Aku mendadak tersadarkan, kita seringkali melupakan momen-momen "biasa" namun indah dan mengesankan karena terlalu sering tenggelam pada masalah-masalah, pertanyaan-pertanyaan atau peristiwa-peristiwa besar.Â
Dan malam itu, menyanyikan kembali lagu ini bersamamu, dengan cahaya lembut purnama menghiasi langit, bersama anak-anak kita di beranda, aku merasakan kehidupan ini kian terasa lengkap dan penuh semangat. Bersamamu.
 Tawa anak kita yang lepas saat melihatku bernyanyi terbata-bata serta raut wajah gemasmu mengajarkanku kembali bait demi bait syair lagu tersebut, aku jadi tahu, betapa penting dan dashyatnya kebersamaan ini sebagai pilihan titik takdir kita.Â
Menyaksikan Alya menari dan Rizky dengan gayanya yang lucu menggoda adiknya menyadarkanku bahwa kedua buah hati kita ini menjadi bagian integral semesta kebahagiaan.
 Tiba-tiba aku ingat pertanyaan seorang filsuf terkemuka Walter Benjamin "kenapa kita seringkali tak bisa menikmati waktu, tak bisa menikmati hidup ?". Ia menjawab bahwa karena kita bagaikan jarum jam dalam arloji. Setiap saat terus berputar, mengitari angka-angka. Melewati tempat dan angka yang sama. Berulang. Terus menerus. Rutin.Â
Sama seperti yang kita lakukan sendiri hingga kemudian lupa memaknai apa yang telah kita kerjakan. Padahal ada begitu banyak momen-momen kecil, sederhana, remeh dan nyaris tersisihkan yang sesungguhnya memiliki makna besar bagi setiap jejak perjalanan kehidupan.
Dan saat ini, di peringatan Ulang Tahun Pernikahan kita ke-23, kita berusaha untuk tidak menjadi jarum dalam arloji. Kita mengambil jeda sejenak. "Berhenti". Berkontemplasi. Introspeksi dan berkaca pada cermin diri.Â
Kemudian memahami lebih dalam makna setiap perjalanan serta bagaimana kita mengelolanya, dengan maupun tanpa rasa perih atau kehilangan.Â
Semua menjadi pelajaran berharga untuk menentukan kiprah selanjutnya.
Istriku sayang,
Seperti dituliskan dalam buku Plato And The Theory Of Forms, Tim Ruggiero, Philosophical Society, July 2002, Plato mengisahkan semula kita dan pasangan kita sesungguhnya dilahirkan sebagai kembar. "Mereka diciptakan Tuhan dengan dua kepala, dua leher, dua badan, dua pasang tangan, dua pasang kaki, dan seterusnya, tapi mereka hanya dikarunia satu hati, satu jiwa. Dan mereka harus berbagi", kata Plato filsuf Yunani Kuno terkenal itu.Â