Soso mengangguk, ia lalu mempersilakan perempuan itu melewatinya dan duduk di dekat jendela. Padahal ia pengen banget duduk di dekat jendela itu.
Tak lama, kereta mulai berjalan, riuh dan bising dengan kepulan asap dari lokomotif yang kadang masuk ke dalam gerbong. Soso mulai merasakan ada yang aneh dengan perutnya. Duh, jangan sampai muntah… Makin melihat ke luar, makin pusing kepalanya, dan makin berontak perutnya. Rumah, bangunan, pohon-pohon di luar sana terlalu cepat bergerak, tak seperti naik kereta kuda. Soso mencoba mencari pengalihan. Ia mengambil buku Kapital yang dibelinya di toko Pak Yedid, sekalian belajar deh, pikir Soso. Tapi begitu melihat huruf-huruf, kepalanya malah semakin pusing.
“Baru naik kereta ya?” perempuan di sebelahnya itu bertanya.
Soso meliriknya dan mengangguk sambil menahan diri agar nggak terjadi hal-hal yang memalukan.
“Jangan membaca, pusing… nanti malah muntah…” kata perempuan itu lagi. Soso mengira usianya mungkin pertangahan dua puluhan atau kurang sedikit. Lebih tua beberapa tahun darinya. Tapi sangat menarik dengan pakaian kekinian ala anak-anak Rusia yang sering dilihatnya di Tiflis. Tapi ia pasti bukan orang Rusia, karena dari tadi ngomong dengan bahasa Georgia. “Udah, kita tukeran tempat lagi aja… kamu duduk di sini…” katanya.
“Boleh?” tanya Soso.
“Iya, nggak apa-apa, aku dah biasa…” jawabnya.
Soso udah nggak mikirin lagi soal gengsi. Dia bertukar tempat lagi dengan perempuan cantik itu.
“Lihat ke luar aja, sesuaikan pandangan dengan kecepatan kereta, fokus pada satu objek, jangan diliatin semua, pusing…” kata perempuan itu.
Soso mengikuti sarannya, dan, yaah jauh lebih baik.
“Anak sekolahan?” tanya perempuan itu lagi.