“Bagus. Ditunggu saja.”
Wanita paruh baya itu berlalu. Dibatinnya, kedatangan dan kepergiannya seperti hantu.
Sambil mengatur nafas, gadis muda itu duduk di atas kursi. Tas tergeletak di lantai. Tangan kanannya lemas lunglai, sementara yang kiri erat memeluk Dion. Yang tampak dari tempat dia duduk hanyalah sebuah pekarangan yang ditumbuhi rumput, tanaman yang kalau siang hari berwarna kuning, pohon rambutan dan kolam ikan. Air di kolam itu separuh berwarna hitam pekat dan sisanya entah apa nama warnanya. Sorot cahaya bulan yang membuatnya seperti itu. Selain itu, jalanan depan rumah Delina benar-benar lenggang. Tak ada nuansa kehidupan dari setiap rumah dengan bangunan yang megah nan mewah di sepanjang jalan. Andai saja tak ada gema pentungan tukang bakso, pantaslah permukiman ini disebut pemakaman.
Langit semakin malam, udara semakin dingin. Dan dengan wajah yang dingin pula, gadis itu menatap asbak besar diatas meja. Tatapannya setajam pisau dapur. Sesaat kemudian dia mengangkat Dion di depan wajahnya.
“Hey, jika kau manusia, apa kau akan merokok? Jangan! Perokok itu egonya sebesar gunung Himalaya. Oh itu terlalu kecil, pasti egonya sebesar kapal Nabi Nuh.
“Baiklah Dion, kau harus bicara jujur padaku. Majikanmu yang dulu, sehari habis berapa batang rokok? Dulu dia selalu berkata empat-lima batang. Tetapi, disaat lidah kami bertemu, aku bisa tahu jika dia berbohong…” Suara gadis itu memelan.
“Maaf, seharusnya aku tak menanyakan hal itu padamu.”
Dion dipeluk erat di hatinya. Dan di kelopak matanya tersirat sebuah penyesalan.
Tiga Nyamuk
Di kejauhan tampak kilauan cahaya. Tiba-tiba, pintu gerbang terbuka dan menimbulkan suara yang memecah malam. Melihat hal itu, hangat dan tenanglah jiwanya.
“Hey, kau sudah disini. Sejak kapan?”