"Rita, dia... ibumu itu... mencoba memakan kamu." Kalimat itu keluar perlahan, seperti beban berat yang akhirnya dilepaskan setelah bertahun-tahun disimpan dalam hati. Rita tersentak, tubuhnya membeku seketika, seolah-olah semua darah di tubuhnya berhenti mengalir. Matanya melebar, berusaha memahami kata-kata yang baru saja diucapkan oleh ayahnya.
"Jari kelingking kamu dipotong." Ayahnya melanjutkan dengan suara yang hampir berbisik, namun setiap kata terasa seperti pukulan keras bagi Rita. "Dia memotong jari kamu, lalu memakannya. Kamu hanya dibiarkan menangis, dengan darah yang mengalir deras dari luka itu. Jika Bapak tidak pulang lebih cepat dari biasanya hari itu... jika Bapak tidak segera membawa kamu ke rumah sakit..."
Ayah Rita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Ia menutup mata, menahan air mata yang sudah menggenang, sementara Bu Santi mengelus punggung ayahnya dengan lembut, memberikan dukungan dalam keheningan yang penuh makna.
Rita, yang selama ini tidak pernah memikirkan tentang jari kelingkingnya yang hilang sebagian, secara refleks, ia mengelus kelingkingnya yang tinggal separuh, merasakan permukaan kulit yang kasar dan tidak rata.
"Nenek yang mengurus kamu setelah kejadian itu," lanjut ayahnya dengan suara serak. "Kami tidak bisa membiarkan kamu tinggal bersama Ibu, tidak dalam kondisinya yang seperti itu. Nenek merawat kamu dengan penuh kasih sayang, berusaha memberikan kehidupan yang normal dan stabil, sementara Ibu kamu berjuang melawan penyakitnya di rumah sakit."
Ayah Rita berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Ibu kamu tidak pernah berhenti meminta maaf, tidak pernah berhenti merindukan kamu. Setiap hari selama lima tahun, dia memohon agar kamu kembali tinggal bersamanya, tapi kami tahu itu tidak mungkin. Dia terlalu berbahaya untuk dirimu, dan kami harus membuat keputusan yang sangat sulit untuk kebaikanmu." Rita mulai merasakan trauma yang diderita ayahnya. Bisa dibayangkan jika anakmu sendiri sedang dijamu oleh orang yang paling kamu cintai.Â
Rita terdiam, tubuhnya terasa berat dan sulit untuk digerakkan. Semua cerita yang selama ini ia dengar dari neneknya, tentang ibunya yang bekerja di luar negeri, tentang alasan-alasan mengapa ia tidak tinggal bersama orang tuanya, semuanya kini terasa seperti kebohongan besar yang disusun untuk melindungi dirinya dari kebenaran yang mengerikan.
Ingatan tentang pertemuan pertamanya dengan ibunya setelah lima tahun berpisah kembali muncul di benaknya. Ia ingat bagaimana ibunya menangis dan memeluknya erat, seperti seseorang yang menemukan kembali harta yang hilang. Ia ingat betapa aneh dan canggung perasaan itu, bertemu dengan seseorang yang seharusnya menjadi bagian dari hidupnya, namun terasa seperti orang asing.
"Rita," suara ayahnya memanggil kembali perhatian Rita dari ingatannya. "Bapak tahu ini sangat sulit untuk diterima. Bapak tahu ini adalah kenyataan yang sangat pahit. Tapi Bapak ingin kamu tahu, bahwa Ibu kamu tidak melakukan itu karena dia ingin menyakiti kamu. Dia sangat mencintaimu, dan dia sangat menyesal atas apa yang terjadi. Ibu kamu sakit, Rita, dan itu bukan salahnya."
Rita tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu, pikirannya kacau, hatinya penuh dengan berbagai perasaan yang saling bertentangan. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin menolak semuanya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa apa yang ayahnya katakan sangat sulit untuk ia bantah.
Malam itu, di ruang tamu yang kini terasa begitu asing, Rita merasakan beban masa lalu yang menghantam dirinya dengan keras. Masa lalu yang penuh dengan kebohongan dan kenangan yang terlupakan, namun kini kembali menghantui dengan kenyataan yang menyakitkan.