"Kamu tahu dari mana?"
"Matamu!"
Bulu romaku merinding. "Siapa namamu?"
"Lonceng."
Aku nyaris tak percaya pada telingaku. "Jangan bercanda. Aku bisa berteriak 'maling' dan Paman Codet akan menyerbu ke kamarku, menangkapmu, dan kamu akan meringkuk di bui."
"Teriak saja," ujarnya dengan suara dingin dan kaku. "Yang pasti, sekalipun kamu melompat ke bawah, kamu tidak akan mati sore ini."
Seminggu berlalu. Tiada secuil kabar dari koki tersayang. Sepertinya ia marah karena keinginannya tidak kuturuti. Tidak apa-apa. Lebih baik hidup tanpa lelaki daripada dicintai lelaki pedagang perempuan. Menjelang magrib, Orang Aneh itu mendadak duduk di sisiku. Lelakimu mati, katanya pelan.
Tanganku seperti menggenggam batu es. Dingin sekali. Kabar kematian si koki memenuhi televisi. Devito membenamkan kepala ke dalam penggorengan berisi minyak mendidih. Si Lonceng masih di sisiku tanpa berkata apa-apa.
"Kamu membunuhnya?"
Ia menggeleng. "Ia menyakitimu."
"Tidak harus dibunuh."