Melihat keadaan anak bungsunya yang tak baik, Mama Azeeya lantas menyuruh Navira untuk keluar dari kamar Azeeya. Beliau pun mengajak putri bungsunya untuk mengobrol. "Azeeya, sini Mama tanya. Azeeya sudah berusaha dengan keras, kan?"
Azeeya mengangguk. Tentu saja ia sudah berusaha semampunya. "Iya, Ma. Azeeya sudah berusaha keras."
"Azeeya sudah berdoa kepada Tuhan untuk dipermudah dalam mengejar impian, kan?" tanya sang ibunda lagi.
"Iya, Azeeya sudah berdoa dan berusaha ... tetapi tetap saja Azeeya gagal, Ma."
Mama Azeeya tersenyum tipis sambil menyentuh pundak Azeeya, kemudian berkata, "Selama ini apa yang kamu pikirkan tentang hasil ujianmu, Zee? Kamu yakin akan lolos atau tidak?"
Pertanyaan itu berhasil membuat Azeeya terdiam. Mama Azeeya menghela napasnya dan melanjutkan kalimatnya, "Zee, dengar kata Mama. Kamu sudah berdoa dan berusaha semaksimal mungkin. Namun, kamu gak akan mendapatkan hasil yang terbaik kalau kamu sendiri meragukan kemampuanmu. Sekarang Mama tanya, sewaktu ujian kemarin apakah kamu sempat meragukan dirimu sendiri?"
Ya, Azeeya meragukan dirinya sendiri. Ia tidak percaya kepada dirinya. "Iya, Ma. Azeeya banyak meragu karena Azeeya merasa soal ujian kemarin terlalu rumit."
"Kalau begitu, mulai detik ini juga Mama mau Azeeya berhenti meragukan diri Azeeya sendiri. Dengar, Zee, semesta tak akan mendengar doamu kalau kamu terus meragu." Mama Azeeya mengusap rambut Azeeya. "Tuhan gak pernah tidur, Zee. Tuhan melihat kerja keras dan usaha ciptaan-Nya. Semua ada waktu dan porsinya masing-masing."
"Ma ... maafkan Azeeya, ya?" kata Azeeya dengan mata yang mulai berair.
"Jangan minta maaf ke Mama, Zee. Minta maaflah ke dirimu sendiri karena kamu telah meragukan dirimu," balas Mama Azeeya.
Malam itu Azeeya tertidur dalam peluk hangat sang ibunda. Kehangatan yang sejak dahulu tak pernah berubah. Obrolannya dengan mama malam itu berhasil mengubah pola pikir Azeeya. Kini, ia tak lagi meragukan dirinya. Ia harus optimis dan percaya diri!