Pak Yedid merogoh sakunya dan mengeluarkan kunci. “Nih, kau masuk aja. Tapi jangan tinggalin toko sebelum aku sama Soso balik ya!”
Tapi si Lado emang kampret, selesai makan, saat Soso dan Pak Yedid balik ke toko, anak itu sudah menghilang. Untung aja pintunya ketutup. Pak Yedid misuh-misuh. Soso nggak enak, makanya ia langsung pamitan. Tadi dia sudah cerita mau mudik ke Pak Yedid. Tapi gara-gara ketemu si Lado, ia jadi teringat sesuatu. “Masih punya Kapital, Pak?”
“Kayaknya masih ada, tinggal satu. Banyak yang nyari buku itu akhir-akhir ini…” kata Pak Yedid. Tadinya Soso mau minjem, buat dibaca di kampung. Tapi nggak enak juga kalo kelamaan. Ia pun membelinya, sekalian buat jaga-jaga kalau nanti diminta oleh si Lado.
*****
Soso sudah pamit pada semua orang dekatnya di Tiflis. Bahkan Pangeran Ilia, pemred Iveria-pun dipamitinya saat bertemu untuk mengambil honor puisinya. Lumayan juga honornya, 30 kopeck. Tapi nggak enaknya karena ia tidak membawakan puisi baru seperti yang diminta Pangeran Ilia. “Sibuk Natal dan ujian, Tuan. Ini mau mudik sekalian cari ilham. Mudah-mudahan pulang punya banyak stok…” kata Soso.
“Ya sudah, pulanglah! Segarkan pikiranmu, lepaskan dulu dari dogma-dogma gereja dan doktrin-doktrin orang Rusia itu…” kata Pangeran Ilia.
Soso juga sudah membeli baju baru, sebuah arkhalukhi[3] berwarna abu-abu tua di Bazzar Persia yang harganya terjangkau, nggak kuatlah dia kalau harus belanja di Golovinsky Square. Ia langsung memakainya, apalagi sedang musim dingin, jadi pas. Rencananya nanti ia akan langsung menemui Bonia untuk menunaikan kewajibannya, setor muka dengan baju baru yang dipesannya. Ada duit sedikit, ia juga membeli sebuah kaftan[4] untuk Mak Keke. Ia nggak tau apakah itu bagus atau enggak, tapi seingatnya, Mak Keke sering pake pakaian longgar kayak gitu yang berwarna gelap.
Dan, pagi itu, dia sudah berada di dalam kereta api enam gerbong jurusan Tiflis-Poti yang singgah dan melewati Gori. Ia duduk dekat jendela. Penumpangnya cukup banyak meski tiketnya cukup mahal. Entah karena kereta jarak jauh sehingga orang memilihnya untuk perjalanan yang lebih cepat, atau mungkin juga karena kereta api adalah barang baru di Georgia –yang harus diakui ada karena campur tangan Rusia. Dan alasan terakhir itu salah satu yang membuat Soso memutuskan naik kereta; takut disebut ndeso, masak iya sudah hidup di kota belum pernah naik kereta. Padahal ia deg-degan juga, takut muntah gara-gara pusing melihat jalur kereta di Georgia yang berkelok-kelok menerobos hutan, bukit, jurang-jurang dengan sungai yang dalam, dan juga beberapa terowongan panjang. Agak nyesel juga dia nggak gabung sama temen-temennya.
Tapi penyesalan Soso segera menguap ketika seorang perempuan muda, bertanya padanya, “Kursinya kosong? Boleh duduk di sini?” tanyanya dalam bahasa Georgia, sambil menatap Soso. Soso terpesona, dan dengan gagap segera mengangguk.
“Oh iya, silakan…mau di tengah atau di dekat jendela?” tanya Soso.
“Boleh dekat jendela ya…” katanya.