"Lalu bagaimana dengan nasib adik saya? Nasib ibu saya yang jadi sakit-sakitan dan akhirnya meninggal!? Bagaimana dengan nasib ibu itu? Apa saya harus diam dan menganggap itu ga pernah terjadi?" Suara Rita semakin meninggi, rasa frustrasi dan amarahnya semakin memuncak. Namun, Pak Kadir hanya bisa menatapnya dengan pandangan yang lembut, bukan marah, melainkan penuh keprihatinan.
"Bapak bisa cek leher orang-orang di desa ini Pak! Kalau ada orang yang sering menyembunyikan lehernya, berarti dialah kuyangnya Pak! Karena orang yang bisa berubah menjadi kuyang, selalu ada guratan merah di lehernya!" Pak Kadir hampir tertawa mendengar pernyataan Rita. "Saya ga bercanda, Pak!" Rita menatap sebal.
"Ya ampun Rita, di desa ini ada banyak orang yang menyembunyikan lehernya. Ada Pak Kosim yang panuan dan selalu pake baju kerah tinggi, ada Bu Santi yang punya tanda lahir hitam besar dan selalu pake syal, ada Bu Ningrum yang punya penyakit gondok, ada Pak Ahmad yang baru operasi, kemana-mana pakai perban kamu mau periksa satu-satu dan membongkar hal yang membuat mereka malu? Astaga Rita, kamu mau jadi tukang bully?" Pak Kadir hanya menggeleng pelan. Rasanya Rita ingin menarik kumis tebal Pak Kadir saking kesalnya. Harus berapa kali sih Rita memohon bantuan Pak Kadir ini?
Rita menyerah dan hendak keluar dari kantor desa, namun langkahnya terhenti. Pandangannya terpaku pada sebuah foto yang tergantung di dinding ruang kantor Pak Kadir. Rita baru menyadari keberadaan foto itu di ruang tersebut. Foto itu menampilkan seorang wanita cantik, berkulit bening, dengan rambut panjang sedikit bergelombang yang tergerai indah. Foto itu hitam putih, sedikit buram namun kecantikan wanita itu tidak bisa dibatasi kualitas foto yang minim. Mungkin foto jadul. Ada sesuatu tentang wanita itu yang menarik perhatian Rita, membuatnya bertanya-tanya.
"Ada apa, Rita?" Pak Kadir bertanya ketika melihat gadis itu terhenti dan memandang foto tersebut dengan begitu intens.
"Itu siapa, Pak?" tanya Rita dengan nada penasaran yang menggantikan amarahnya.
Pak Kadir mengikuti pandangan Rita ke arah foto tersebut, kemudian menjawab dengan santai, "Itu kepala desa di tahun tujuh puluhan."
Rita menatap foto itu lebih lama, wajahnya berubah heran sekaligus curiga. "Kok mirip sama Bu Santi?" tanyanya, dengan perasaan aneh yang mulai merambat di pikirannya.
Pak Kadir tersenyum kecil, tampak sedikit bingung dengan arah pembicaraan. "Kamu sadar ya? Iya, mereka memang mirip sekali. Banyak yang bilang begitu. Soalnya itu neneknya Bu Santi."
Rita menggeleng pelan, menolak dengan halus penjelasan kepala desa. Baginya, kemiripan ini bukanlah sesuatu yang wajar. Wajah yang begitu bening dan sempurna di masa lalu, baginya, pasti ada sesuatu di baliknya. Entah itu susuk, pelet, atau bahkan perawatan khusus yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya di zaman itu. Apapun itu, dia merasa ada yang tidak beres.
Dalam catatan yang pernah Rita baca. Tujuan kuyang memakan bayi dan janin adalah untuk mendapatkan kemampuan awet muda, hidup abadi, dan kecantikan yang diidam-idamkan oleh setiap wanita.