Dengan pikiran yang semakin berputar-putar, Rita tiba-tiba berbalik dan pergi tanpa pamit. Dia keluar dari kantor kepala desa dengan langkah cepat, seolah-olah sedang mengejar sesuatu yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Ada benda di kamarnya yang bisa mengusir kuyang, ia harus mencobanya pada Bu Santi. Namun, lebih dulu ia akan menyelidiki Bu Santi lebih dalam. Ia harus segera ke kamarnya dan memulai rencana penyelidikan.
"Rita! Mau ke mana?!" teriak Pak Kadir yang semakin kebingungan dengan sikap Rita, namun ia hanya bisa melihat Rita yang pergi dengan tergesa-gesa. Namun, Rita mengabaikan kebingungan Pak Kadir dan terus melangkah dengan cepat. Ia terus berjalan, meninggalkan kantor kepala desa dengan pikiran yang berkecamuk.
Pak Kadir hanya bisa menghela napas panjang, matanya mengikuti punggung Rita yang semakin menjauh. Ada rasa sedih dan keprihatinan yang mendalam dalam tatapannya. Pak Kadir tahu bahwa apa yang Rita alami bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan mudah, dan dia hanya berharap bahwa gadis itu tidak terjerumus lebih jauh dalam rasa sakit dan dendam yang terus membayangi hidupnya. Pak Kadir menyimpan cerita yang tidak bisa ia ceritakan pada Rita saat ini. Saat melihat Rita, hanya tatapan mengasihani yang Pak Kadir tunjukkan. Pak Kadir hanya bisa berdoa jika Rita sudah mengetahuinya, semoga Rita bisa ditabahkan hatinya.
Saat Rita pulang ke rumah dengan hati yang masih dipenuhi rasa penasaran dan kemarahan, pandangannya langsung tertuju pada pemandangan yang mengejutkan di ruang tamu. Ayahnya dan Bu Santi, guru SMA-nya yang kini menjadi calon istri ayahnya, terlihat berciuman mesra di tengah ruangan dengan suara-suara dan dialog yang bagi Rita terdengar menjijikkan. Adegan itu memicu ledakan emosi dalam diri Rita, tanpa berpikir panjang, dia langsung menyeret Bu Santi dengan kasar dan langsung menamparnya, Bu Santi hampir terhuyung jatuh.
Ayahnya terkejut, berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan Bu Santi dari amukan Rita yang seakan siap menerkam. "Minggir Pak! Dia---dia itu pembunuh Rudi! Dia yang makan Rudi, Pak! Dia kuyangnya Pak!" Teriakan histeris Rita memenuhi ruangan.
Ayahnya, yang selama ini mencoba bersikap sabar, tak lagi bisa menahan amarahnya. "Ngomong apa kamu, Rita!? Kalau kamu tidak suka Bu Santi, kalau kamu tidak mau melihat bapak kembali bahagia, BAIK! Bapak akan tinggalkan Bu Santi, biar kamu puas lihat Bapak sendirian!" Suaranya bergetar, bukan hanya karena amarah, tetapi juga karena keputusasaan. Ia tahu betapa dalam luka di hati anaknya, tetapi tuduhan Rita kali ini terasa terlalu jauh dan kelewatan.
Rita masih terus berusaha mendekat ke arah Bu Santi, matanya menyala dengan kebencian yang mendalam. "Bapak jangan terpengaruh dengan peletnya, Pak! Dia itu kuyang! Dia makan bayi dan janin demi bisa awet muda dan cantik! Dasar wanita busuk! Kau bunuh istri dan anaknya, kau rebut suaminya! Wanita pelacur!"
Ayahnya mengguncang tubuh Rita dengan keras, mencoba menenangkannya. "Rita! Rita! Hentikan!" katanya dengan suara yang mulai terdengar lelah. "Dengerin Bapak ngomong dulu, Rita!"
Guncangan itu berhasil sedikit meredakan amukan Rita, meski pandangan matanya masih penuh kebingungan dan kecurigaan.
Bu Santi yang sejak tadi ketakutan, kini perlahan mendekati mereka. "Mas," katanya lembut, sambil mengelus punggung ayah Rita, "sepertinya kamu harus ceritakan semuanya pada Rita. Rita kan sudah besar, dia pasti paham kalau kamu jelasin pelan-pelan. Biar dia paham, Mas. Aku dengar cerita dari Mas Kadir tentang Rita, dan aku juga sedih, kasihan Rita. Aku yakin Rita sudah siap, Mas. Biar Rita lebih tenang," suara Bu Santi terdengar parau.
Ayah Rita menghela napas panjang, ketenangan yang perlahan kembali di dirinya mulai menular ke Rita yang kini hanya berdiri terpaku, merasa bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan lembut, Bu Santi mengarahkan mereka untuk duduk. "Aku juga mau menceritakannya. Mari duduk, Rita." Suara ayahnya terdengar seperti seseorang yang menahan sesuatu di hatinya selama berpuluh tahun.