Malam hari sepulang dari restoran Devito, Orang Aneh memasuki mimpiku. Hanya selintas karena aku terjaga dengan keringat mencicik. Begitu tertidur, ia muncul lagi. Kadang sangat laki-laki, kadang persis perempuan. Kadang menenangkan, kadang mengerikan.
Aku tidak mau tidur lagi. Aku takut bermimpi.
Pukul sebelas siang Devito mengirim pesan. Kamu ke rumahku. Tidak lama kemudian, pesan kedua muncul. Kamu harus melayani klienku, seorang politisi dengan karier sedang cemerlang. Aku tidak menjawab. Sehuruf pun, sekata pun.
Jantungku seperti beduk dipukul berkali-kali. Perih sekali. Kukira ia mencintaiku, ternyata ia cuma ingin menjual tubuhku. Pesannya tidak kubalas. Teleponnya kutolak. Nomornya kublokir. Aku ingin mencintai, bukan menjual tubuh.
Kutinggalkan kasur dan berdiri di balkon. Tiba-tiba aku ingin mati. Tiba-tiba ingin kuakhiri hidupku dengan melompat dari balkon di lantai dua rumahku.
Sore ini, di balkon, mendadak aku merindukan kematian. Tetapi Tuhan selalu menghilang ketika kubutuhkan.
Angin lembut berdesau di tengkukku. Sontak aku menoleh. Orang Aneh berdiri tegak di depanku. Aku menengok ke pintu, terperangah karena pintu tertutup rapat dan masih terkunci.
"Bagaimana caramu memasuki kamarku?" Aku memekik. "Kamu siapa?"
"Pelindungmu!"
Jawabannya menyesatkan. "Aku tidak butuh perlindungan!"
"Percuma kamu bunuh diri."