Rita sering kali merasa putus asa dan tak berdaya. Tangis ibunya yang terus menerus itu menjadi mimpi buruk yang selalu menghantuinya. Setiap malam, Rita akan menangis di pelukan ayahnya, merasakan kesedihan yang mendalam namun tak mampu melakukan apa pun untuk mengubah keadaan. Setiap hari berlalu dengan rasa putus asa yang semakin menumpuk, hingga akhirnya, setelah empat bulan yang penuh penderitaan, ibunya meninggal dunia. Tubuhnya yang lemah tak lagi sanggup menahan rasa sakit dan kesedihan yang telah merusaknya secara perlahan.
Kematian ibunya menjadi pukulan terakhir bagi Rita. Malam setelah ibunya dikuburkan, Rita mengalami mimpi yang sangat nyata, seolah-olah ia kembali ke masa-masa ketika ibunya masih hidup dan menunggu ajal di dalam kamarnya. Dalam mimpinya itu, Rita melihat sosok ibunya yang pucat, dengan mata yang kosong namun penuh dendam. Tubuh ibunya yang kurus kering mendekatinya, dan sebelum Rita bisa menghindar, tangan ibunya mencengkeram kuat tangannya. Cengkraman itu terasa begitu nyata, seakan-akan mimpinya bukanlah sekadar mimpi. Dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, ibunya berbisik, namun nadanya penuh tekanan, "Temukan pembunuh adikmu! Jangan tidur dengan nyenyak, jangan makan dengan kenyang, jangan memotong rambut, sampai kamu menyeret pembunuh adikmu dan membuatnya sujud ke makam ibu!"
Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di benak Rita, bahkan setelah ia terbangun dari mimpi buruk tersebut. Setiap kali ia menutup mata, ia bisa merasakan cengkraman dingin ibunya, mengingatkan kembali akan janji yang harus ia tepati. Kini, Rita merasa seolah-olah ia terikat pada sumpah yang diberikan oleh ibunya dalam mimpi itu. Perasaan bersalah dan tanggung jawab yang besar mulai merayap ke dalam jiwanya, membuatnya sadar bahwa hidupnya tidak akan pernah kembali normal sampai ia berhasil menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian adiknya.
Sejak saat itu, hidup Rita berubah sepenuhnya. Rasa takut, kesedihan, dan dendam mulai menguasai pikirannya. Ia tahu bahwa ia harus mencari kebenaran, meskipun itu berarti harus menggali lebih dalam ke dalam dunia gelap yang selama ini berusaha ia hindari. Rita tidak tahu apa yang akan ia temukan, tetapi satu hal yang pasti: ia tidak akan berhenti sampai ia menemukan jawaban dan memberikan keadilan untuk keluarganya, terutama untuk ibunya yang kini sudah tenang di alam baka, menunggu janji yang diucapkan anaknya dalam mimpi.
Dua tahun telah berlalu sejak tragedi yang mengguncang hidup Rita. Kini, ia tengah menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi, mencoba melanjutkan hidupnya di tengah bayang-bayang masa lalu yang masih menghantui. Namun, di balik rutinitas kuliah dan pertemanan yang baru, Rita tidak bisa sepenuhnya melupakan apa yang telah terjadi. Kesedihan yang dulu menekan jiwanya kini berubah menjadi dendam yang membara. Setiap langkahnya dipenuhi dengan tekad untuk menemukan kebenaran tentang kematian adiknya, Rudi.
Rita tidak tinggal diam. Ia telah melakukan berbagai penyelidikan, bertanya kepada sesepuh desa yang dianggap mengetahui banyak hal tentang dunia gaib. Ia juga mendatangi orang-orang pintar yang terkenal mampu berkomunikasi dengan makhluk halus. Tapi setiap kali ia berharap menemukan petunjuk, yang ia terima hanya kebingungan dan penolakan. Semua orang yang ia temui seakan tidak tahu atau mungkin tidak mau berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi pada adiknya. Semakin banyak jawaban yang tidak memuaskan, semakin besar rasa putus asa yang ia rasakan.
Usahanya yang tanpa henti untuk menemukan jawaban membawa Rita ke titik terendah dalam hidupnya. Ia merasa seolah-olah semua usahanya sia-sia, tidak ada jalan keluar, dan kebenaran yang ia cari seolah semakin jauh dari jangkauannya. Dalam keputusasaan itu, ia mulai merasa bahwa ia mungkin tidak akan pernah tahu siapa atau apa yang bertanggung jawab atas kematian Rudi. Pada saat-saat seperti itu, ketika beban mental dan emosionalnya mencapai puncaknya, ayahnya, satu-satunya orang yang ia rasa masih bisa ia andalkan, datang membawa kabar yang tak terduga.
"Rita," suara ayahnya terdengar tenang, namun di dalamnya ada nada yang berat, seolah-olah apa yang akan ia katakan juga membebani pikirannya, "Bapak berencana menikah lagi."
Kata-kata itu menghantam Rita seperti pukulan yang tak terduga. Sebelum ia sempat memproses sepenuhnya apa yang telah dikatakan ayahnya, ia mendengar siapa calon istri baru ayahnya: guru SMA-nya dulu, seorang perempuan aneh yang selalu mengenakan syal ke mana pun ia pergi, atau setidaknya mengenakan baju turtle neck yang menutupi hampir seluruh lehernya. Perempuan itu, Rita tak kenal betul. Katanya orang yang dicintai para murid, tapi Rita tidak kenal dekat dengannya sewaktu SMA. Rita kepalang benci padanya karena banyak warga yang berbisik-bisik di belakangnya jika perempuan yang dipanggil Bu Santi itu sempat hamil di luar nikah karena ayahnya, sewaktu ayahnya masih tinggal di desa ini. Rita tentu tidak percaya, ayahnya bukan orang yang seperti itu.
"Bapak tuh emang ga pernah peduli sama Ibu ya?! Ga pernah peduli sama nasib Rudi!" Rita meledak, kemarahannya yang telah lama terpendam kini meluap tanpa terkendali. "Sampai sekarang pun kita ga tahu siapa yang makan Rudi, Pak! Bapak pernah mikir ga si, sekali aja, buat nyari siapa pembunuh Rudi, Pak? Emang dasar lelaki gatal!"
Sebuah tamparan mendarat di pipi Rita, keras dan mengejutkan, memutus aliran kata-kata kasar yang hampir tak bisa ia kendalikan. Untuk sesaat, ada keheningan yang sangat mencekam di antara mereka. Rita merasakan pipinya yang panas dan berdenyut, sementara air mata mulai menggenangi matanya. Ia menatap ayahnya dengan perasaan tidak percaya, tidak percaya bahwa orang yang selama ini ia pandang sebagai satu-satunya penopang kini tampak seperti orang asing.