Mohon tunggu...
Hisan Amira
Hisan Amira Mohon Tunggu... Dokter umum -

Menulis hanya perlu kejujuran. Tidak perlu berpikir orang lain suka atau tidak. Saat kau berhenti menulis, mungkin ada yang sedang disembunyikan dalam dirimu. Selamat menulis! :D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Desember

8 Juli 2015   22:55 Diperbarui: 8 Juli 2015   22:55 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Anu dok... ulu hati saya sakit”

Karin yang lagi asik kepo kepo instagram online shop jam tangan murah, baru sadar sudah ada pasien yang duduk didepannya.

“ohh... iya iya lalu?” Dengan tenang, Karin menyembunyikan rasa kagetnya sambil membenarkan posisi duduknya.

“Iya dok.... sakit ulu hatinya, mual juga” Gadis berambut panjang itu melanjutkan keluhannya

“Sampe muntah ga?” Karin melanjutkan sesi anamnesanya sambil menulis di kertas rekam medis yang masih putih bersih. Pasien baru rupanya

Gadis itu menggeleng

“Sayang, cerita yang lengkap. Katanya tadi pusing juga?” Lelaki disebelah gadis itu – yang ternyata daritadi ada juga ada di ruangan itu - berusaha membantu menambahkan daftar keluhan si gadis, dengan wajah yang cemas.

Ralat : sok cemas.

Ah. Pasangan muda. Emang ga bisa manggil ‘sayang’ ditempat lain ya? Karin berusaha cuek sambil memasang tampang sok serius.

“Memangnya mbak ada pusingnya juga?” terpaksa Karin mengulang pertanyaan itu dengan malas. Pasien model begini harus agak diladenin maunya. Biar cepet kelar. Padahal instagramnya udah menggaruk garuk minta dilihat.

“Dikit kok dokter...” Gadis itu menjawab lirih. Modus minta perhatian. Tenang...tenang... bisik Karin dalam hati. Harus profesional

“Silahkan mbak saya periksa langsung aja”

Sang gadis beranjak ke tempat tidur periksa, untuk diperiksa (ya iyalah). Dan si Gadis itu cengar cengir waktu naik ke bed sambil melirik ke arah lelaki itu yang sementara ini diduga pasangannya. Aih... ini maksudnya apaan.

“Dari kemarin, dia lemes banget dok, kasian” lagi lagi sang lelaki pengantar merangkap pasangan yang berkomentar. Karin pura pura ga dengar karena pake stetoskop. Aslinya tetep denger samar samar sih, heheheh.

Tanpa usaha yang keras, Karin menemukan stempel bertuliskan “Basketball League” berwarna ungu, menempel cantik di leher sang gadis. Ia menghela napas dan membuka stetoskopnya

“Jadi dari sejak kemaren dirumah aja?”

“Ya ga kmana mana dok... wong lemes gitu...”

“Kalo barusan mampir mana dulu?”

“Dari rumah dok... wong lemes banget”

“Ga habis nonton basket?” Tanya Karin senyum senyum. Skak mat! Teriaknya dalam hati

“Eh.. itu... iya tadi baru nonton sebentar, sempet enakan soaknya tadi, tiba tiba pusing lagi, terus langsung kesini ” Jawab si lelaki langsung keki.

Karin dengan wajah puas dan super jahat, puas mengungkap kebohongan, yang amat sangat ga penting ini. Hu ha ha!

“Ya udah, ini resepnya...” Lanjut Karin pengen segera mengusir pasangan muda galau yang sudah mengganggu aktivitas instagramming nya terganggu. Resepnya tertulis indah diluar kepala

“Anu dok. Boleh bikinkan surat sakit?”

Eaaaaa... Fuuuhh, sabaaar sabaar....ga boleh suudzon....

Tulisan Karin bukan lagi kaya sandi rumput, tapi mirip spiral. Uwel uwel semua, saking keselnya.

“Dokter...”

Kata si Lelaki, interupsi lagi.

“Ya?” Jawab Karin setelah tarik napas 10 kali biar ga muntab

“Tolong kasih tau pacar saya, supaya makan yang banyak”

AAAAAARRRGGHHH!!!!!

Kenapaa siiihhhh pasangan muda iniii begituuuu $@#$!#^$*&@#&*(#$%!!!!

Suami Istri juga bukan. Ngapain sih sok perhatian kaya gitu. Emaknya aja belum tentu diingetin makan. Pake ngingetin makan orang lain.

Profesional... profesional... ulang  Karin dalam hati kaya baca mantra

“Mbak.... makan yang teratur ya... kalo ga, nanti mbak yang saya makan lo” Kata Karin sinis, untungnya ga ada yang sadar. Mereka berdua malah ketawa cekikikan. Gantian Karin yang nyeri ulu hati

RRRrrrrrrr

Ah! Jam 3! Waktunya pulaaaaaaang

Dengan gerakan super gesit a la Karin, dia memasukkan semua barangnya yang berserakan diatas meja. Handphone, charger, novel dee lestari, stetoskop, dan electronic ink nya. Hap hap hap

“Aku pulaaaang” Teriaknya sambil berlalu

“Looooo doook penggantinyaa belum dataaang. Pasiennya masih banyaaaak”

“Looo mbaaak....saya ada kondangaaan jam 4, harus pulaaang” jurus ngarang Karin dengan lancar keluar demi misi melarikan diri diikuti aktivitas kabur menuju vespanya.

“Doook... tapiii tapiii...” Mbak resepsionis tetap menjawab sambil tereak supaya suaranya nyampe ke Karin yang makin jauh

“Tapiiii fee jaga hari ini doookkk...?” Kata mbak resepsionis dengan wajah bahagia, barangkali dokternya khilap tetep pulang. Eits! Jangan kira Karin akan rela meninggalkan hasil jerih payahnya selama 9 jam nongkrong di klinik hari minggu pagi. Tentu saja aktivitas ngebonya harus terganggu untuk menghasilkan hal yang berharga.  Dia pun tergesa kembali ke meja resepsionis untuk mengambil amplop putih yang tidak cukup tebal itu.

***

 

Fiuh. Akhirnya.

Vespa kesayangan. Helem favorit, dan musik kencang ditelinga. Kriteria surga di kamus Karin. Meski bang Bimo sudah sering mengingatkan itu berbahaya, Karin tetep aja sering nyelipin headset dibalik slayer gambar ikan koki kalo nyetir vespa kemana mana. Berasa ga nyetir kalo ga ada musik, katanya asal.

Play list hari itu yang lagi seneng senengnya di puter adalah Break Even nya The Script. Liriknya seperti ini

             What am I gonna do when the best part of me was always you?
             And what am I supposed to say when I'm all choked up and you're OK?
             I'm falling to pieces
           

Tentu saja tombol repeat sudah di tekan sebelum vespa melaju, jadi perjalanan 30 menit itu terus terusan diisi oleh lagu patah hati yang dinyanyikannya dengan lantang dan bahagia. Diulang. Lantang dan bahagia!

Ia merasa percaya diri sekali bahwa ada seseorang disana yang sedang menyanyikan untuknya. Dengan tombol repeat seumur hidup : Kurung

Plus.... dinyannyikannya dengan lirih dan teriris. Diulang. Lirih dan teriris

***

Silahkan dok. Isi dulu identitasnya.

Karin mengangguk sopan, sambil membetulkan rambut pendeknya yang sedikit berantakan. hanya sedikit. Sisanya, dia masih sempurna.

Setelah mengisi form kehadiran, ia pun masuk ke ruangan itu sambil berlari kecil. sepertinya agak terlambat

“Jadi.... Angiotensin Reseptor Blocker tentu saja pilihan yang tepat untuk mengatasi Hipertensi pada usia 50 tahun”

Dengan tenang, ia mengambil tempat duduk agak belakang.

Tiba tiba, seseorang yang usianya sekitar 6 dekade  membungkuk kearahnya sambil berbisik “Hampir mau habis lo”

Karin kaget, dan Cuma bisa senyum seadanya, menanggapi gerakan tiba tiba itu.

Biarin, Cuma pengen makan makan. Harusnya lebih telat lagi nih... batinnya sambil melirik jam dinding.

Dan, isi seminar itu pun tidak lebih menarik daripada orang disekelilingnya. Karin memperhatikan satu persatu peserta seminar yang ada disana. Ada 1 orang yang paling menarik perhatiannya. Ia sibuk melihat layar dihapenya. Sesekali melakukan gerakan kaget tiba tiba, tanpa suara. Bisa ditebak. Orang itu sedang main game di gadget nya. Hihihi. Pasti niatnya juga mau makan doang. Tanpa sadar, Karin tersenyum lebar. Asyik, ada temennya.

“Baiklah. Cukup sampai disini penjelasan saya. Ada yang ditanyakan?”

Yes. Yes.. lunch time! Let’s go. Jangan buang buang waktu

Sret! Tiba tiba laki laki penggila gadget itu angkat tangan tinggi tinggi.

“Saya punya pasien muda. Sangat muda. Tekanan darahnya 230 / 110. Pertanyaan saya apakah obat yang baik untuk pasien saya? Karena dokter daritadi bahas yang usia lanjut  semua”

Deg.

Dan percakapan selanjutnya, tersamarkan, karena Karin sibuk berpikir lagi tentang kesalahan penilaian pada si penggila gadget itu.

Gila ya ni orang. Merhatiin enggak. Nanya iya. Tunggu tunggu. Salah. Dia justru memperhatikan meskipun fokusnya sama yang lain. Emezing!

Karin berdecak kagum gajelas dengan orang berkacamata itu. dari wajahnya mengingatkan dia pada Pemain film Imitation Game, yang memerankan Alan Turing. Dingin, datar, sibuk sendiri, tapi kepalanya terus memikirkan ide ide.

Dan masih ada 4 pertanyaan lagi yang diajukan oleh si Alan Turing itu. Pertanyaan yang Karin pun ga paham maksudnya. Terlalu sulit.

***

Kisah Alan Turing ini pun berlanjut. Dengan ketidak sengajaan, Alan Turing duduk persis di depan Karin, untuk makan siang.

Disaat yang lain berbincang hangat tentang karir, jodoh dan sekolah. Alan Turing punya dunia sendiri dengan gadget nya. Saat makanan datang, Alan Turing menyeruputnya dengan semangat sampai habis, tanpa perduli orang lain. Karin terpaku dan kagum sambil menyeruput sup nya pelan pelan. Ia  menebak nebak. Orang seperti ini pasti cuek sekali ya...

Opps. Salah lagi. Di jari manis kanannya sudah ada cincin melingkar. Untuk ukuran orang yang kelihatan “lurus lurus” macam dia, bisa dipastikan, cincin itu ada disana bukan akibat keisengan belaka.

Karin berhenti menyuap.

Untuk ukuran wanita seperti dia. Belum ada cincin melingkar. Haishh..

“Hei Karin!”

Suapan sup selanjutnya terhenti dengan sosok yang ia kenal. Waktu itu, sekitar 5 bulan yang lalu, ia bertemu orang yang sama di situasi berbeda. Mendadak ia punya firasat ada hal yang tidak enak bakal terjadi sebentar lagi

“Hei... Ira....” Jawab Karin datar

“Apa kabaar?”

“Baik kok... kamu apa kabar”

Ya. Bagus sekali, Karin. Jawaban yang paling klise, hanya untuk formalitas

“baiiikk. Dimana sekarang kamu rin?”

Oke. Pertanyaan ini juga terprediksi. Karir, jodoh, kesehatan....

“hm... di klinik swasta. Kamu masih di Rumah Sakit Puspa Indah?”

“masih, masih. Yaa gitulah... ”

“mm. Aku kesana dulu ya Ra” Kata Karin berusaha melarikan diri ke menu selanjutnya sebelum ada pertanyaan klise selanjutnya

“Eh tunggu duluuuu”

“Kamu kapana merit sama Kurung?”

“Oh. Ituuu...” Otak Karin menjerit jerit membunyikan sirine minta tolong. Biasanya dia jago masalah ngeles. Tapi untuk masalah satu ini, otak ngelesnya suka mogok kerja.

“Dengerin ya Rin... Kurung itu, kan udah kerja sekarang, apalagi aku denger dia baru aja promosi tuh bulan lalu... kalo aku jadi kamu sih, bakal aku tagih Kurung buat ngelamar aku”

Karin langsung  kehilangan selera sama sekali. Cita cita nya hari ini untuk makan enak gratis benar benar buyar. Kenapa disaat saat seperti ini, saat dia sudah berhasil menghilangkan setengah perasaan nya, ada aja kejadian yang bikin emosi karena harus mendatangkan kembali memori itu.

Memori yang Cuma butuh sedetik saja untuk merusak semua mood nya hari itu.

“Lagian... dia jarang nyamperin kamu ya? Kenapa? ” Ira masih melanjutkan pertanyaannya. Rupanya belum sadar lawan bicaranya udah mau berubah jadi monster godzilla.

Karin diam. Diam. Jantung nya berdegup tidak karuan. Dada nya terasa mau meledak. Lalu dia menjawab dengan nada teratur yang sangat halus sambil tersenyum

“Aku yang larang dia sering sering ksini. Kasian dia cape”

“Eh ra sori, aku pulang dulu ya” Sambungnya lagi sambil berlalu. Tujuannya buat ngambil sup asparagus kesukaannya disudut sana nampaknya harus diganti dengan tujuan pulang kerumah dan menulis blog.  Setelah berbalik arah, mata Karin langsung berkaca kaca. Oh no. Jangan disini, mata... please....nanti aja.

“Rin! Tunggu!”

“Aku nebeng dong... kan kita searah”

***

Karin tergeletak di tengah karpet mirip seonggok mayat. Kosong. Lunglai. Pucat. Masih lengkap dengan baju yang tadi siang dipakai jaga 9 jam.

Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Seperti biasa.

Hei, Karin. Masih sehat?

Aku minta pertanggungjawaban. Aku sudah melakukan semua yang kamu minta

Sudah. Sudah menyibukkan diri kok. Mulai dari memperpadat jadwal jaga, sampai ikut kegiatan yang sebenarnya ga kepengen pengen banget buat diikutin, seperti seminar tadi. Sudah les gitar. Masuk dapur tiap hari. Sudah nonton Mario teguh sampe bosen.  Supaya bisa beralih fokus dari Kurung. Tapi Alan Turing tadi, lagi lagi mengingatkan pada jodoh kita...., yang waktu itu masih Kurung.

Alan Turing saja, menemukan jodohnya. Kenapa kita nggak?

Lalu lama tak ada jawaban...... alam bawah sadar Karin belum bisa jawab.

“Permissiiiii numpang lewat tanteeee”

Didot tiba tiba dipangkukan ke perut Karin. Melodrama Karin buyar

“Didooot... tante belom manddiiii. Banyak kumaaan”

Bang Boim urung meluncurkan Didot di perut Karin, langsung dilayangkan lagi kepelukannya.

“Hiii, tante joroook”

Karin tak bergeming. Masih dengan posisi telungkup di karpet.

“Kamu knapa sih dek?” Tanya bang Bimo sambil mencolek tubuh Karin pake kaki.

“Jangan ganggu bang. Senggol bacok....”

“Hahaha. Misis lebay! Kawin sana biar punya anak yang diajak maen”

Jleb. Jleb. Jleb

Hati Karin bagaikan luka yang dikasih air jeruk nipis dicampur cuka dan garam. Perih sampe ubun ubun

“Abaaaang!”

***

Bip

Untuk ukuran satu setengah bulan ke belakang, notifikasi BBM menjadi hal yang tidak lazim terjadi di ponsel Karin.

Kali ini Karin yakin, notifikasi BBM nya baru saja berbunyi

Ia mencari cari sumber suara itu. Ponselnya memang sering raib sejak benda itu tiba tiba ga terlalu berfungsi lagi. Kecuali saat naek vespa buat dengerin mp3.

Ia menemukan ponsel nya dibalik bantal, di ujung tempat tidur.

Tanda pesan baru dari nama yang tidak pernah ia duga sama sekali.

Heh. Kamu dmana? Aku udah di Indonesia! Nanti sore ditempat biasa ya? HARUS BISA

 

                                                                                                                                                                Bersambung.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun