"Sudah ajalnya."
Darahku menggelegak. "Aku bisa hidup tanpa Devito. Aku memang marah kepadanya, bukan berarti aku ingin ia mati!"
"Aku hanya menjalankan tugas."
"Akan kulaporkan perbuatanmu ke polisi."
"Lakukanlah!" Ia berdiri sambil merapikan dasi. "Datanglah ke kantor polisi dan ceritakan semuanya. 'Devito tidak bunuh diri, pembunuhnya bernama Lonceng'. Alih-alih percaya, Pak Polisi akan membawamu ke rumah sakit jiwa."
Dua tahun kemudian, aku jatuh cinta lagi. Kali ini seorang desainer terkemuka. Rancangannya sering dipakai artis-artis ternama. Tujuh gaun indah melunakkan pikiranku. Gadis sepertiku butuh pakaian mewah dan mahal. Maka, kurelakan bibirnya melumat bibirku.
Aku memang mengagumi rancangan Dastan, desainer berkelas, aku bahkan sering memesan gaun khusus kepadanya. Kemarin, dalam kencan kilat yang liar, ia nyatakan cintanya kepadaku lewat tujuh gaun berwarna pastel. Sore ini ia memintaku ke studionya.
Dastan menyambutku dengan pelukan yang hampir meretakkan tulang punggungku. Ia angkat tubuhku ke atas meja dan segera melumat bibirku. Ketika pagutan bibirnya lepas, ia mengisap rokok mentolnya. Sedetik kemudian, rokok berpindah ke bibirku.
Aku tersedak, tetapi aku bahagia melihat Dastan tertawa girang. Setelah rokok kuselipkan di jemariku, ia kembali memelukku. Rokok di sela jari kiriku terjatuh dan menimpa gaun pengantin. Sengit kain terbakar menghentikan ciumannya.
"Bangsat!" Tangan kanannya terayun. "Sejam lagi gaun ini akan diambil klien. Kamu pikir gaun ini mudah diperbaiki?"
Aku meloncat dari meja. "Kau yang memberiku rokok, memaksaku mengisapnya, dan gara-gara pelukan eratmu rokok itu terjatuh ke gaun. Apa salahku?"