tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan yang tak pernah diduganya.

Ayahnya menarik napas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Rita, apa yang kamu lihat, apa yang kamu pikirkan selama ini, tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Kamu hanya ingin mencari kebenaran, Bapak mengerti. Tapi, sudah waktunya kebenaran yang sebenar-benarnya harus kamu tahu. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui, sesuatu yang selama ini Bapak sembunyikan demi kebaikanmu dan demi menjaga ketenangan jiwa ibumu dulu. Tapi sepertinya sekarang sudah waktunya kamu tahu."

Rita terdiam, jantungnya berdebar semakin kencang. Rasa penasaran yang bercampur dengan ketakutan mulai menyelimuti dirinya. Ia menunggu dengan cemas, sementara ayahnya tampak bersiap untuk mengungkapkan sesuatu yang tampaknya telah lama terpendam.

"Rita, pertama-tama Bapak ingin kamu tahu bahwa Bapak sangat mencintai Ibu kamu." Suara ayahnya terdengar pelan namun penuh dengan beban emosi yang berat. Ia menunduk sejenak, seolah sedang mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan. Di sebelahnya, Bu Santi menggenggam tangan ayah Rita dengan erat, memberikan dukungan yang dibutuhkan untuk melanjutkan cerita yang sangat menyakitkan.

Rita memperhatikan dengan seksama, matanya melekat pada ayahnya yang tampak lebih tua dan lelah daripada biasanya. Wajah ayahnya, yang biasanya penuh dengan ketegasan, kini dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Ada bayang-bayang kesakitan di matanya, sesuatu yang selama ini ia sembunyikan di balik sikap tegar dan tenangnya.

"Ketika kamu lahir, Ibu kamu mengalami masa yang sangat sulit. Depresi pasca-melahirkan atau baby blues yang dia alami sangat parah, Rita. Ini lebih dari sekadar kesedihan atau perubahan suasana hati. Ibu kamu jatuh ke dalam jurang gelap yang sangat dalam, tempat di mana dia tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi." Ayah Rita menarik napas dalam-dalam, suaranya bergetar dengan emosi yang mencoba ia kendalikan.

Rita mulai merasakan ketegangan yang merayap di tubuhnya. Ia tahu ada sesuatu yang sangat serius dan mengerikan yang akan diungkapkan oleh ayahnya. Namun, ia belum siap untuk mendengarnya, belum siap untuk menghadapi kenyataan yang tersembunyi di balik kata-kata ayahnya yang penuh kasih sayang.

"Saat itu, Bapak sedang sibuk merintis kembali bisnis Bapak yang hampir bangkrut. Bapak jarang di rumah, terlalu fokus pada pekerjaan dan membangun kembali kehidupan kita yang sempat hancur. Bapak pikir Ibu akan baik-baik saja, bahwa dia akan bisa mengatasi semuanya. Tapi Bapak salah, Rita. Sangat salah." Ayah Rita menundukkan kepala, merasa bersalah atas apa yang telah terjadi.

"Ibu kamu, dalam kondisinya yang paling buruk, mencoba melakukan sesuatu yang tidak bisa Bapak bayangkan. Sesuatu yang tidak seharusnya terjadi pada seorang ibu kepada anaknya sendiri." Ayahnya berhenti sejenak, suara tertahannya menambah ketegangan di ruangan itu. Rita bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat, sementara pikirannya berputar, mencoba menebak apa yang akan dikatakan selanjutnya.

"Rita, dia... ibumu itu... mencoba memakan kamu." Kalimat itu keluar perlahan, seperti beban berat yang akhirnya dilepaskan setelah bertahun-tahun disimpan dalam hati. Rita tersentak, tubuhnya membeku seketika, seolah-olah semua darah di tubuhnya berhenti mengalir. Matanya melebar, berusaha memahami kata-kata yang baru saja diucapkan oleh ayahnya.

"Jari kelingking kamu dipotong." Ayahnya melanjutkan dengan suara yang hampir berbisik, namun setiap kata terasa seperti pukulan keras bagi Rita. "Dia memotong jari kamu, lalu memakannya. Kamu hanya dibiarkan menangis, dengan darah yang mengalir deras dari luka itu. Jika Bapak tidak pulang lebih cepat dari biasanya hari itu... jika Bapak tidak segera membawa kamu ke rumah sakit..."

Ayah Rita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Ia menutup mata, menahan air mata yang sudah menggenang, sementara Bu Santi mengelus punggung ayahnya dengan lembut, memberikan dukungan dalam keheningan yang penuh makna.

Rita, yang selama ini tidak pernah memikirkan tentang jari kelingkingnya yang hilang sebagian, secara refleks, ia mengelus kelingkingnya yang tinggal separuh, merasakan permukaan kulit yang kasar dan tidak rata.

"Nenek yang mengurus kamu setelah kejadian itu," lanjut ayahnya dengan suara serak. "Kami tidak bisa membiarkan kamu tinggal bersama Ibu, tidak dalam kondisinya yang seperti itu. Nenek merawat kamu dengan penuh kasih sayang, berusaha memberikan kehidupan yang normal dan stabil, sementara Ibu kamu berjuang melawan penyakitnya di rumah sakit."

Ayah Rita berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Ibu kamu tidak pernah berhenti meminta maaf, tidak pernah berhenti merindukan kamu. Setiap hari selama lima tahun, dia memohon agar kamu kembali tinggal bersamanya, tapi kami tahu itu tidak mungkin. Dia terlalu berbahaya untuk dirimu, dan kami harus membuat keputusan yang sangat sulit untuk kebaikanmu." Rita mulai merasakan trauma yang diderita ayahnya. Bisa dibayangkan jika anakmu sendiri sedang dijamu oleh orang yang paling kamu cintai. 

Rita terdiam, tubuhnya terasa berat dan sulit untuk digerakkan. Semua cerita yang selama ini ia dengar dari neneknya, tentang ibunya yang bekerja di luar negeri, tentang alasan-alasan mengapa ia tidak tinggal bersama orang tuanya, semuanya kini terasa seperti kebohongan besar yang disusun untuk melindungi dirinya dari kebenaran yang mengerikan.

Ingatan tentang pertemuan pertamanya dengan ibunya setelah lima tahun berpisah kembali muncul di benaknya. Ia ingat bagaimana ibunya menangis dan memeluknya erat, seperti seseorang yang menemukan kembali harta yang hilang. Ia ingat betapa aneh dan canggung perasaan itu, bertemu dengan seseorang yang seharusnya menjadi bagian dari hidupnya, namun terasa seperti orang asing.

"Rita," suara ayahnya memanggil kembali perhatian Rita dari ingatannya. "Bapak tahu ini sangat sulit untuk diterima. Bapak tahu ini adalah kenyataan yang sangat pahit. Tapi Bapak ingin kamu tahu, bahwa Ibu kamu tidak melakukan itu karena dia ingin menyakiti kamu. Dia sangat mencintaimu, dan dia sangat menyesal atas apa yang terjadi. Ibu kamu sakit, Rita, dan itu bukan salahnya."

Rita tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu, pikirannya kacau, hatinya penuh dengan berbagai perasaan yang saling bertentangan. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin menolak semuanya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa apa yang ayahnya katakan sangat sulit untuk ia bantah.

Malam itu, di ruang tamu yang kini terasa begitu asing, Rita merasakan beban masa lalu yang menghantam dirinya dengan keras. Masa lalu yang penuh dengan kebohongan dan kenangan yang terlupakan, namun kini kembali menghantui dengan kenyataan yang menyakitkan.

selengkapnya di wattpad: https://www.wattpad.com/1471120277-catatan-para-setan-antara-kelinci-dan-kuyang-part 

https://www.wattpad.com/1471120277-catatan-para-setan-antara-kelinci-dan-kuyang-partInput sumber gambar
https://www.wattpad.com/1471120277-catatan-para-setan-antara-kelinci-dan-kuyang-partInput sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun