Aku melongo.
"Setiap kamu merasa terluka, itu pertanda aku harus berada di dekatmu." Ia berbalik dan menatapku. "Aku tahu ada bahaya mengancammu, maka aku mengikutimu ke restoran. Buktinya, Devito memendam niat busuk. Kamu sakit hati ketika ia berniat menjualmu, maka kuhabisi nyawanya."
"Dastan?"
"Kamu lihat sendiri."Â
Ia berbalik. Menatapku beberapa saat. "Dulu aku melakukan kesalahan fatal. Aku keliru mencabut nyawa. Di dalam Kitab Kematian tertulis Dirga Baskara, seorang anggota Dewan Rakyat. Hari itu ayahmu ikut dengar pendapat di Gedung Dewan Rakyat, sementara calon korbanku mangkir rapat. Aku baru tahu kesalahanku saat Pimpinan Dewan Petinggi menegurku."
"Aku tidak mengerti bagaimana bisa kamu keliru mencabut nyawa manusia."
"Hanya Pemimpin Dewan Petinggi yang tidak pernah keliru."
Aku mendengus. "Kekeliruanmu menyebabkan kematian ayahku!"
"Aku tahu itu," ujarnya pelan, "aku mendatangi ayahmu di Ranah Arwah. Ayahmu minta kompensasi. Aku harus melindungimu, Mehrin!"
Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba aku melompati meja kaca, menerjang Si Lonceng Kematian, memukuli punggungnya, tetapi aku merasa hanya memukul angin.
"Kembalikan ayahku!"