Mohon tunggu...
Andi Chorniawan
Andi Chorniawan Mohon Tunggu... -

Y

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Muda dan Tiga Nyamuk

9 April 2014   16:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:52 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jendela

Istirahat kedua berakhir sejak tadi. Guru seni rupa tak kunjung hadir. Tentu tak akan hadir, karena sang guru tengah kritis. Gaji ke 13 belum cair. Pada akhirnya, kelas dilukis bak pasar malam yang ramai, meriah dan kontemporer.

Separuh anak laki-laki sibuk berkelakar tawa, sisanya bercanda dengan kartu remi. Sedangkan beberapa perempuan saling jual beli cerita kehidupan duniawi. Tetapi tidak untuk gadis muda yang parasnya semanis gula, selalu memakai bando dan berponi ini… baginya, keramaian yang seperti itu adalah playlist lagu sedih. Dengan lantunan yang sendu dan lirik menyayat hati. Tak kuasalah dia untuk menangis.

Namun, disaat-saat yang seperti itu, agar air matanya tak turun seperti hujan gerimis. Maka, dibawalah air matanya melayang melintasi harapan para penduduk kota. Tak peduli terpanggang siang dan tak peduli terkena ombak debu. Dia tetap mengepakkan sayapnya menuju arah pulang. Setibanya, dengan tubuh yang telah kuyu, dia langsung mengurung diri di kamar. Begitulah dia berangan. Disamping jendela.

Ketika dia berangan. Ketika dia mencoba kabur dari sang waktu. Itu sudah dua puluh menit. Dan tinggal sepuluh menit lagi, angannya itu segera terkabul. Sepuluh menit itu lama, gumamnya. Peluh keringat mengalir pelan dari kening turun ke pipinya, dan dari pipinya yang halus serta lesungnya yang cekung itu, peluhnya turun ke leher. Ya pelan saja, alirannya seperti arus sungai mengikuti putaran waktu yang saat ini melambat.

“Apakah AC nya mati, Del?” Tanya gadis muda itu sambil menyeka keringat dengan sapu tangan.

“Sepertinya begitu.” Jawab teman sebangkunya, Delina.

“Jika selalu seperti ini. Apa mungkin bisa kita bertukar tempat duduk?” Lanjutnya.

“Kenapa?”

“Duduk di sebelah jendela ini tidak membawa kebahagiaan. Disebelah sana, coba kau lihat… mereka bahagia sekali.” Jawabnya sambil telunjuknya menunjuk ke jendela, lalu segera merubahnya ke deretan bangku paling belakang.

“Tapi, bukankah tempat duduk ini adalah idamanmu. Dulu, kau mirip politisi yang saling sikut hanya untuk sebuah kursi.”

“Waktu berubah, situasi juga berubah, Del…” katanya yang lalu menyandarkan kepala pada meja.

Di sebelah kanan tempat mereka berdua duduk. Ada sebuah jendela kaca. Tanpa dibuka sekalipun, bisa dilihat sebuah taman luas memanjang yang dipenuhi bunga merah, kuning dan putih. Dari jendela kaca itu, jika hujan, terdengar jelas gemericik air dan biasanya petrichor sangat menyengat. Dan dari jendela kaca itu pula, kilauan sinar matahari pagi, siang dan sore seolah-olah membuat taman bunga itu seperti taman emas. Bila dalam keadaan-keadaan seperti itu, pastilah belajar jadi menyenangkan. Begitulah pikir gadis muda itu dulu.

“Nanti malam aku yang kerumahmu, apa kau yang kerumahku?” Delina menyentuh pundak sahabatnya.

“Ha?”

“Tugas makalah kimia, jam pertama pagi tadi.”

“Ha?”

“Kita satu kelompok!”

“Hanya kita?”

“Iya, dan bagaimana bisa kau tak tahu?”

Kini gadis muda itu duduk dengan tegap. Memandang wajah Delina sambil membetulkan tatanan rambut.

“Tadi, aku mengantuk sekali, Del. Semalam tak bisa tidur.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Aku diserang tiga nyamuk.”

“Hah? Kerumunan maksudmu?”

“Tidak, hanya tiga. Ya, tiga nyamuk.”

“Apa sebelumnya kau menonton film?”

“The Ring.”

“Pantaslah jika kau tak bisa tidur.”

Gadis muda itu menundukkan kepalanya, menarik nafas panjang, lalu membasuh wajah dengan udara yang telah berbaur dengan aroma keringat para murid yang menyulap kelas menjadi pasar malam.

“Biar aku saja yang kerumahmu. Dan… bolehkah aku membawa Dion?”

“Dion? Boleh, aku lama tak berjumpa dengannya.”

“Tentu, sangat lama.”

“Pasti ada apa-apa?”

“Tidak ada apa-apa.”

“Kau sekarang menjadi wanita yang aneh.”

“Tidak, aku normal. Tapi berhati-hatilah, aneh itu seperti flu.”

“Kenapa?”

“Dapat menular.”

Pemakaman

Menjelang malam, kira-kira setengah tujuh. Gadis muda itu tiba di muka rumah Delina. Kakinya yang jenjang terlilit jeans hitam dan pundaknya yang bidang terbungkus jaket biru. Tas ransel nampak penuh di punggungnya dan dipeluknya erat Dion di hatinya.

“Kau yakin tidak pulang rumah?” Tanya kekasihnya.

“Yakin.” Kata gadis muda itu sambil sibuk merapikan mahkotanya yang terusik oleh helm.

“Jangan khawatir. Aku sering menginap disini.” Lanjutnya.

Setelah itu mereka saling mengucapkan selamat tinggal.

Selepas kepergian kekasihnya yang bagaikan kereta malam itu. Ketika gadis muda itu menapakkan kaki setelah pintu gerbang dibuka setengah. Dia itu bisa merasakan sebuah perasaan atas segala kekosongan hidup dari dalam rumah tersebut.

Lampu di teras berpiijar terang seperti berlian. Dibawah pijaran tersebut, sebuah meja bundar dikelilingi empat buah kursi busa berwarna hitam kehijauan, yang nampak padu dengan lantai. Gadis muda itu harus berjalan sepuluh langkah untuk mencapainya. Bel terpasang di tembok samping pintu. Angin dingin menyerobot seenaknya dari sela-sela jaket ketika menekan bel. Dua kali hingga tiga kali, namun tak ada sahutan. Karena hal itulah beberapa saat dia celingukan mirip maling. Dari kaca jendela matanya yang bulat mengintip kedalam ruangan. Yang terlihat hanyalah dua buah kursi besar dan meja kaca dengan vas bunga diatas karpet biru. Nampak mewah. Disebelahnya, berdiri sebuah lemari yang dipenuhi dengan piagam penghargaan. Namun, lebih jauh kedalam, dari sisi ruangan tengah, di dekat tangga. Seekor kucing berbulu tebal abu-abu melangkah ke ruangan depan. Langkah kakinya tak mampu menahan tubuhnya yang gemuk. Di bibir gadis muda itu, senyuman mengembang seperti layar perahu. Tangan kanannya menyapa seolah berkata 'halo'.

“Dion… Dion… lihat ada Joker.” Namun Dion hanya diam dan mengunci rapat-rapat mulutnya.

“Hey, nak!”

Tubuh gadis muda itu terhentak. Ketika wajahnya menoleh kebelakang. Dilihatnya wanita paruh baya menggandeng anak kecil dengan matanya melotot. Sedang tangan kanan wanita itu memegang mangkok berisi bakso. Colekan di bahunya dan suara serak dari wanita itu, hampir saja membuat jantungnya berhenti bekerja.

“Mencari Delina?" Gadis itu hanya menganggukkan kepala. "Kurasa dia pergi keluar bersama mama papanya, mungkin mencari makan.”

Nafas gadis muda itu menjadi tak teratur. Dengan sedikit terbata-bata dia berkata.

“Oh, begitu? Terima kasih... Biar saya menunggunya...”

“Tapi kau sudah membuat janji kan?”

“Sudah…”

“Bagus. Ditunggu saja.”

Wanita paruh baya itu berlalu. Dibatinnya, kedatangan dan kepergiannya seperti hantu.

Sambil mengatur nafas, gadis muda itu duduk di atas kursi. Tas tergeletak di lantai. Tangan kanannya lemas lunglai, sementara yang kiri erat memeluk Dion. Yang tampak dari tempat dia duduk hanyalah sebuah pekarangan yang ditumbuhi rumput, tanaman yang kalau siang hari berwarna kuning, pohon rambutan dan kolam ikan. Air di kolam itu separuh berwarna hitam pekat dan sisanya entah apa nama warnanya. Sorot cahaya bulan yang membuatnya seperti itu. Selain itu, jalanan depan rumah Delina benar-benar lenggang. Tak ada nuansa kehidupan dari setiap rumah dengan bangunan yang megah nan mewah di sepanjang jalan. Andai saja tak ada gema pentungan tukang bakso, pantaslah permukiman ini disebut pemakaman.

Langit semakin malam, udara semakin dingin. Dan dengan wajah yang dingin pula, gadis itu menatap asbak besar diatas meja. Tatapannya setajam pisau dapur. Sesaat kemudian dia mengangkat Dion di depan wajahnya.

“Hey, jika kau manusia, apa kau akan merokok? Jangan! Perokok itu egonya sebesar gunung Himalaya. Oh itu terlalu kecil, pasti egonya sebesar kapal Nabi Nuh.

“Baiklah Dion, kau harus bicara jujur padaku. Majikanmu yang dulu, sehari habis berapa batang rokok? Dulu dia selalu berkata empat-lima batang. Tetapi, disaat lidah kami bertemu, aku bisa tahu jika dia berbohong…” Suara gadis itu memelan.

“Maaf,  seharusnya aku tak menanyakan hal itu padamu.”

Dion dipeluk erat di hatinya. Dan di kelopak matanya tersirat sebuah penyesalan.

Tiga Nyamuk

Di kejauhan tampak kilauan cahaya. Tiba-tiba, pintu gerbang terbuka dan menimbulkan suara yang memecah malam. Melihat hal itu, hangat dan tenanglah jiwanya.

“Hey, kau sudah disini. Sejak kapan?”

“Sejak tadi subuh.”

“Maaf ya!”

Dari jarak pintu gerbang hingga teras. Mereka berbicara seperti itu dengan nada yang lantang.

Lambat laun kilauan cahaya itu semakin mendekat… dekat dan akhirnya padam.

“Om… tante…” sapa gadis itu sambil berjabat tangan.

“Kamu kesini sendirian?”

“Tidak tante, diantar teman. Tapi sudah pergi.”

“Tadi, mamamu menelepon.”

“Hah, mama?”

“Iya…”

Pintu rumah terbuka. “Ayo masuk!” ajak Delina.

Gadis muda itu melangkah di belakang Delina dengan perasaan mengganjal. Kini dia berada dalam ruangan yang tadi dia intip. Berlanjut ke sebuah ruang santai keluarga. Ruangan itu tak berbeda jauh dengan saat terakhir kali dia berkunjung.  Karpet bermotif bunga matahari, foto keluarga yang dibingkai besar diatas telivisi, serta rak berisi buku-buku yang tertata rapi. Dia terus melanjutkan langkahnya, seperti kehidupan yang juga terus berjalan. Telapak kakinya menapaki anak tangga, hingga sampailah dia di depan pintu kamar Delina.

Lampu menyala, kedua gadis itu langsung membanting tubuhnya ke kasur. Di sepanjang waktu tersebut, sambil memandang langit-langit. Mereka dapat mendengar nafas masing-masing.

“Del, benarkah mamaku tadi meneleponmu?” Tanya gadis muda itu.

“Iya, tadi.” Balasnya.

“Selalu seperti itu, tidak mempercayai anaknya sendiri.”

“Beliau khawatir padamu.”

“Kenapa? Satu setengah tahun lagi, kita akan belajar di perguruan tinggi. Hidup sendiri, belajar mandiri. Kau akan ke perguruan tinggi mana?”

Delina bangkit, tak dijawabnya pertanyaan itu. Lalu melangkah ke tepian jendela. Dingin langsung menusuk tulangnya ketika jendela terbuka. Namun dia menikmatinya. Saat memandang langit yang dipenuhi bintang. Matanya berbinar-binar. Kedua tangannya menengadah, seolah-olah dia ingin mengambil satu untuk disimpan.

Namun, hanya sesaat dia menikmati situasi tersebut. Sahabatnya berseru kepadanya. “Hey Del, jangan kau buka jendelanya. Nanti nyamuk masuk.”

“Aduh, masih saja kau bicara nyamuk.” Sahut Delina kesal.

“Kau tidak percaya padaku?”

“Tentu tidak. Kau aneh!”

Gadis muda itu bangkit dari kasur. Membawa Dion untuk diserahkan kepada Delina, setelah itu dia kembali ke tempat semula.

“Tanyakan pada Dion. Dia akan mengatakan yang sejujurnya kepadamu…. Dia pasti akan bercerita, di malam yang sangat larut dan orang rumah sudah bergumul dengan bunga tidurnya. Tiba-tiba saja aku diserang oleh tiga nyamuk. Nyamuk yang pertama seperti pesawar Sukhoi, deru mesinnya memekakkan telinga. Nyamuk yang kedua lebih ganas, seperti hujan badai yang petir dan halilintarnya tak kunjung behenti menyambar. Dan yang terakhir seperti suster membawa jarum suntik. Tapi, seberapa keraspun aku berteriak, ketika jarumnya menusuk kulit, entah mengapa tak satupun orang rumah yang terbangun.”

Dengan Dion yang sekarang berada di pangkuannya. Mulut Delina menganga. Dia tercengang akan cerita seorang gadis muda yang dikenalnya sebagai sahabat itu.

“Baiklah.”

“Ah, akhirnya kau percaya.”

“Ya. Tapi aku ingin memutar musik. Tanpa musik, kita seperti di pantai tanpa kicauan camar.” Kata Delina.

“Terserah. Tapi tutuplah jendela itu.”

Kini, gadis muda itu telah kembali merebahkan badannya. Tangannya mengelus bulu halus Dion. Tak berapa lama, terdengar lantunan lagu memenuhi ruangan. Delina duduk diatas kasur meletakkan tumpukan buku panduan yang diambil dari lemari. Dia menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya yang sedari tadi berbicara dengan Dion.

“Jadi kau tadi hanya duduk di teras rumah satu jam lebih, tanpa melakukan apapun?” Tanya Delina.

“Iya.”

“Kau pasti bosan.”

“Bosan. Tapi tidak juga, karena ada Dion, aku tak bisa membayangkan jika tak ada dia.”

“Ya.” Delina menganggukkan kepala. Raut wajahnya tampak serius.

“Tapi, Dion pernah menghilang, kau tahu?” Gadis muda itu kemudian bangkit lalu mengambil buku.

“Lima bulan kan?” sahut Delina.

“Iya… Dia pergi menghilang dan hanya kembali pada saat-saat tertentu, lalu pergi lagi. Perginya sangat lama tapi kembalinya sebentar.”

Delina meraih tisu yang tergeletak di atas meja kecil dekat kasur.

“Pernah suatu ketika, Del. Aku membaca “Linguae” karya Seno Gumira Ajidarma, ada kutipan yang berbunyi…

“Aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun, berapa lama pun, selama aku mencintainya.”

“Tapi, akhirnya kau pergi dengan Joni… kau tak mencintainya.” Delina membelai rambut sahabatnya.

Air mata mengalir di pipi gadis muda itu, menetes di baju Delina.

“Kau harus membuang, Dion, ke tempat sampah depan rumahmu.”

Dan kini, baju Delina semakin basah.

Madiun, 18 Januari 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun