Mohon tunggu...
AL Wijaya
AL Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis "Target Pertama", "As You Know", "Kembali ke Awal"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batas (Bab 8)

5 Juni 2019   03:46 Diperbarui: 5 Juni 2019   03:47 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mata Ari terbuka lebar. Ia memandangi piano hitam di depannya. Jemari Ari bersiap di atas tuts untuk memainkan sebuah musik klasik.

Dalam hitungan ketiga, Ari mulai menekan rangkaian tuts membentuk untaian nada. Sebuah melodi yang tak asing di telinga. Chopin Ballade in G Minor karya Frederik Chopin.

Dari sekian musik klasik memang Ari sangat menggemari musik Chopin. Selain karena memiliki emosi yang meledak-ledak di tiap barnya, musik Chopin juga adalah musik pertama yang diajarkan Linda pada Ari.

Namun hari itu ada yang berbeda. Permainan jari Ari tak seluwes biasanya. Dari wajahnya terlihat semburat keraguan. Ari seperti tengah memikirkan sesuatu sehingga ia tidak konsentrasi bermain piano.

Di bangku bartender, Melani memandangi Ari. Keraguan yang dirasakan oleh Ari juga dapat dirasakan oleh Melani. Ia merasa Ari tak percaya diri memainkan musik ini.

Di tengah pikirannya yang kacau, Ari tetap berusaha konsentrasi. Ia mengarahkan jari-jarinya untuk menekan tuts dengan benar. Namun rupanya ia benar-benar tidak dalam keadaan yang baik untuk bermain. Di ujung bar ke-5, Ari salah menekan tuts sehingga terdengar bunyi sumbang.

Melani mulai tak nyaman. Ia melirik ke arah Yandi yang tengah menyiapkan minuman untuk pelanggan. Yandi hanya mengangkat bahunya tanda tak mengerti. Melani kembali menatap Ari dengan wajah cemas.

Sadar telah menekan tuts yang salah, membuat Ari semakin kalap. Ia semakin menekan tuts dengan cepat sehingga temponya sedikit berantakan. Ari tak lagi dapat menguasai dirinya.

Dahi Ari mengerut. Matanya terpejam. Ia berusaha mendapatkan konsentrasinya kembali. Tapi hasilnya nihil. Sesuatu tengah berputar-putar di kepalanya sehingga membuatnya tak fokus.

Teng....

Lagi-lagi Ari menekan tuts yang salah. Kali ini ia langsung menyudahi permainannya. Matanya menatap piano itu lagi. Tidak. Ia tidak bisa meneruskannya. Ari pun berdiri dari tempat duduknya lalu beranjak meninggalkan panggung.

Melihat Ari pergi, Melani buru-buru menyusulnya. Ia mengejar Ari yang berjalan keluar Royale Bar.

"Ari! Ari!!" panggil Melani.

Ari terus berjalan tanpa mempedulikan Melani.

"Hei!" Melani berhasil mengejar Ari. "Kau kenapa?"

"Aku tak bisa. Aku tak bisa melakukannya lagi." kata Ari menggelengkan kepala.

"Maksudmu?" Melani nampak bingung.

Ari menghela nafas. "Aku rasa semua ini percuma. Aku masih tak bisa lepas dari bayang-bayang kematian orang tuaku." kata Ari.

Melani terdiam sejenak. Ia memperhatikan wajah Ari yang nampak kalut. Sepertinya Ari memang sedang dilanda masalah besar.

"Ayo ikut aku! Kemarin aku menemukan tempat yang bagus!" Melani langsung menggandeng tangan Ari lalu menyeret tubuhnya.

---

Melani mengajak Ari berjalan menyusuri lorong-lorong sempit yang diapit rumah-rumah penduduk. Di dinding sepanjang lorong tersebut digambari dengan beraneka macam graviti. Biasanya, para remaja nakal sering meluapkan emosi mereka membuat coretan-coretan di dinding menggunakan pilox. Hingga terciptalah semua lukisan-lukisan abstrak ini.

Bagi Ari mungkin tempat ini terkesan jorok dan kumuh. Namun Melani melihatnya berbeda. Ia melihat lorong ini unik. Selain karena coretan graviti di dinding, jalanannya juga dilapisi paving berwarna putih yang mengarah ke suatu tujuan.

"Darimana kau tahu tempat ini?" tanya Ari.

"Kemarin malam ketika keluar cari makan, aku nyasar kemari. Kalau malam tempat ini cantik loh. Lampu dari rumah-rumah di sini menerangi lorong ini sehingga menimbulkan efek cahaya yang terbias begitu..." kata Melani dengan penuh semangat.

Sambil terus berjalan, Ari memandangi wajah Melani yang nampak ceria. "Dulunya lorong ini adalah jalan tikus bagi orang-orang Tiong Hoa untuk kabur dari kota ini. Mereka berlari berdesakan di sini untuk menuju mobil truk yang menunggu mereka di ujung sana." kata Ari sambil menunjuk ujung lorong.

"Oh..." Melani mengangguk tanda mengerti. "Tak salah dong aku mengajakmu kemari? Lorong ini juga yang akan menjadi jalan bagimu untuk keluar dari masalahmu.."

Ari terdiam sejenak. Mereka saling pandang sambil terus berjalan. Hingga mereka tiba di ujung lorong. Keduanya sampai di sebuah pelataran balai kota yang padat akan penduduk.

Melani mengamati sekelilingnya. Ada pedagang kaki lima, ada musisi jalanan, ada orang-orang yang tengah bercengkrama di sebuah bangku taman. Semuanya serba ada di tempat ini. Dan semua terlihat menyenangkan.

Di antara semua hal yang ada di pelataran balai kota, yang paling menarik perhatian Melani adalah seorang pengamen yang sedang bernyanyi sambil memetik gitarnya.

Meski suaranya terdengar merdu, sayangnya tak banyak orang datang untuk memberinya sedekah. Untuk itulah Melani mendatangi pengamen tersebut. Ari hanya memasang wajah bingung dengan tingkah Melani. Hal gila apalagi yang akan ia lakukan?

Setelah meminta izin pada sang pengamen, Melani langsung menari girang. Ia memainkan rok merahnya ke sana kemari. Gerakan kakinya sangat lincah. Ia terlihat sangat mahir sekali menari. Beberapa orang mulai tertarik melihat Melani. Mereka mulai memberi pengamen itu beberapa lembar uang.

Sudah mulai ramai, Melani mengajak Ari untuk berdansa bersama. Namun Ari menolaknya. Bukan karena tak ingin, tapi Ari buruk soal dansa. Ia hanya memperhatikan Melani dari samping saja.

Beberapa orang mulai menyoraki Ari untuk ikut bergabung dengan Melani untuk berdansa. Ari menjadi malu. Melani berusaha mengajak Ari lagi. Kali ini ia menarik Ari hingga ia tak punya pilihan lain.

Mereka berdua berdansa sesuai dengan lagu yang dilantunkan sang pengamen. Melani terlihat begitu menyatu sedangkan Ari, gerakannya sungguh kaku. Ari terlihat seperti robot yang kekurangan minyak pelumas.

Melihat itu, Melani tak tinggal diam. Ia mendekap bahu Ari. Ia mengatakan bahwa Ari hanya perlu mengikuti irama lagu. Tubuhnya akan otomatis bergerak sesuai dengan ketukan lagu.

Ari mengikuti saran Melani. Perlahan-lahan, ia mulai bisa menyesuaikan diri. Ternyata ini tak serumit apa yang Ari pikirkan.

Senyum di wajah Ari mengembang. Ia menatap wajah Melani dalam. Wanita ini sungguh spesial. Ia seperti pesulap yang mampu menghipnotis Ari untuk melakukan hal yang paling mustahil sekalipun. Bersamanya, Ari seperti melupakan semua beban dalam hidupnya. Semakin lama, rasa nyaman itu semakin tumbuh kuat dalam benak Ari.

Setelah asyik berdansa, mereka berdua membeli dua buah es krim. Mereka menikmati es krim itu hingga habis sambil mengobrol ringan. Sesekali Ari tertawa mendengar lelucon Melani. Wajah mereka berdua terlihat sangat gembira.

Namun sayangnya tiba-tiba cuaca berubah. Petir mulai menggelegar di angkasa. Air hujan turun dari langit secara tiba-tiba. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, begitu pula dengan Ari dan Melani. Mereka yang basah kuyub segera menepi di bawah kanopi sebuah bangunan yang ternyata adalah penginapan Melani.

Melani mengusap tubuhnya yang kedinginan. "Kau ingin masuk?" tanya Melani pada Ari.

Ari melirik Melani dengan ekspresi terkejut. "Tidak. Aku akan menunggu sampai hujannya reda di sini." jawab Ari sambil menunduk malu-malu.

"Tak usah malu. Ikutlah ke kamarku! Kau harus mengganti bajumu yang basah kuyub itu. Aku punya kaos yang berukuran besar." kata Melani sambil menunjuk kaos berkerah Ari yang basah akibat air hujan.

"Hmm..." Ari nampak berpikir.

"Kelamaan mikirnya. Ayo!" Melani menyeret tangan Ari masuk ke dalam penginapan.

Ari tak punya pilihan lain. Ia pun ikut Melani masuk ke dalam penginapan itu. Mereka berjalan melewati meja resepsionis. Tentu saja resepsionis langsung melirik Melani yang menarik Ari berjalan melewatinya. Ari hanya bisa menunduk.

Melani mengajak Ari ke kamarnya. Kamar 120. Setelah membuka pintu, Melani langsung mempersilakan Ari untuk masuk. Dengan langkah yang masih ragu-ragu Ari masuk ke dalam kamar Melani.

Ari mengamati barang-barang yang dibawa Melani. Ada sebuah koper merah yang setengah terbuka berisi pakaian Melani. Lalu beragam aksesoris yang Melani letakkan di atas meja rias di samping tempat tidur.

"Sebentar, akan kucarikan baju." Melani langsung memeriksa kopernya untuk mencari baju yang pas untuk Ari.

"Tak perlu repot..." ucap Ari yang masih sungkan.

"Sudah kubilang tak apa! Kan nanti malam kau mau pentas la-" Akhirnya Melani menemukan kaos yang dicarinya. "Aha! Aku menemukannya."

Melani memperlihatkan kaos Hello Kitty berwarna merah muda.

"Kau pasti akan menyukainya."

Alis Ari terangkat sebelah. "Kau bercanda."

"Tidak. Coba kenakan! Pasti cukup untukmu." Melani melempar baju itu pada Ari, Ari pun menangkapnya dengan tepat.

"Ini milikmu?" tanya Ari yang bingung mengapa Melani punya kaos berukuran besar.

"Jangan banyak tanya! Cepat ganti baju di kamar mandi sebelah sana! Nanti kamu masuk angin!" perintah Melani.

"Ba... Baik. Terima kasih."

Dengan perasaan masih malu-malu, Ari masuk ke dalam kamar mandi lalu menutup pintu. Ia memandangi baju Hello Kitty milik Melani. Ari hanya menggeleng. Sudah untung ia dapat baju ganti, seharusnya ia berterima kasih pada Melani.

Ari pun lekas mengganti bajunya. Setelah berpakaian rapi, Ari keluar dari kamar mandi. "Ternyata bajumu cu-"

Tiba-tiba Ari terkejut. Ia melihat Melani juga sedang mengganti pakaiannya. Ia membuka bajunya dan menyisakan pakaian dalamnya saja.

Namun bukan itu yang membuat Ari terkejut. Ia sangat terkejut melihat luka-luka lebam di sekujur tubuh Melani. Kulitnya yang putih ternodai oleh beberapa bekas pukulan dan sayatan. Dari arah cermin meja rias, Ari juga melihat luka bekas sudutan rokok di dada atas Melani.

Sadar dirinya diperhatikan Ari, Melani segera memakai baju gantinya. Ia berbalik menoleh Ari.

"Oh, kau sudah selesai rupanya."

Ari langsung menundukkan kepalanya. Wajahnya memerah. "Maafkan aku...." ujar Ari lirih.

Melani hanya tersenyum kecil. "Tak apa."

Ari berjalan ke arah kasur. Ia duduk membelakangi Melani. Ari masih terdiam. Ia cukup syok melihat sekujur tubuh Melani ternyata dipenuhi luka akibat kekerasan. Luka yang menyimpan rahasia besar dalam hidup Melani.

Melani yang telah selesai berpakaian juga duduk di tepi kasur membelakangi Ari. Selama beberapa menit mereka tenggelam dalam kesunyian. Ari kehabisan kata-kata, begitu pula dengan Melani. Keduanya hanya duduk bertolak belakang dan membisu.

"Maaf-" Melani berkata memecah keheningan di antara mereka.

"Dari mana asal luka-luka itu?" Ari memotong perkataan Melani.

Melani menarik nafas sejenak. "Ari... Sebenarnya aku telah berkeluarga."

Ari diam seribu bahasa. Pikirannya kacau saat Melani mulai menguak jati dirinya. Ada perasaan kecewa yang tersirat dari raut wajahnya.

"Setelah aku dan mamaku pindah ke Semarang, mamaku terpaksa menikah dengan pria di sana. Pria itulah yang akhirnya mengenalkanku pada suamiku sekarang.." ujar Melani lirih.

Kepala Ari masih menunduk. "Jadi, ia yang melakukan itu padamu?"

Melani tak menjawab sepatah katapun. Ari paham. Memang benar suami Melani yang telah melakukan kekerasan pada dirinya.

"Mengapa kau tidak menceraikannya?" tanya Ari.

Lagi-lagi Melani menarik nafas panjang. "Aku tak bisa."

"Kenapa?"

"Aku punya dua putri kembar. Mereka alasanku untuk tetap bertahan." jawab Melani.

Ari semakin bersedih. Tanpa sadar, ia meremas kain sprei tepian kasur. Entah apa yang dipikirkan Ari saat ini. Perasaannya benar-benar bercampur aduk.

"Mungkin aku sama sepertimu. Terjebak dalam kehidupan kita masing-masing. Kau tahu... Ada kalanya kita mengambil keputusan untuk tinggal, meski itu menyakiti hati kita."

"Mengapa kau ingin hatimu tersakiti?"

"Aku tak tahu. Mungkin karena kita memiliki sesuatu yang menguatkan kita." jawab Melani.

Ari berbalik. Ia menatap wajah Melani yang sendu. Wanita itu berusaha untuk tegar meski kesedihan tengah mengaduk-aduk emosinya.

"Melani..." panggil Ari lirih.

Melani menoleh ke arah Ari.

"Ee... Aku mengerti perasaanmu. Aku pun demikian. Aku... Aku memilih tinggal di kota ini meski menyakitkan bagiku." kata Ari. "Melani, aku... Aku yang telah membunuh kedua orang tuaku."

Mimik wajah Melani langsung berubah. Ia terkejut mendengar kata-kata Ari. Ia bingung maksud perkataan Ari.

"Maksudku... Gara-gara aku, orang tuaku meninggal. Hari itu, adalah hari ulang tahunku yang ke-17. Kebetulan orang tuaku sedang menangani pasien di desa sebelah. Saat itu aku menelpon mereka mengatakan: Jika ayah dan ibu tidak pulang hari ini juga, maka aku tidak akan bicara pada kalian selamanya!" Satu per satu air mata mulai menetes dari pelupuk mata Ari. "Akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan mereka untuk bergegas kembali ke Artapuri. Karena terburu-buru, mereka tak fokus berkendara. Saat melewati rel tanpa palang, mobil yang mereka tumpangi tersambar oleh kereta yang sedang melintas."

Melani langsung mendekati Ari lalu duduk di sampingnya. Melani menggenggam tangan Ari erat. Memberinya kekuatan.

"Ternyata ucapanku menjadi kenyataan. Aku benar-benar tak bisa lagi berbicara pada mereka..." Ari menangis sesenggukan. "Aku sungguh egois. Aku menyesal telah melakukannya."

"Ari...." Melani membelai pundak Ari halus.

"Itu sebabnya aku sangat sensitif jika orang mengungkit soal kematian orang tuaku. Aku merasa sangat bersalah. Aku bodoh. Aku tak berguna."

"Tidak... Tidak, Ari...." Melani berusaha menengkan Ari. Ia mengusap air mata di pipi Ari. "Dunia memang memiliki sejuta cara untuk menjatuhkan kita. Tapi kita harus melawannya. Jangan berkubang dalam masa lalu. Kau harus lawan perasaan bersalah itu. Menyalahkan dirimu takkan membuat orang tuamu kembali. Aku yakin mereka ingin melihatmu melanjutkan hidupmu. Hidup soal berjalan, bukan berhenti di satu titik."

Ari mengusap air matanya sendiri.

"Sebagai dua orang yang pernah tersakiti oleh kenyataan, kita harus berjanji untuk saling menguatkan ya."

Melani membangkitkan semangat keduanya. Ia menepuk pundak Ari. "Kita harus melawan rasa sakit dalam diri kita. Kita harus menemukan kebahagiaan."

Mendengar kata-kata dari Melani, hati Ari merasa tenang. Melani benar. Ia benar-benar harus keluar dari situasi ini. Ari pun melirik Melani.

"Untuk hidup yang lebih baik." Ari mengarahkan kelingkingnya.

Melani tersenyum. Ia menggaet jari kelingking Ari dengan kelingkingnya. "Untuk hidup yang lebih baik."

---

Ting....

Kelingking Ari menekan tuts piano. Ia kembali merangkai nada-nada menjadi satu melodi yang indah. Temponya agak cepat. Ari memejamkan matanya, berusaha menikmati musik yang ia bawakan.

Di baris ketiga, suara saxophone menimpali nada yang tercipta dari piano Ari. Kedua alat musik itu secara harmonis menghasilkan musik jazz dengan nada riang. Ditambah perkusi yang ikut meramaikan musik di baris selanjutnya.

"Bila malam t'lah mendekam

Bulan bintang kan bersinar terang

Menyinari alam indahnya dunia

Burungpun berhenti tiada bernyanyi"

Seorang penyanyi wanita bergaun hitam mulai melantunkan lirik lagu. Semua pengunjung Royale Bar menikmati lagu itu. Suara sang penyanyi yang merdu menyatu dengan irama jazz yang santai namun agak up-beat.

"Mereka semua pun t'lah mengerti

Tiada satupun akan berlari

Ku mintalah hati kuberjumpa siang hari

Ingin segera tidur dan dibelai mimpi-mimpi"

Ari membuka matanya. Ia melihat kerumunan pengunjung bar. Mereka nampak larut dalam melodi. Di antara para pengunjung tersebut, Melani duduk di meja paling ujung. Ia tersenyum pada Ari. Ari pun balas tersenyum. Ia kembali bersemangat memainkan pianonya.

"Oh juwita malam

Datanglah engkau membelai mimpiku

Antara aku berkhayal tentangmu

Walau hanya dalam mimpi

Oh juwita malam

Datanglah engkau membelai mimpiku

Walau ku sadari hanya dalam mimpi

Tapi ku pun kan bahagia"

Dengan mikrofon yang ada diletakkan di depan wajahnya, Ari juga ikut bernyanyi menjadi penyanyi latar.

"Oh juwita malam

Datanglah engkau membelai mimpiku

Antara aku berkhayal dengan dirimu"

Mata Ari terus memandangi Melani saat ia bernyanyi. Melani tersenyum cerah. Ia tak menyangka Ari dapat bernyanyi dengan baik. Sesekali ia tertunduk malu karena Ari terus menatapnya dengan penuh rasa. Ari pun semakin bahagia saat melihat Melani tersenyum.

Setelah Ari selesai bernyanyi, sang saksofonis kembali memainkan alat musiknya. Suara saksofon yang begitu indah membuat para pengunjung sesekali mengangguk mengikuti irama musik. Yandi yang tengah melayani pengunjung pun juga turut menggoyangkan badannya. Di depan pianonya, Ari melakukan atraksi piano dengan jari-jarinya yang lincah.

Sang penyanyi kembali menyanyi.

"Oh juwita malam

Datanglah engkau membelai mimpiku

Antara aku berkhayal tentangmu

Walau hanya dalam mimpi

Oh juwita malam

Datanglah engkau membelai mimpiku

Walau ku sadari hanya dalam mimpi

Tapi ku pun kan bahagia"

Di akhir lagu, Ari meraih mikrofonnya. Ia berdiri meninggalkan pianonya. Tangannya menunjuk ke arah Melani. Dengan baju Hello Kitty ditutupi oleh jaket hitam Yandi, Ari pun bernyanyi menyelesaikan lagu.

"Oh juwita malam

Datanglah engkau membelai mimpiku"

Suara riuh tepuk tangan para pengunjung terdengar sangat meriah. Mereka puas dengan suguhan musik yang diberikan Ari dan temannya. Semua berdiri memberi selamat, tak terkecuali Melani.

Ari yang bahagia segera meletakkan mikrofonnya kembali ke atas piano lalu turun dari panggung. Ia berjalan ke arah Melani. Wajahnya terlihat sumringah. Begitu pula dengan Melani yang masih bertepuk tangan untuk Ari.

Tanpa basa-basi Ari langsung memeluk tubuh Melani. Melani terkejut. Ia tak menyangka Ari mau memeluknya di tempat keramaian seperti ini.

"Terima kasih..." ucap Ari lirih.

Di belakang meja bar, Yandi memperhatikan gerak-gerik Ari. Ada apa dengan anak itu? Mengapa memeluk wanita asing? Berwajah Chinese pula. Yandi hanya berharap ini takkan menjadi masalah buat Ari ke depannya.

Setelah puas berpelukan, Ari mengajak Melani keluar bar. Mereka berdua berjalan di atas trotoar sambil bercengkrama. Ari melepas jaketnya lalu memberikannya pada Melani agar ia tidak kedinginan. Ditemani gelapnya langit malam dan angin yang berhembus sepoi-sepoi, Ari dan Melani terus berjalan tanpa mempedulikan sekitar mereka. Persetan dengan orang-orang Artapuri, Ari tak peduli lagi.

Keduanya berjalan diantara lampu-lampu jalanan yang menyoroti tiap langkah kaki mereka. Menciptakan siluet bayangan yang tercetak di atas trotoar. Mereka terus berjalan hingga akhirnya menghilang di tengah kabut malam yang mulai turun.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun