Mohon tunggu...
Amadhea Rahma
Amadhea Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

8 Maret 2023   00:31 Diperbarui: 23 Maret 2023   21:29 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tetapi tidak semua yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, ada beberapa harta tertentu yang secara penguasaannya Kembali kepada masing-masing pihak. Hal ini berlaku terhadap harta benda yang sifatnya adalah harta bawaan seperti warisan atau hadiah. Terhadap harta benda semacam ini, penguasaan terhadap harta benda tersebut oleh masing-masing suami atau istri. Terhadap harta bawaan ini, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap benda itu tanpa menunggu persetujuan dari pasangannya.

Harta benda dalam perkawinan yang menjadi harta bersama selamanya akan menjadi miliki bersama, bila terjadi perceraian status harta bersama itu harus dibagi sesuai dengan hak-hak yang dibenarkan. Artinya pembagian harta yang dulunya milik bersama dan harus dibagi akibat putusnya perkawinan dikembalikan pada ketentuan hukum yang berlaku bagi pasangan itu. hukum perkawinan Islam tidak mengutarakan detail terhadap harta bersama didalam perkawinan. Maksudnya adalah hukum Islam tidak menjelaskan mengenai percampuran harta dalam perkawinan ataupun perpisahan terhadap harta perkawinan.

            Secara hukum pengaturan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan diatur mulai dari pasal 85 hingga pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Secara garis besar ketentuan itu mengatur mengenai percampuran harta/ harta bersama baik dari awal perkawinan, tanggung jawab, perbuatan hukum, harta bersama bila istri lebih dari satu, dan mengenai perselisihan

Mengenai harta bersama yaitu ada pendapat yang mengatakan islam tidak mengenal percampuran harta dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa islam mengakui adanya harta bersama.

  • Hukum islam tidak mengenal percampuran harta antara suami dan istri

            Pendapat pertama ini menjelaskan bahwa didalam islam tidak mengenal adanya percampuran harta didalam perkawinan. Hal ini didasari dari tidak adanya ketentuan dari Al-quran, hadis, ataupun kajian fiqih yang menyatakan ini secara jelas.161 Ada 2 ayat suci Al-quran yang mengenai harta perkawinan yang tidak tercampur, hal ini dijelaskan bahwa semua harta baik yang diusahakan laki-laki ataupun wanita adalah bagiannya masing-masing. Merujuk pada firman Allah Q.S An-Nisa ayat 32 dan ayat 39. Bila diuraikan maka asal usul harta suami dan istri didalam perkawinan dapat dibagi menjadi 3 :

  • Harta masing-masing suami dan istri yang sudah dimiliki sebelum mereka kawin. Harta itu bisa karena hibah, wasiat, warisan atau hasil usaha mereka sendiri. Dalam hal ini biasa disebut dengan harta bawaan.
  • Harta masing-masing suami dan istri yang baru dimiliki sesudah mereka kawin, tetapi ini harta ini didapat karena hibah, wasiat atau warisan
  • Harta masing-masing suami dan istri yang dimilki sesudah mereka kawin karena usaha mereka masing-masing maupun bersama-sama. Dalam hal ini biasa disebut dengan harta bersama.

Terhadap masing-masing 3 asal usul harta dalam perkawinan diatas, bila dirincikan kembali maka akan dapat dibagi dalam :

  • Harta pribadi suami yaitu harta suami yang dibawa sejak sebelum perkawinan, dan harta yang diperolehnya karena hadiah atau warisan.
  • Harta pribadi istri yaitu harta suami yang dibawa sejak sebelum perkawinan, dan harta yang diperolehnya karena hadiah atau warisan.
  • Harta suami dan istri

Harta syirkah dari suami dan istri yang diperoleh baik sendiri atau bersama-sama selama ikatan perkawinan tanpa mempersoalkan atas nama siapapun dari masing-masing. Dengan tidak adanya percampuran harta bersama, maka masing-masing secara hukum cakap untuk menguasai sepenuhnya harta kekayaannya.

            Penguasaan terhadap harta kekayaan masing-masing ini tanpa memerlukan persetujuan dari pasangan masing-masing. Suami berhak melakukan apapun terhadap harta bendanya, begitupula istri berhak dan cakap bertindak untuk mengurus harta bendanya. Untuk mengatakan tidak ada percampuran harta, tetapi bukan berarti mereka bertindak secara partial dalam mengurus harta, dalam konteks fiqih perbuatan mereka memerlukan "syirkah" dalam berumah tangga

  • Hukum islam mengakui adanya harta bersama antara suami dan istri.

            Pendapat yang mengatakan bahwa islam mengakui adanya percampuran harta bersama adalah pendapat yang mengikuti peraturan perundang-undangan. Mengingat latar belakang Undang-undang no. 1 tahun 1974 adalah dimotori oleh landasan hukum islam. Dengan demikian apa yang diatur didalam undang-undang no. 1 tahun 1974 khususnya pada pasal 35 hingga pasal 37 sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum islam. Pasal 35 mengatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 

Demi hukum, segala perkawinan yang berlangsung di Indonesia maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama kecuali bila perkawinan itu bubar. Berbeda dengan pemahaman bahwa tidak ada percampuran harta, dalam konteks ini apabila suami istri berkehendak lain maka diperkenankan untuk melakukan perjanjian pisah harta. Artinya pada prinsipnya setiap perkawinan yang dilakukan berdasarkan undang-undang no. 1 tahun 1974 terjadi percampuran harta, tetapi dibuka kesempatan untuk dilakukan pisah harta.

Walaupun tidak diungkapkan secara jelas, pemahaman tentang percampuran harta tergambar di pasal 85 Kompilasi Hukum Islam dengan kata adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Tetapi bila dikaitkan pada pasal selanjutnya pada dasarnya tidak ada percampuran harta dalam perkawinan, hanya saja dibuka kesempatan untuk menyatukan harta. Penulis berpendapat mungkin ketentuan pasal 85 KHI ini untuk mensingkronkan dengan ketentuan harta kekayaan pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 35

 Memperhatikan pendapat yang kedua ini sama halnya dengan ketentuam yang ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal tersebut tercantum didalam pasal 119 KUHPerdata yang menyatakan bahwa "mulai saat perkawinan dilangsungkan, dengan hukum berlakulah persatuan bulan antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. 

Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri". Walaupun sebenarnya ketentuan mengenai perkawinan didalam KUHPerdata ini tidak digunakan lagi sepanjang diatur jelas didalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan

Hukum Walimah

            Walimah adalah sebuah pesta dengan mengumpulkan saudara, teman, kerabat dengan niatan untuk bisa memberikan doa restu ataupun ucapan kesyukuran kepada seseorang. Walimah diambul dari kata al-wa-li-ma-tu yang artinya adalah mengumpulkan.

166 Dalam konteks perkawinan masyarakat biasa menyebut pesta semacam itu dengan nama "walimatul urs". Walimatul urs memiliki perngertian dimasyarakat sebagai sebuah peresmian dari perkawinan dengan tujuan sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada orang-orang bahwa telah terjadi perkawinan yang resmi dan turut sebagai rasa syukur bagi kedua belah pihak mempelai. Walimatul urs ini gabungan dari kata walimah dan urs yaitu secara bahasa diartikan makanan pengantin dan perayaan perkawinan.

            Memahami kata walimah, ulama fiqih klasik tidak membatasi perbuatan walimah itu kepada sebuah perkawinan saja, melainkan walimah jelaskan sebagai sebuah jamuan makan dengan menghidangkan makanan. Seperti misalnya walimah khitan, walimah aqiqah, walimah haul, atau syukuran pada umumnya itu semua dapat diindetikan dengan walimah. Pelaksanaan walimah biasanya dilakukan setelah dilakukan akad perkawinan, tetapi itu kembali dari keinginan mempelai masing-masing. Ulama klasik berpendapat sebaiknya walimatul urs dilakukan setelah akad dilangsungkan saat itu juga

            Pelaksanaan jamuan walimatul ursy ini tidak ada pengaturannya didalam Peraturan perundang-undangan, tetapi ini didasari dari sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim. 

Hadist ini menceritakan bahwa Rasulullah pun memerintahkan untuk diadakan walimah walau dengan 1 ekor kambing sebagaimana hadist itu berbunyi "dari anas bin malik, bahwa Rasulullah SAW telah melihat bekas kekuning-kuningan pada Abdurrahman bin Auf, Rasulullah SAW bertanya, apa ini ? Abdurrahman menjawab : sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang perempuan dengan maskawin seberat satu biji emas. Kemudian Rasulullah bersabda : semoga Allah memberkatimu, adakanlah walimah sekalipun dengan seekor kambing (H.R Bukhori dan Muslim)".

            Terhadap hadist diatas, dapat dipahami bahwa pelaksanaan dari walimatul urs ini yang disampaikan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah anjuran. Anjuran untuk melangsungkan rasa syukur antara mempelai kepada keluarga, tetangga, teman, dan pihak lain dengan maksud untuk menyaksikan serta mendo'akan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun