Aku kembali menjejakkan kaki di pulau ini setelah sekian lama. Sejak turun dari perahu kecil yang membawa kami dari daratan, mataku terpaku pada hamparan laut berwarna perpaduan biru dan hijau di depanku. Ombak yang saling menggulung, beberapa kali mengenai sandal jepit hitam yang kukenakan.Â
Aroma air laut terasa segar, berebut masuk ke dalam saluran pernapasanku. Kembali menghirup aroma laut di tempat ini, membuat ingatan masa mudaku menyeruak. Bayangan wajah pria yang dahulu sempat mengisi hati, tiba-tiba muncul di pikiran. Namun tak seperti dulu, kini aku dengan cepat bisa menguasai diri.
Aku berlari ke arah pria yang akan menjadi masa depanku, dan tersenyum padanya. Dia membalas senyumku, menggenggam tanganku dan mengajakku berkeliling mengitari pulau kecil tempat kami akan melakukan pemotretan untuk foto pernikahan kami.
"Tempat ini banyak berubah, ya," ucapnya sambil mengayunkan tangan kami yang bertaut.
"Mungkin karena sekarang Pulau Sombori resmi dijadikan objek wisata sama pemerintah setempat. Jadi lebih terlihat profesional. Beda dengan dulu yang masih alami banget," jawabku sembari memperhatikan sekitar. "Makanya jadi makin banyak orang yang berkunjung ke sini!"
Ini adalah kali pertama kami mengunjungi kembali Pulau Sombori, setelah tujuh tahun lalu. Melakukan pemotretan pernikahan di tempat yang cocok disebut sebagai surga dunia ini, adalah cita-citanya sejak dulu. Selain indah, tempat ini ingin selalu ia ingat, karena di pulau inilah kami dipertemukan. Lewat salah satu program perkuliahan yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa semester lima dari seluruh fakultas, kuliah kerja nyata.
"Setelah menikah nanti, kamu nggak benar-benar berencana untuk tinggal di sini kan, Dit?" tanyaku sambil memelotot ke arahnya.
Ia membalas pertanyaanku dengan tawa riangnya, yang entah sejak kapan tepatnya, selalu kurindukan. Setelah beberapa detik puas menertawai pertanyaan polosku, ia menjawab, "Kalau tinggal di sini nggak mungkin, dong, Ra. Gimana sama kerjaan kita di Yogya!"
Aku mengangguk menyetujui kalimatnya. "Bener juga, sih."
"Tapi, kita harus agendakan setidaknya setahun atau dua tahun sekali harus ke sini." Ia lalu melompat ke depanku. Tubuhnya yang tinggi kini menghadangku, menghalau sinar terik matahari yang sejak tadi mengenai tubuh kami. Sorot matanya yang tajam kini lurus menatapku. Tak lupa, kedua tangannya menggenggam erat tanganku.
"Anak-anak kita juga harus tahu surga ini."
Aku tersenyum menatapnya. Kini aku merasa pandanganku agak sedikit kabur, karena ada sesuatu yang akan meluncur dari sana. Dalam hati, aku mengucap syukur pada Tuhan, karena telah membuatnya menjadi calon pendamping hidup. Kebaikannya padaku tak pernah berkurang sedikit pun, meski sejak awal kehadirannya tak pernah kuanggap.
***
Tujuh tahun lalu...
Biasanya KKN menjadi momen yang paling ditunggu oleh mahasiswa. Bukan karena alasan kedinasan, seperti melalui program ini, mahasiswa jadi bisa belajar hidup bersosial dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat sekitar. Namun lebih kepada alasan klise, seperti mahasiswa bisa memiliki banyak kenalan lawan jenis, yang nantinya dijadikan sebagai target pacar baru.Â
Sayangnya, alasan klise seperti itu tak berlaku untukku. Sebagai seorang gadis penerima beasiswa pemerintah, yang harus mempertahankan IPK supaya beasiswanya tak dicabut, aku tak pernah mengizinkan diriku untuk bermain-main dengan masalah percintaan.
 Aku dan sembilan mahasiswa lain dari berbagai macam fakultas, tiba di Desa Mbokita, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah setelah melewati perjalanan kurang lebih selama dua hari dari Yogyakarta. Namun ternyata, lelah yang mungkin kini dirasakan oleh hampir semua rombongan tim KKN kami, terpaksa harus kami telan sendiri. Karena saat ini, kepala desa dan perangkat jajarannya, mengadakan pesta penyambutan untuk kami.
"Selamat datang di Desa Mbokita, rombongan mahasiswa KKN dari UGM!" soraknya sembari sibuk membagi-bagikan  minuman pada kami.
"Perkenalkan, nama saya Ahid, Sebelumnya saya mewakili jajaran perangkat desa, memohon maaf apabila tidak dapat menyambut kedatangan adik-adik dengan lebih meriah," ucapnya pada kalimat awal sambutan panjangnya.
Apa ada yang lebih meriah dari ini, Pak? Sekarang kami cuma butuh istirahat!Â
Aku hanya bisa berkelakar dalam hati. Sebagai ketua tim, aku wajib menunjukkan citra yang baik pada kepala desa dan masyarakat selama periode waktu KKN.
"Ini sudah lebih dari cukup, Pak. Kami malah takut kedatangan kami justru merepotkan," jawabku diplomatis.
"Tentu saja tidak, Dik. Justru kami senang sekali kedatangan tamu dari kalangan mahasiswa. Ya siapa tahu adik-adik semua nantinya bisa membantu menyelesaikan permasalahan kami dengan ilmu yang didapatkan dari kampus."
Aku berdehem profesional sebelum merespon pembicaraan Pak kepala desa.
"Kalau soal itu, tentu saja kami akan bantu, Pak. Nanti kita agendakan untuk bicara tentang permasalahan Bapak dan Ibu semua, di rapat pertama, yang tentunya bukan saat ini." Tak lupa aku menekankan kata terakhir, supaya mereka tak segera mengeksekusi ideku.
"Tentu saja, Dik. Sekarang kalian semua pasti capek. Setelah ini, Adik silakan makan siang dulu di dalam." Pak Ahid menunjuk balai desa yang sudah di bagian tengahnya berisi meja yang penuh dengan makanan dan minuman. "Istri saya, dibantu dengan ibu-ibu perwakilan PKK RW, sudah menyiapkan jamuan seadanya untuk para mahasiswa."
Anggota kelompok di belakangku bersorak mendengar ajakan makan siang dari Pak Ahid. Beberapa anak bahkan sudah berjalan ke arah balai desa. Sebenarnya wajar saja mereka bereaksi seperti itu, karena kami tidak bisa menikmati makanan yang disajikan selama perjalanan panjang tadi. Entah karena bosan dengan durasi perjalanan yang terlalu panjang atau bagaimana. Karena sependek ingatanku, rasa makanan yang disajikan masih termasuk dalam kategori enak.
Aku memelotot ke arah mereka yang masih di belakangku, memberi kode supaya lebih sopan. Aku lalu berbalik dan meminta maaf pada Pak Ahid, yang tak mempermasalahkan hal sepele dengan menggelengkan kepala.
Kemudian, aku menarik asal, lengan Radit, salah seorang mahasiswa dari beberapa mahasiswa yang kini sudah sejajar berada di barisan Pak Ahid. Tubuhnya yang tinggi, membuatku sedikit mendongak saat berbicara dengannya.Â
Hal itu membuatku memicingkan mata karena sinar matahari yang sedang terik-teriknya, dengan bebas masuk ke mataku. Saat aku akan menutup dahiku untuk menghalau sinar matahari, entah sengaja atau tidak, ia memiringkan tubuhnya untuk menghalau sinar matahari mengenai wajahku.
"Setidaknya kamu nggak boleh mendahului Pak Ahid, Dit!" seruku padanya yang hanya dibalas dengan anggukan, itupun jeda beberapa detik. Aku tak tahu mengapa, setiap kali bicara dengannya, ia selalu merespon seperti itu.
"Tunggu apa lagi?" Cepet seret teman-temanmu juga!" Aku menambahkan kalimat perintah lain padanya, dengan nada sedikit keras, supaya ia tak hanya diam saja sambil menatap kosong ke arahku.
Namun usahaku sia-sia. Radit tetap diam. Ia baru tersadar saat teman-temannya menyeretnya dari hadapanku. Aku mengembuskan napas dengan keras dan berlari ke arah pak Ahid yang sejak tadi tersenyum melihat interaksi kami.
***
 Selesai melakukan pemotetran, pihak fotografer memberi kami waktu untuk berjalan-jalan sebentar sembari menikmati pemandangan yang bisa menghilangkan beban. Mengurus segara detail tentang hal yang kami butuhkan untuk acara pernikahan memang tidak mudah. Karena hal itu kami lakukan sembari tetap menjalankan bisnis yang telah kami rintis bersama sejak berkuliah S2.
Kami berkeliling sambil membicarakan banyak hal. Sesekali ia berhenti dan melepas gandengan tangan kami untuk berjongkok mengambil benda laut yang terdampar di pasir.
"Ini untuk kamu!" serunya seraya memberikan sebuah kerang berwarna cokelat muda berkilauan padaku, persis seperti yang ia lakukan dulu saat melihatku menangisi pria itu.
Aku tertawa dan membisikkan terima kasih dengan lembut di telinganya.
"Aku refleks memberi semua yang indah ke kamu, Ra," jawabnya sembari melingkarkan tangannya di pinggangku.
Ia dan rasa cintanya tak pernah berubah. Sepertinya hal itu yang membuatku akhirnya luluh dan menerimanya.
"Hmmm ... Mumpung kita lagi di sini, apa ada seseorang yang pengin kamu temui?" tanyanya saat kami melanjutkan perjalanan.
Meski tanpa menengok ke arahku, aku tahu ia berusaha sekuat tenaga untuk menanyakan itu. Aku tahu seberapa besar ia menelan egonya untuk akhirnya bertanya tentang hal yang tak pernah lagi kami bahas, di tengah tempat yang penuh kenangan akan masa lalu, ditambah lagi dalam rangkaian acara pemotretan untuk acara pernikahan kami.
Aku bisa membaca kegundahannya. Aku tahu, ia takut aku kembali merisaukan sosok yang dulu selalu membuatku bercucuran air mata. Namun ia tetaplah Radit, seorang yang selalu berusaha bertanya tentang perasaanku. Radit yang tak pernah berhenti untuk berusaha memahamiku.
Meski sedikit tersentak dengan pertanyaannya, tetapi aku bisa menggelengkan kepala dengan cukup cepat untuk merespon pertanyaannya. "Sekarang dan sampai seterusnya, aku cuma butuh kamu," ucapku lirih sembari menatapnya yang tersenyum puas mendengar jawabanku.
Ia lalu menarikku ke dalam pelukannya, lamat-lamat ia membisikkan kata terima kasih di telingaku. Aku menggeleng lemah. Seharusnya aku yang berterima kasih padanya atas semua yang ia berikan padaku selama ini.
Setelahnya, kami habiskan waktu dengan menatap senja di langit yang beratraksi memamerkan keindahannya. Aku bersandar di bahu Radit dengan ditemani langit berwarna jingga, dan semilir angin yang membawa aroma laut.Â
Suasana yang sempurna dan membuatku tenang. Namun sepertinya, ketenangan yang kurasakan saat ini kurang sempurna bila yang di sampingku bukan dia. Sekali lagi, kuucap syukur pada Tuhan karena telah membuat Radit tak pernah menyerah padaku.
***
Tujuh tahun lalu ...
Hari kedua di Desa Mbokita, kuawali dengan mengadakan rapat bersama dengan perwakilan warga dan kepala desa beserta jajarannya. Rapat ini diadakan di balai desa yang sama seperti yang Pak Ahid gunakan untuk menyambut kedatangan kami. Setelah sarapan bersama dengan berbagai olahan menu ikan, kami bersepuluh segera mempresentasikan beberapa program kerja yang telah kami buat.
Program kerja yang kami buat, telah disesuaikan dengan asal jurusan dan ilmu yang telah kami pelajari di kampus. Di antaranya ada dua mahasiswa dari fakultas kedokteran, membuat program kerja pemeriksaan gratis setiap akhir pekan. Radit yang berasal dari jurusan perikanan, membuat program kerja penyuluhan yang lengkap dengan praktik mengolah ikan dengan berbagai teknik supaya penyimpanannya lebih tahan lama. Ia juga bekerja sama dengan dua mahasiswa dari jurusan ilmu gizi dan seorang mahasiswa dari fakultas ekonomi.Â
Menurutnya, hal itu sangat penting untuk memberikan gambaran tentang kandungan gizi dalam ikan olahan dan nilai ekonomi dari produk ikan olahan yang pasti lebih tinggi dari ikan mentah.
Saat ia menjelaskan tentang program kerjanya secara internal untuk pertama kali, aku merasa antusias, setuju dengan idenya yang segar dan konkret.Â
Dan sekarang, saat ia kembali menjelaskan tentang program kerjanya pada masyarakat Desa Mbokita, lagi-lagi perasaan antusias itu muncul. Entah karena tersihir melihatnya begitu bagus membawakan presentasi atau karena ide briliannya. Atau mungkin aku bahkan sekadar tak sabar dengan hasil akhir dari program kerja yang ia rancang.
Setelah menyelesaikan presentasinya, Radit lalu menyerahkan mikrofon yang ia gunakan padaku. Aku mengucapkan terima kasih padanya. Namun sama seperti sebelumnya, ia hanya menatapku, dan mundur dengan tergesa hingga hampir terjatuh karena tersandung kaki meja di sebelahnya. Melihatnya seperti itu di depan mataku, membuatku refleks memegang lengannya.
"Ya ampun, hati-hati, Dit!" seruku.
"Mas Radit dan Mbak Amara sepertinya cocok, ya!" sahut Pak Ahid yang segera disambut dengan sorakan para warga.
Mendengar teriakan para warga, aku segera melepaskan tanganku dari jas almamaternya. Aku berdehem dan pura-pura merapikan anak rambut yang sebenarnya tak mengganggu. Dari ujung mataku, Radit telah kembali di barisan mahasiswa. Rupanya, di sana ia juga tak luput dari ejekan teman-temannya. Aku menegakkan tubuh, berusaha kembali fokus pada program kerja yang sebentar lagi akan kupresentasikan. Â
Nggak ada waktu untuk main-main, Amara. Lagian sejak kapan cowok seperti Radit masuk ke dalam kriteriamu?
Â
***
Aku pertama kali bertemu dengannya, pria yang membuat hidupku jungkir balik, di pulau ini. Saat itu, usiaku baru menginjak dua puluh tahun, dan pria itu berusia dua puluhan akhir, sama sepertiku saat ini. Salah satu alasanku tak pernah terlibat urusan percintaan selama kuliah adalah, karena aku tak suka dengan lelaki yang seumur denganku.
Terlahir menjadi anak yatim, membuatku tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Ibuku juga tak pernah menikah lagi. Sepanjang hidupnya, ia hanya fokus bekerja menghidupiku dan Nenek. Mungkin karena alasan itu, saat bertemu dengannya, aku cenderung tertarik padanya. Alasannya sederhana, aku merindukan kasih sayang pria dewasa yang tak pernah sempat kurasakan sepanjang hidupku yang keras.
Ia adalah seorang guru yang mengajar di salah satu sekolah dasar tempatku membuka bimbingan belajar. Bimbingan belajar ini adalah program kerja yang kubuat bersama seorang temanku dari fakultas MIPA. Program kerja ini juga yang pada awalnya menjembatani interaksiku dengannya.
Kehadirannya mengubah semua prinsip yang telah kupatri dalam hati. Tembok tinggi yang kubangun bertahun-tahun untuk melindungiku dari segala hal di luar urusan perkuliahan, tiba-tiba kuhancurkan sendiri. Setiap hari aku merasa gelisah ingin segera bertemu dengannya. Kini kutahu rasanya, bagaimana saat perutku geli karena kupu-kupu yang berterbangan.
Di hari ke sekian setelah berkenalan dengannya, salah satu teman KKN kami yang memiliki kepekaan tinggi dalam menyadari perubahan perilaku seseorang yang sedang jatuh cinta, memergokiku yang berdandan sebelum keluar rumah.
"Sepertinya ketua KKN kita sedang jatuh cinta!" serunya.
"Wah, pasti Radit senang banget karena cintanya berbalas!" tambah yang lain.
Kenapa jadi Radit? Aku mengernyit. Tampaknya gosip yang beredar terkait hubunganku dan Radit semakin mengada-ada.
"Emang kalau nggak lagi jatuh cinta, aku nggak boleh dandan?" jawabku asal, malas meluruskan gosip yang terlanjur tersebar luas. "Berdandan rapi juga bisa dijadikan sebagai bentuk sopan santun pada masyarakat. Aku berangkat dulu, ya, sudah ditungguin anak-anak," pamitku sembari menyeret tangan teman satu prokerku.
Sesampainya di sekolah, hatiku menjadi tenang karena akhirnya berhasil melihatnya. Sembari menunggu waktu pulang sekolah, seperti biasa aku membantu para guru menyelesaikan segala urusan mereka di ruang guru. Di tengah obrolan para guru, sayup-sayup kudengar nama pria itu disebut. Namun, Ibu guru berbadan gemuk itu, tak menyebut pria itu sebagai guru, melainkan wali murid dari anak didiknya.
"Maaf, Bu, bukannya saya menguping pembicaraan Ibu. Tapi tadi suara Ibu terdengar dari tempat saya." Aku tidak tahan untuk meluruskan informasi yang baru saja kudengar. Aku tak terima jika pria pertama yang berhasil membuatku jatuh cinta adalah suami orang.
"Yang Ibu maksud tadi benar Pak Bagas guru keterampilan?" tanyaku tak sabar.
"Iya, Mbak Amara benar. Pak Bagas guru keterampilan itu ayahnya Nia murid saya kelas tiga," jawab guru itu santai. Â
Saat itu, aku bagai terseret masuk ke dalam rongga lantai keramik ruang guru tempatku berpijak. Aku mencoba menenangkan diri dengan menarik napas yang biasanya seringan kapas. Namun entah mengapa kini kurasa susah untuk menghirupnya. Aku segera berlari dari ruang guru menuju kelas Nia. Aku telah menghapal wajah Nia. Saat mengisi bimbingan belajar untuk kelas satu sampai tiga, aku sempat berkenalan dengannya. Aku ingin mengetahui langsung dari mulutnya bahwa pria yang kucintai memang benar adalah ayahnya.
"Nia, kamu masih ingat dengan saya?" tanyaku saat berhasil menemukan Nia di depan kelasnya. Saat itu ia sedang bermain sambil memakan jajanan yang dibelinya dari kantin sekolah.
"Bu Amara kan, yang mengajar kelas matematika. Seru banget kelasnya, Bu!" jawabnya, yang segera disetujui oleh teman-temannya.
Aku mengangguk, bersyukur karena aku diingat dengan kesan baik. "Bu Amara mau tanya sesuatu boleh?" ajakku sambil sedikit-sedikit menggiringnya menjauh dari teman-temannya.
"Mau tanya apa, Bu?" tanyanya dengan ekspresi sedikit ketakutan, seperti aku akan menelannya.
Aku lalu menanyakan sesuatu yang penting itu. Dan setelah mendengarkan jawabannya, sekali lagi aku seperti dihisab masuk ke dalam lantai tempatku berpijak. Saat itu semuanya telah jelas, aku telah mencintai orang yang salah.
"Tapi aku nggak punya Ibu, Bu,"
Mendengar jawaban itu, aku membelalak ke arahnya. Aku bersorak, bahkan hampir meneteskan air mata bahagia.Â
Aku tidak mencintai orang yang salah!
Â
***
Sejak hari itu, aku terus berusaha mendekati Bagas. Kugunakan kuasaku sebagai ketua tim untuk mengatur urusan KKN ini supaya terus bersinggungan dengannya. Hasilnya sesuai dengan rencanaku, hubunganku dengan Bagas semakin dekat. Sedikit banyak aku juga tahu apa yang disukai dan yang tak disukainya.Â
Sebelum waktu mengajarku dimulai, aku juga selalu makan bersama dengannya. Bukan menu makanan mewah, hanya berbagai olahan ikan di warung makan dekat sekolah. Namun bukankah makanan apapun yang dimakan bersama orang yang kita cinta menjadi sangat bermakna? Jika digambar dalam kurva, agaknya hubunganku dan Bagas saat itu adalah kurva yang menunjukkan kenaikan pesat.
Namun ternyata semua itu hanya ada dalam pikiranku saja. Saat makan siang bersama ke sekian kalinya, ia berkata ingin menyudahi kegiatan yang membuatku berjuta kali lipat lebih bersemangat dan sangat kutunggu setiap harinya.
"Aku merasa bersalah pada mendiang istriku," ucapnya lirih. "Nggak semestinya aku bahagia seperti ini. Maafkan aku, Amara. Aku yakin suatu saat nanti, kamu pasti bertemu dengan pria yang tepat, memperlakukanmu dengan lebih baik, dan tentunya yang tidak terjebak pada masa lalu sepertiku."
Ia lalu beranjak dari tempat duduk kami, dan berlalu tanpa menyentuh makanan yang dipesannya. Tampaknya ia hanya ingin meninggalkanku sesegera mungkin.
***
Sejak Bagas meninggalkanku, aku selalu merenung sendiri di pantai jika sedang tak ada lagi pekerjaan yang harus kuselesaikan. Mendengar deburan ombak yang saling bersahutan, membuat pikiranku yang kusut dan penuh, menjadi sedikit lega. Aku bersyukur karena patah hati pertamaku, berada di tempat seindah ini. Setidaknya dengan melihat laut, aku bisa menghilangkan penatku walau hanya sesaat.
"Ini untuk kamu!" seru Radit yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Ia memberiku kerang laut berwarna cokelat berkilauan.
"Aku baru selesai menemani Pak Firman dan teman-temannya melaut hari ini. Dan kebetulan aku ngelihat kamu di sini," ucapnya seperti mengerti kebingunganku akan kemunculannya yang tiba-tiba.
"Itu salah satu hasil tangkapan Pak Firman." Radit menunjuk kerang yang sejak tadi dijulurkannya dan belum kusambut. "Tentu saja kerang ini terlalu indah untuk ikut diawetkan!" serunya panjang lebar.
"Thank's!" jawabku pendek. Aku menerima kerang darinya, meski tak tahu, akan kugunakan untuk apa.
"Kerang itu nggak hanya cantik di luar saja. Dia juga bisa menghasilkan sesuatu yang cantik di dalamnya." Radit menarik napas panjang, menghirup aroma laut.
Aku menoleh ke arahnya. Ia mengangguk, memberiku isyarat untuk membuka kerang di tanganku. Sebuah mutiara yang berkali lipat lebih berkilau dari kerang yang diberinya, segera menyambutku. Aku menganga, tersihir dengan keindahan barang mungil yang ada di tanganku.
Radit tersenyum melihat reaksiku yang sedikit kampungan, karena baru pertama kali melihat langsung mutiara. "Sayangnya dia harus melewati serangkaian hal menyakitkan sebelum bisa menghasilkan sesuatu yang indah itu."
"Sepertinya ... saat ini kamu sedang menjalani fase menyakitkan itu." Radit menyeret kesadaranku tentang ke arah mana obrolan yang ia mulai.
"Setelah melewati ini semua, kamu pasti menjadi Amara yang berjuta kali lipat lebih berkilau dari saat ini."
Aku menatap Radit yang bersiap berdiri.
"Aku harus kembali, Ra." Dia menunjuk kelompok prokernya yang sedang menunggu di belakang kami.
 Aku mengangguk dan ikut berdiri mempersilakan Radit untuk kembali. Namun saat aku akan duduk lagi, Radit berjongkok di depanku.
"Besok ..." Radit menggeleng, jakunnya naik turun dan napasnya memburu. "Bolehkah aku menemani kapan pun kamu melihat laut seperti sekarang?"
Aku mengangguk, tersenyum tulus padanya.
***
Anggukan kecilku atas pertanyaan Radit, tujuh tahun yang lalu itulah yang menjadi awal hubungan kami hingga saat ini. Aku memejamkan mata, sekali lagi mengucap syukur pada Tuhan sekaligus berdoa semoga kami terus bersama, hingga nanti kembali dipertemukan di tempat yang abadi dan indah seperti Pulau Sombori.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H