Mohon tunggu...
Amadhea Rahma
Amadhea Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

8 Maret 2023   00:31 Diperbarui: 23 Maret 2023   21:29 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

            Rujuk adalah suatu perbuatan yang tidak dapat lepas dari masa iddah. Rujuk diartikan dengan kembali bersatunya hubungan perkawinan yang telah bercerai dimana itu terjadi masih dalam masa tempo iddah. Ini jelas diatur pada Kompilasi Hukum Islam pasal 163. rujuk berlaku bagi perceraian yang disebabkan karena alasan-alasan cerai pada umumnya, hanya rujuk tidak berlaku untuk alasan li'an dan khuluk. 

Untuk rujuk ini tidak dapat dilakukan salah satu pihak, melainkan membutuhkan persetujuan kedua belah pihak baik suami atau istri untuk ditanya kesediaannya rujuk kembali. Rujuk yang hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja tanpa sepengetahuan pihak yang lain, maka ini dianggap tidak sah.

            Hal yang menjadikan perbedaan antara syariah islam dan hukum perkawinan Islam di Indonesia adalah didalam syariah islam itu tidak dikenal upaya hukum selanjutnya. Ketika talak, rujuk, dan perceraian itu telah diputuskan maka itu sudah menjadi sebuah keputusan. 

Dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia putusan sebuah hakim dipengadilan masih dapat dilakukan upaya hukum selanjutnya seperti misalnya banding dan kasasi terhadap perceraian. Ini menimbulkan perubahan peta pemahaman talak secara syariah islam. Talak merupakan hak suami terhadap istrinya, dan ini jelas tergambar didalam ayat suci Al-Qur'an. Ketika talak itu dipraktekan di Indonesia maka hak talak itu menjadi diserahkan kepada hakim, mengingat hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara perceraian. Walaupun seperti itu, tentunya ada maslahat yang terjawab ketika perceraian itu diserahkan kepada hakim.

            Sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 163 ayat (1) yang berbunyi : seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah. Iddah diartikan dengan masa menunggu dari istri setelah ditinggal oleh suami baik karena kematian atau perceraian. Masa menunggu (iddah) ini bila dipahami lebih ternyata memberikan banyak manfaat. Ahmat Sarwat menggambarkan beberapa manfaat iddah seorang wanita ketika ia baru saja ditinggalkan suami :

Ini merupakan masa waktu untuk merenungkan kembali apakah talak itu merupakan solusi atau jalan terakhir terhadap permasalahan bila menghadapi perceraian. Jika perceraian masih dapat ditangguhkan maka, selama masa iddah itu suami dapat mengajukan rujuk.

  • Untuk mencari tahu kepastian bila ada kehamilan pada istri yang dicerai atau ditinggal mati suaminya. Bila diketahui hamil, maka akan diketahui siapa nasab dari bayi yang dikandungnya.
  • Bila istri ditinggal mati oleh suaminya, masa iddah ini memberikan kesempatan bagi istri untuk ikut serta berempati dengan keluarga dari suami yang ditinggalkan.
  • Iddah diatur jelas didalam ayat suci Al-Qur'an. Dari semua yang ada pada Al-Qur'an, iddah dapat dikategorikan menjadi 5 macam masa iddah yang dapat dilalui oleh seorang istri. Iddah itu terbagi antara lain :
  • Iddah bagi istri yang ditalak dan menjalani iddah dalam 3 kali masa haid. Ini terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 228 dimana dikatakan bahwa wanita yang ditalak hendaklah menahan diri 3 kali quru'. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada bayi dalam kandungan rahim si wanita.
  • Iddah bagi istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu didalam Surat Al-Baqarah ayat 234 yang menjelaskan bahwa masa iddah tersebut selama 4 bulan 10 hari.
  • Iddah bagi istri yang sedang hamil, yaitu mempunyai masa tunggu hingga ia melahirkan anak yang dikandungnya. Hal ini terdapat didalam surat At-Thalaq ayat 4 yang menjelaskan sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya.
  • Iddah bagi istri yang tidak haid lagi (monopause). Masa iddah bagi istri yang tidak haid lagi selama tiga bulan. Hal ini tertera didalam surat At-Thalaq ayat 4.
  • Masa iddah bagi seorang istri yang belum dicampuri. Maka ia tidak memiliki masa iddah yang berlaku baginya. Hal ini diatur didalam pada Q.S Al-Ahzab ayat 49

Hadhonah dan Akibat Hukumnya

  • Anak Bagian dari tujuan perkawinan

            Dalam membentuk keluarga hak asuh anak adalah hak yang timbul akibat permohonan perceraian antara suami dan istri berdasarkan putusan pengadilan. Hak asuh ini bisa terjadi jika antara pasangan suami isteri yang bercerai itu memiliki anak baik anak kandung ataupun anak yang diangkat didalam perkawinan. Hak asuh terhadap anak bisa dilaksanakan bila usia anak masih memerlukan pemeliharaan (belum mumayyiz) atau masih dibawah umur. Dasar untuk dapat melakukan permohonan hak asuh terhadap anak adalah pasangan yang bercerai ini sebelumnya terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dan dicatatkan pada negara.

            Kebaradaan seorang anak dipandang sebagai tujuan perkawinan jika melihat pada konteks pengertian tentang perkawinan. Hal ini dirunut dari pengertian secara normatifnya (keluarga bahagia) dan pengertian berdasarkan agama Islam (sakinah,mawadah, dan rahmah).

            Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk suatu keluarga. Jika melihat pada sisi kuantitatif, maka tujuan perkawinan dalam arti pembentukan keluarga telah tercapai sesuai dengan harapan pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Tetapi bila mengacu pada tujuan untuk kekal dalam perkawinan, hal ini belum tentu dapat tercapai sama sekali. Maksud ini menjadi jelas karena terbukti didalam perkawinan masih banyak terjadi perceraian

  • Perceraian Menyebabkan Putusnya Hubungan Keluarga

            Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini merupakan syarat sah secara formal agar perkawinan yang dilakukan dapat diakui oleh Negara. Perkawinan yang sah tidak dapat diputus dengan semena-mena begitu saja oleh pasangan suami istri. Pasangan suami istri yang ingin memutus perkawinan (ontbidning des huwelijks) harus melalui cara yang legal sebagai mana mereka melegalkan perkawinannya berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

            Prinsip dalam hukum perkawinan sebagaimana dijelaskan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian merupakan wujud gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Perceraian dapat terjadi karena ada kegagalan dalam membangun keluarga ataupun permasalahan didalam perkawinan akibat dari perbuatan manusia itu sendiri

  • Timbulnya Hak Asuh Anak

            Mengasuh anak adalah kewajiban bagi orang tua. Mengasuh diwajibkan dengan tujuan untuk dapat memelihara, mendidik, membesarkan, dan mensejahterakan anak hingga sang anak dapat tumbuh dewasa. Kewajiban ini jelas diatur pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Disebutkan bahwa orang tua itu wajib untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaikbaiknya. Pemeliharaan anak dilakukan sampai anak dapat menjadi mandiri atau telah menikah.

Pemeliharaan anak tetap berlaku terus, meskipun kedua orang tua anak telah bercerai.

            Hal ini sebagaimana dijelaskan didalam Undang-Undang bahwa kewajiban orang tua adalah untuk memelihara dan mendidik anak dengan maksud untuk menjaga kepentingan anak terhadap kasih sayang orang tua. Pemeliharaan anak adalah kewajiban orang tua, tetapi untuk penguasaan anak harus mengikuti salah satu dari orang tuanya baik ayah ataupun ibunya. Penguasaan anak bukan merupakan permasalahan jika masing-masing orang tua merelakannya untuk diasuh bersama, tetapi bila timbul perselisihan maka pengadilan yang memutuskan untuk penguasaan anak.

            Penguasaan anak ini berkaitan dengan hak asuh terhadap anak akibat perceraian. Secara tegas hak asuh merupakan akibat hukum yang timbul karena rangkaian dengan perkawinan. Hak asuh anak merupakan permasalahan yang belum diatur secara luas dan merinci, bahkan dalam peraturan pelaksanaan No. 9 Tahun 1975 belum secara rinci mengaturnya. Oleh karena itu perselisihan hak asuh anak ini menjadi perselisihan yang harus diputus melalui pengadilan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 41 menjelaskan bahwa akibat dari putusnya perkawinan, baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak.

            Pada konteks ini, bapaklah yang bertanggung jawab atas semua biaya yang diperlukan oleh anak untuk memelihara dan mendidik. Tetapi bilamana bapak tidak dapat memberikan biaya, maka pengadilan dapat menentukan lain untuk memikulnya. Pemeliharaan anak ini diwajibkan didalam Undang-Undang dengan parameter bahwa anak itu telah kawin atau dapat berdiri sendiri. Dijelaskan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 45 ayat (2) yang berbunyi: kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

            Hak asuh sendiri sebenarnya timbul dari kewajiban mengasuh atau pemeiiharaan anak. Memelihara anak dalam bahas arab disebut dengan hadhanah yang secara bahasa berarti adalah gabungan kata anak dan pelihara. Jadi pengertian hadhanah adalah perbuatan yang wajib dilaksanakan meliputi pengawasan, pelayanan baik itu kesehatan jasmani dan rohani, kasih sayang orang tua, mendapatkan kebutuhan hidup, dan mendapatkan nafkah. 

Selain itu dalam hadhanah, seorang anak berhak untuk mendapatkan Pendidikan hingga ia kawin dan mampu berdiri sendiri. KHI menjelaskan tentang konsep hadhanah dikemukakan pada pasal 106 bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan untuk memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak atau untuk kemaslahatan si anak. Apabila timbul kerugian akibat kesalahan dan kelalaian, maka tanggung jawab akan ditanggungkan kepada orang tua.

            Tujuan dari pemeliharaan adalah jangan sampai seorang anak itu nanti menjadi hidup terlantar dan sia-sia. Mengingat sifat dari pemeliharaan adalah terus menerus hingga ia kawin atau dewasa, maka ketika terjadi perceraian oleh kedua orang tuanya harus ada yang mendapatkan hak pemeliharaan atas anaknya (hak hadhanah).

            Masa berlakunya hak hadhanah ini berakhir apabila anak sudah tidak lagi memerlukan pelayanan. Maksudnya ia telah dewasa dan dapat berdiri sendiri. Secara parameter berakhirnya tidak ditentukan secara spesifik mengenai waktu berakhirnya. 

Hanya diberikan batasan umur untuk ukuran yang ditujukan kepada si anak. Jika anak telah memenuhi ketentuan usia atau telah dapat berdiri sendiri secara kehidupan maka masa hadhanah telah selesai. Secara tersurat telah disebutkan pada pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menjelaskan bahwa kewajiban orang tua dalam mendidik dan memelihara anak berlaku hingga si anak kawin atau berdiri sendiri

Perkawinan Beda Agama

            Kajian terhadap perkawinan beda agama ini akan selalu menjadi kajian yang menimbulkan perbedaan pendapat baik itu dari sikap para pemeluk agama, masyarakat pelaku kawin beda agama dan negara sebagai pemerintah. 

Sebelum mengkaji lebih dalam mengenai perkawinan beda agama, penulis selalu mengingatkan bahwa dasar kajian ini berdasarkan pada hukum perkawinan di Indonesia. Terhadap bentuk perkawinan beda agama ini penulis akan melihat dari sisi hukum di Indonesia dan sisi hukum Islam dengan merujuk pada beberapa mahzab yang digunakan di Indonesia pemeluk agama masing-masing mempunyai hukum terhadap agamanya dan jika hendak mengawini pemeluk agama lain itu dianggap sebagai perkawinan beda hukum. Perkawinan beda hukum semacam ini dianggap sebagai perkawinan campuran.

Untuk perkawinan agama dengan non muslim itu jelas hukumnya didalam Islam adalah haram. Mengingat non muslim itu bukan termasuk bagi mereka yang ahli kitab. Non muslim dianggap sebagai musyrik atau juga dianggap tidak memiliki agama (kitab suci). Terhadap mereka islam melarang tentang perkawinan bagi pemeluk agama islam kepada mereka yang non muslim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun