Sesampainya di sekolah, hatiku menjadi tenang karena akhirnya berhasil melihatnya. Sembari menunggu waktu pulang sekolah, seperti biasa aku membantu para guru menyelesaikan segala urusan mereka di ruang guru. Di tengah obrolan para guru, sayup-sayup kudengar nama pria itu disebut. Namun, Ibu guru berbadan gemuk itu, tak menyebut pria itu sebagai guru, melainkan wali murid dari anak didiknya.
"Maaf, Bu, bukannya saya menguping pembicaraan Ibu. Tapi tadi suara Ibu terdengar dari tempat saya." Aku tidak tahan untuk meluruskan informasi yang baru saja kudengar. Aku tak terima jika pria pertama yang berhasil membuatku jatuh cinta adalah suami orang.
"Yang Ibu maksud tadi benar Pak Bagas guru keterampilan?" tanyaku tak sabar.
"Iya, Mbak Amara benar. Pak Bagas guru keterampilan itu ayahnya Nia murid saya kelas tiga," jawab guru itu santai. Â
Saat itu, aku bagai terseret masuk ke dalam rongga lantai keramik ruang guru tempatku berpijak. Aku mencoba menenangkan diri dengan menarik napas yang biasanya seringan kapas. Namun entah mengapa kini kurasa susah untuk menghirupnya. Aku segera berlari dari ruang guru menuju kelas Nia. Aku telah menghapal wajah Nia. Saat mengisi bimbingan belajar untuk kelas satu sampai tiga, aku sempat berkenalan dengannya. Aku ingin mengetahui langsung dari mulutnya bahwa pria yang kucintai memang benar adalah ayahnya.
"Nia, kamu masih ingat dengan saya?" tanyaku saat berhasil menemukan Nia di depan kelasnya. Saat itu ia sedang bermain sambil memakan jajanan yang dibelinya dari kantin sekolah.
"Bu Amara kan, yang mengajar kelas matematika. Seru banget kelasnya, Bu!" jawabnya, yang segera disetujui oleh teman-temannya.
Aku mengangguk, bersyukur karena aku diingat dengan kesan baik. "Bu Amara mau tanya sesuatu boleh?" ajakku sambil sedikit-sedikit menggiringnya menjauh dari teman-temannya.
"Mau tanya apa, Bu?" tanyanya dengan ekspresi sedikit ketakutan, seperti aku akan menelannya.
Aku lalu menanyakan sesuatu yang penting itu. Dan setelah mendengarkan jawabannya, sekali lagi aku seperti dihisab masuk ke dalam lantai tempatku berpijak. Saat itu semuanya telah jelas, aku telah mencintai orang yang salah.
"Tapi aku nggak punya Ibu, Bu,"