Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lelaki-lelaki yang Mencintai Alzena Mehrin

21 Agustus 2018   17:04 Diperbarui: 14 Mei 2019   22:56 1171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: vemale.com

Lelaki pertama yang kusuka adalah seorang lelaki meteroseksual. Ia persis ayah: perlente, tahu gaya, dan pintar merawat diri. Meskipun tidak sepenyayang ayah, setidaknya ia menyayangiku.

Damon tewas. Televisi ramai mengabarkan kematiannya yang tiba-tiba. Ia tewas di salon favoritnya. Urat lehernya putus ketika tukang cukur merapikan janggutnya. Para pengamat kriminal sibuk menduga-duga. Ada yang menyangka tukang cukur tidak sengaja, ada yang menduga kematian itu sudah dirancang oleh musuh bisnis Damon.

Ia lelaki pertama yang membuatku jatuh hati. Benar-benar jatuh hati sampai-sampai kurasa lebih baik mati daripada ditinggalkan olehnya. Aku terakhir bertemu dengannya saat usiaku masih sepuluh tahun dan baru bertemu lagi sebulan menjelang ulang tahunku yang ke-17.

Kala ayah masih hidup, ia masih bujangan. Dan, tetap bujangan setelah ayah tiada. Ia rekan bisnis ayah. Ia punya tiga perusahaan kapal tanker pengangkut minyak mentah. Seperti ayah, ia juga sering disorot media karena termasuk dalam jajaran 50 orang terkaya di negaraku.

Beberapa hari sebelum kematian ayah, ia pindah ke Jerman karena diburu-buru oleh alat negara. Kabarnya, ia kerap menunggak pajak. Setelah cuaca politik berubah, ia kembali ke tanah air. Rumah pertama yang dikunjunginya di kotaku adalah rumahku. Aku terharu ketika ia berkata ikut berduka atas kematian ayah dan prihatin atas kepergian ibu.

Aku mencintai ibu, selalu ingin di dekat beliau, selalu berharap ada tempat mengadu ketika hatiku risau, dan ada tempat bertanya tentang apa yang mesti dilakukan oleh seorang gadis belia ketika menstruasi pertamanya tiba, tetapi Ibu tidak mau merawatku.

Hati beliau selalu tersayat-sayat setiap melihatku. Kata Ibu, ada mata ayah di mataku. Ada bibir ayah di bibirku. Ada dagu ayah di daguku. Melihatku seperti melihat ayah. Mendengar suaraku persis mendengar suara ayah. Ibu tidak kuat.

Sebulan setelah kematian ayah, Ibu pindah ke kota lain, sementara aku dibiarkan tetap di rumah besar ini, di kota tempat ayah lahir dan mati. Ibu percaya bahwa Paman Codet, tukang kebun sekaligus supir ayah, dan istrinya--yang sudah lama bersama keluarga kami--sanggup mengasuhku hingga dewasa. Itu terjadi ketika usiaku menjelang sepuluh tahun.

Aku tidak tahu Ibu pindah ke mana. Paman Codet juga tidak tahu. Teman-teman ayah, para wartawan yang dulu sering nongkrong di rumah, juga tidak tahu. Meski begitu, aku tidak pernah membenci Ibu.

Ketika merayakan ulang tahun ke-17, Damon mengecup keningku di depan teman-teman sekolahku. Lembut sekali. Ia lelaki kedua setelah ayah yang mencium keningku. Teman-temanku bersorak. Selain rupawan, tubuhnya tegap. Dandanannya trendi.

Dadaku bergetar aneh bahkan hingga beberapa hari setelah ia mencium keningku. Aku tidak pernah jatuh cinta. Tidak seperti teman-teman perempuanku yang gonta-ganti pacar sesering mengedipkan mata. Bagiku, laki-laki seusiaku hanya ingin memoroti hartaku.

Setahun setelah mencium keningku, Damon mencium bibirku. Ia lelaki pertama yang memagut bibirku. Hanya kami berdua di balkon di depan kamarku. Ia meminta sesuatu dariku yang sangat kujaga, tentu saja kutampik keras-keras. Aku meraung-raung ketika ia main paksa. Paman Codet hampir menghabisinya andai kata pengasuhku itu tidak kucegah.

Tetapi, aku menyesal telah mengusirnya. Keesokan harinya, Paman Codet mengantarku ke rumahnya. Gerbang dan pintu rumahnya tidak terkunci. Ia tidur lelap di sofa, di ruang tamu, tanpa sehelai benang pun, berpelukan dengan perempuan seksi yang sering kulihat di layar teve.

Ia tersentak ketika mendengar pas bunga berdebum dan pecah berkeping-keping di lantai. Ia masih mengucek-ucek mata ketika aku berlari ke luar bersama cucur air mata. Ia mengejarku dengan kemeja dililitkan seadanya di pinggang, tetapi Paman Codet sudah melajukan mobil.

Aku merutuk di mobil. Kusumpahi dia agar kemaluannya membusuk. Ia sempat meneleponku, tapi kuabaikan. Ia mengirim pesan, tidak kuhiraukan. Menjelang senja, ketika mataku masih berlinang air mata, televisi mengabarkan kematian Damon.

Aku suka makanan lezat. Itu alasan mengapa hatiku terjatuh lagi. Seorang koki yang sering masuk televisi adalah lelaki yang amat tepat.

Semenjak kematian Damon, kututup hatiku rapat-rapat. Harta warisan ayah jelas-jelas memikat minat banyak lelaki. Wajah jelitaku menawan banyak hati. Tetapi aku tidak mau terluka dua kali. Apa artinya cinta jika akhirnya dicucuk-cucuk duri.

Dua tahun setelah kematian Damon, aku menyibukkan diri di perusahaan. Seminggu sekali kuhibur diri dengan makan-makan di restoran termasyhur di kotaku. Kokinya amat tenar. Pernah memenangi kompetisi internasional. Namanya Devito. Nama yang sangat laki-laki. Sebagai sosialita yang cukup disegani, mudah bagiku memesan tempat dan makanan kesukaan di restorannya.

Aku suka matanya. Seteduh mata ayah. Itu sebabnya aku selalu berdandan rapi sebelum bertandang ke restorannya. Aku cukup bangga dengan penampilanku sendiri. Sebuah lembaga riset pernah meneliti tentang perempuan lajang, muda, dan cantik di kotaku. Hanya tiga persen dari dua puluh persen perempuan itu yang tajir. Aku termasuk di antara yang tiga persen itu.

Tidak banyak yang tahu mengapa aku menutup diri dari lelaki. Paling-paling Paman Codet dan istrinya. Minggu lalu, ketika kurayakan ulang tahunku yang ke-20, Devito mempertanyakan kesendirianku.

"Terkenal, kaya, cantik, tapi sendirian."

"Ada banyak hal selain cinta yang penting kupikirkan."

"Mustahil kamu terus sendirian."

Aku tersenyum. "Sudah sepuluh tahun aku menyendiri. Masih hidup hingga saat ini. Dan, aku baik-baik saja."

"Banyak lelaki yang jatuh hati kepadamu."

"Aku tahu."

"Kenapa kamu tolak?"

Kujawab seadanya, tanpa basa-basi, tanpa bermaksud menutupi apa pun. Tetapi aku tidak mengungkap betapa menderitanya aku sepeninggal Damon, bahkan tidak mengatakan apa pun tentang Damon. Aku hanya menandaskan bahwa lelaki hanya mengincar hartaku.

Ia membantahku. "Kamu terlalu merecehkan lelaki. Tuduhanmu tidak berdasar."

"Faktanya memang begitu!"

Ia menatapku lembut sekali, seakan-akan ingin memastikan bahwa aku tidak berdusta. Seperti orang lain di kotaku, ia tahu kisah tragis keluargaku. Tetapi, seperti orang lain di kotaku, ia tidak tahu apa-apa tentang perasaanku.

Belakangan ini ia sering kulihat menguntit ke mana saja aku pergi. Semula kukira ia lelaki penggoda, maka sebilah pisau dapur kuselipkan ke dalam tas.

Aku tidak suka dimata-matai. Tidak peduli oleh perempuan atau laki-laki. Belakangan ini aku sering  melihat Orang Aneh, yang sekarang duduk di pojok kiri restoran dan sesekali tengadah menatapku, mengintil ke mana saja aku pergi.

Maka kuminta Devito menemaniku makan malam, tapi ia sedang menyiapkan masakan untuk tamu istimewa. Semula aku mencak-mencak karena merasa diremehkan olehnya, namun hatiku leleh ketika ia datang bersama pramusaji dengan masakan khusus untukku.

"Silakan dinikmati," katanya seraya menjura.

"Aku belum memesan apa-apa."

"Ini masakan istimewa. Fettuccine alfredo. Khusus untuk merayakan ulang tahunmu."

Aku terkesima. "Sudah lewat."

"Anggap saja hari ini."

"Duduklah," ujarku, "Aku ingin ditemani."

Harus kuakui bahwa fettuccine alfredo masakan Devito mengembalikan seleraku. Aku makin cinta pada masakannya. Dan, hampir tidak percaya mendengar Devito menyatakan cintanya kepadaku. Aku tidak menjawab apa-apa hingga Paman Codet membukakan pintu mobil.

Sejak makan malam dan pernyataan cinta Devito, aku tidak pernah lagi melihat Orang Aneh itu. Seminggu berlalu. Kali ini aku sengaja datang lebih cepat ke restoran Devito. Aku senang karena Orang Aneh itu tidak muncul.

Aku suka kejujuran Devito. Itu sebabnya kuterima cintanya. Lelaki lain mungkin sudah menepuk dada, bercerita dengan mulut berbusa-busa, membesar-besarkan apa yang mereka punya atau apa yang pernah mereka lakukan. Devito tidak, padahal ia koki ternama.

Malam hari sepulang dari restoran Devito, Orang Aneh memasuki mimpiku. Hanya selintas karena aku terjaga dengan keringat mencicik. Begitu tertidur, ia muncul lagi. Kadang sangat laki-laki, kadang persis perempuan. Kadang menenangkan, kadang mengerikan.

Aku tidak mau tidur lagi. Aku takut bermimpi.

Pukul sebelas siang Devito mengirim pesan. Kamu ke rumahku. Tidak lama kemudian, pesan kedua muncul. Kamu harus melayani klienku, seorang politisi dengan karier sedang cemerlang. Aku tidak menjawab. Sehuruf pun, sekata pun.

Jantungku seperti beduk dipukul berkali-kali. Perih sekali. Kukira ia mencintaiku, ternyata ia cuma ingin menjual tubuhku. Pesannya tidak kubalas. Teleponnya kutolak. Nomornya kublokir. Aku ingin mencintai, bukan menjual tubuh.

Kutinggalkan kasur dan berdiri di balkon. Tiba-tiba aku ingin mati. Tiba-tiba ingin kuakhiri hidupku dengan melompat dari balkon di lantai dua rumahku.

Sore ini, di balkon, mendadak aku merindukan kematian. Tetapi Tuhan selalu menghilang ketika kubutuhkan.

Angin lembut berdesau di tengkukku. Sontak aku menoleh. Orang Aneh berdiri tegak di depanku. Aku menengok ke pintu, terperangah karena pintu tertutup rapat dan masih terkunci.

"Bagaimana caramu memasuki kamarku?" Aku memekik. "Kamu siapa?"

"Pelindungmu!"

Jawabannya menyesatkan. "Aku tidak butuh perlindungan!"

"Percuma kamu bunuh diri."

"Kamu tahu dari mana?"

"Matamu!"

Bulu romaku merinding. "Siapa namamu?"

"Lonceng."

Aku nyaris tak percaya pada telingaku. "Jangan bercanda. Aku bisa berteriak 'maling' dan Paman Codet akan menyerbu ke kamarku, menangkapmu, dan kamu akan meringkuk di bui."

"Teriak saja," ujarnya dengan suara dingin dan kaku. "Yang pasti, sekalipun kamu melompat ke bawah, kamu tidak akan mati sore ini."

Seminggu berlalu. Tiada secuil kabar dari koki tersayang. Sepertinya ia marah karena keinginannya tidak kuturuti. Tidak apa-apa. Lebih baik hidup tanpa lelaki daripada dicintai lelaki pedagang perempuan. Menjelang magrib, Orang Aneh itu mendadak duduk di sisiku. Lelakimu mati, katanya pelan.

Tanganku seperti menggenggam batu es. Dingin sekali. Kabar kematian si koki memenuhi televisi. Devito membenamkan kepala ke dalam penggorengan berisi minyak mendidih. Si Lonceng masih di sisiku tanpa berkata apa-apa.

"Kamu membunuhnya?"

Ia menggeleng. "Ia menyakitimu."

"Tidak harus dibunuh."

"Sudah ajalnya."

Darahku menggelegak. "Aku bisa hidup tanpa Devito. Aku memang marah kepadanya, bukan berarti aku ingin ia mati!"

"Aku hanya menjalankan tugas."

"Akan kulaporkan perbuatanmu ke polisi."

"Lakukanlah!" Ia berdiri sambil merapikan dasi. "Datanglah ke kantor polisi dan ceritakan semuanya. 'Devito tidak bunuh diri, pembunuhnya bernama Lonceng'. Alih-alih percaya, Pak Polisi akan membawamu ke rumah sakit jiwa."

Dua tahun kemudian, aku jatuh cinta lagi. Kali ini seorang desainer terkemuka. Rancangannya sering dipakai artis-artis ternama. Tujuh gaun indah melunakkan pikiranku. Gadis sepertiku butuh pakaian mewah dan mahal. Maka, kurelakan bibirnya melumat bibirku.

Aku memang mengagumi rancangan Dastan, desainer berkelas, aku bahkan sering memesan gaun khusus kepadanya. Kemarin, dalam kencan kilat yang liar, ia nyatakan cintanya kepadaku lewat tujuh gaun berwarna pastel. Sore ini ia memintaku ke studionya.

Dastan menyambutku dengan pelukan yang hampir meretakkan tulang punggungku. Ia angkat tubuhku ke atas meja dan segera melumat bibirku. Ketika pagutan bibirnya lepas, ia mengisap rokok mentolnya. Sedetik kemudian, rokok berpindah ke bibirku.

Aku tersedak, tetapi aku bahagia melihat Dastan tertawa girang. Setelah rokok kuselipkan di jemariku, ia kembali memelukku. Rokok di sela jari kiriku terjatuh dan menimpa gaun pengantin. Sengit kain terbakar menghentikan ciumannya.

"Bangsat!" Tangan kanannya terayun. "Sejam lagi gaun ini akan diambil klien. Kamu pikir gaun ini mudah diperbaiki?"

Aku meloncat dari meja. "Kau yang memberiku rokok, memaksaku mengisapnya, dan gara-gara pelukan eratmu rokok itu terjatuh ke gaun. Apa salahku?"

Ia menggeram. Matanya seolah-olah hendak meloncat dari pelupuknya.

"Katakan berapa ganti rugi yang kamu minta!"

Tangannya melayang lagi. Pori-pori mukaku berdenyar. Panas sekali. Tiba-tiba tubuhnya terjengkang. Kulihat tubuhnya seperti bola basket terlontar-lontar ke sana-sini. Menabrak tembok. Geradak-geruduk di lantai. Mataku nanar. Gelap gulita.

Segelas jus apel mengembalikan ketenanganku. Ia duduk di depanku. Matanya memendam banyak rahasia, mataku memancarkan banyak pertanyaan.

"Lelaki mana pun yang menyakitimu akan kubunuh," katanya tanpa getar rasa bersalah.

"Kenapa?"

"Karena aku Lonceng."

"Kamu pernah mengatakannya."

Ia tengadah. "Tugasku adalah mencabut nyawa manusia. Itu sebabnya aku dinamai Lonceng. Lonceng Kematian. Tiap kematian lelaki yang menyakitimu akan memperpanjang usiamu." Ia diam sejenak, berjalan ke jendela. "Seharusnya kamu sudah mati. Tetapi perintah untuk mencabut nyawamu kuabaikan. Aku menangguhkan kematianmu."

"Kapan?"

"Di sini, di balkon ini, ketika Damon hendak memerkosamu. Seharusnya payudaramu ditusuk belati dan disobek hingga paru-parumu rengkah. Aku mengubah takdirmu. Kubawa Paman Codet ke balkon hingga Damon tidak sempat menikammu."

Aku melongo.

"Setiap kamu merasa terluka, itu pertanda aku harus berada di dekatmu." Ia berbalik dan menatapku. "Aku tahu ada bahaya mengancammu, maka aku mengikutimu ke restoran. Buktinya, Devito memendam niat busuk. Kamu sakit hati ketika ia berniat menjualmu, maka kuhabisi nyawanya."

"Dastan?"

"Kamu lihat sendiri." 

Ia berbalik. Menatapku beberapa saat. "Dulu aku melakukan kesalahan fatal. Aku keliru mencabut nyawa. Di dalam Kitab Kematian tertulis Dirga Baskara, seorang anggota Dewan Rakyat. Hari itu ayahmu ikut dengar pendapat di Gedung Dewan Rakyat, sementara calon korbanku mangkir rapat. Aku baru tahu kesalahanku saat Pimpinan Dewan Petinggi menegurku."

"Aku tidak mengerti bagaimana bisa kamu keliru mencabut nyawa manusia."

"Hanya Pemimpin Dewan Petinggi yang tidak pernah keliru."

Aku mendengus. "Kekeliruanmu menyebabkan kematian ayahku!"

"Aku tahu itu," ujarnya pelan, "aku mendatangi ayahmu di Ranah Arwah. Ayahmu minta kompensasi. Aku harus melindungimu, Mehrin!"

Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba aku melompati meja kaca, menerjang Si Lonceng Kematian, memukuli punggungnya, tetapi aku merasa hanya memukul angin.

"Kembalikan ayahku!"

Pundaknya bergerak-gerak. Persis ayahku setiap menyembunyikan tangis dariku.

Aku berdiri, ingin menarik pundaknya. Biar ia melihat luka di mataku. Namun aku tak sanggup bergerak, apalagi berdiri. Baru kali ini ia mengumbar banyak kata. Dan, baru kali ini pula aku kehilangan kata-kata.

Amel Widya

Catatan: Cerpen ini saya adaptasi dari puisi saya, Kematian yang Membingungkan (Kumpulan Puisi Beranda Berahi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun