Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia
      Hukum perkawinan di Indonesia sendiri pada awalnya terjadi pluralisme peraturan tentang perkawinan,1 hal ini bahkan terjadi setelah Indonesia merdeka. Terdapat 5 kategori ketentuan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai masalah perkawinan bagi warga di Indonesia. Kategori itu didasari atas 3 golongan penduduk seperti golongan eropa, golongan timur asing, golongan pribumi yang kemudian dibagi menjadi :
- Hukum perkawinan bagi golongan eropa dan timur asing
- Hukum perkawinan bagi golongan pribumi dan timur asing yang memeluk agama Islam
- Hukum perkawinan bagi golongan pribumi yang memeluk agama kristen
- Hukum perkawinan bagi golongan bukan pemeluk agama Islam maupun kristen
- Hukum perkawinan bagi golongan yang melakukan perkawinan campuran
Terhadap pluralisme hukum diatas, menjadi suatu persoalan bagi masyarakat pribumi yang menuntut adanya perubahan terhadap pengaturan masalah perkawinan. Hal ini penting untuk menjaga agar perilaku asing tidak masuk kepada warga pribumi dan mempengaruhi budaya perkawinan warga pribumi khususnya yang beragama Islam.Â
Singkat cerita, Presiden Republik Indonesia mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan dengan no. R.02/PU/VII/1973 tertanggal 31 Juli tahun 1973 untuk disampaikan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Upaya ini tidak luput karena melihat gerakan masyarakat, yaitu maraknya gerakan dan saran-saran pemikiran oleh masyarakat Indonesia yang peduli pada materi hukum perkawinan yang kebanyakan adalah organisasi Perempuan Islam.
Rancangan Undang-Undang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah ternyata secara garis besar masih mengutip dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgelijk wetbook). Bahkan ada beberapa pasal yang secara jelas rumusanya hanya menterjemahkan dari burgelijk wetbook dan Huwelisk ordonantie christen inlanders.
Itu semua memancing pertentangan dari para ulama dan masyakat Indonesia khususnya umat Islam bahwa RUU itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat (1) tentang kebebasan beragama. Pertentangan didasari atas materi norma pada RUU Â perkawinan yang jauh keluar dari konsep yang ada pada Al-Quran. Materi yang dimaksud secara garis besar adalah tentang norma perkawinan dan waris, perkawinan beda agama, pengaturan mengenai anak angkat, masa iddah bagi perempuan, larangan poligami, dan larangan mengawini saudara.
      Terhadap pertentangan itu, maka diambil beberapa kesimpulan untuk bisa mengakomodir kepentingan umat islam di Indonesia yang isinya terdiri :
- Hukum agama Islam mengenai perkawinan tidak akan diubah atau dikurangi dengan segala sistem pelaksanaannya;
- Norma yang bertentangan dengan kaidah islam dihilangkan;
- Rumusan pasal 2 disetujui dengan bunyinya" Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku"
- Pelaksanaan perkawinan, perceraian, dan poligami harus diatur untuk mencegah tindakan sewenang-wenang
      Pada akhirnya RUU perkawinan dapat disahkan pada 2 Januari 1974 melalui forum paripurna Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan pemerintah Indonesia dengan nama Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara kongkrit Undang-Undang Perkawinan ini baru dapat diterapkan apabila peraturan pelaksanaannya sudah ada. Baru pada tahun 1975 pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan efektif berjalan ketika Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah ada. Sejak adanya peraturan perundang-undangan ini, maka segala ketentuan mengenai perkawinan yang sebelumnya ada menjadi tidak berlaku lagi sepanjang tidak diatur secara khusus.
      Pengaturan hukum perkawinan tidak berhenti pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tetapi persoalan perkawinan diatur juga pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Persoalan perkawinan yang ada pada KHI ini lebih kepada pegangan para hakim di lingkungan Pengadilan Agama.9 Lahirnya KHI ini didorong sebuah kebutuhan teknis yudisial yang dimana Mahkamah Agunng sebagai penanggung jawab peradilan di indonesia. Dengan keberadaan KHI, maka kebutuhan teknis yudisial peradilan agama dapat dipenuhi
      Kompilasi Hukum Islam telah dirancang sejak berdirinya Pengadilan Agama pertama kali pada tahun 1957 yaitu tepatnya sejak dibentuk PP tentang pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah diluar jawa dan madura melalui Peraturan Pemerintah No. 1945 Tahun 1957. Pada PP ini semua hakim dianjurkan untuk menggunakan kitab fiqih yang telah dianjurkan oleh pemerintah sebagai pedoman memeriksa dan memutus perkara.
      Materi yang ada pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) lebih terkait pada persoalan hukum perkawinan, kewarisan, dan hukum perwakafan. Saat ini KHI sering disebut dengan fiqih ala Indonesia yang disusun mengikuti kondisi dan kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia. KHI ini bukan pembentukan mahzab atau aliran baru dalam pemahaman hukum Islam, tetapi ini lebih kepada menyatukan (unifikasi) berbagai mahzab yang ada di Indonesia guna menyatukan persepsi para hakim di Pengadilan Agama. Lahirnya KHI ini secara yuridis diwadahi oleh Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991.