Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (19) Gadis Manis dalam Kereta

15 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 19 Desember 2020   07:28 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP By Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (18) Razia Kamar

*****

Libur telah tiba. Hore! Hore!

Sebagian besar siswa-siswa seminari jelas bergembira. Rangkaian perayaan Natal yang panjang yang disambung dengan ujian semester yang melelahkan sudah berakhir. Sebagian besar juga tidak peduli dengan nilai pelajaran mereka, yang penting tidak jeblok atau tidak disuruh mengulang sudah bagus. Soso juga berpikiran begitu. Meski ia merasa sudah belajar dengan ‘secukupnya’ dan tak segiat semasa di sekolah gereja Gori dulu, ia tak terlalu berharap nilai bagus. Satu-satunya harapannya adalah nilai cukup, rata-rata di atas nilai 4 (dari tertinggi 5), agar dia bisa mengajukan beasiswa tahun depan. Tapi ternyata hasilnya di luar perkiraan Soso sendiri, nilai-rata-ratanya 4,7. Ia terbaik ke-8 dari seluruh angkatan. Nilai terbaiknya adalah pelajaran menyanyi dan Alkitab, ia dapat 5. Lainnya cukup lah, kebanyakan 4,5. Dan yang jeblok adalah ‘perilaku’ yang dapat nilai 4,2. Bisa jadi itu gara-gara ia pernah menginap di Tembok Derita, plus sedikit pengurangan karena kasus ‘buku tak berizin.’

Teman-teman sekamarnya yang berasal dari Gori dan sekitarnya, Seva, Peta, Jaba, Kaka, dan si Gego sudah memutuskan untuk mudik rame-rame, naik kereta. Karena liburnya memang tak terlalu panjang seperti libur akhir tahun, naik kereta menjadi masuk akal, tidak menghabiskan terlalu banyak waktu di jalan. Tapi ya itu, lumayan mahal. Tiket ke Gori dari Tiflis seharga satu rubel lebih. Soso sebetulnya sudah dibujuk untuk pulang bareng. Tapi ia sendiri masih ragu-ragu, apakah perlu pulang sekarang atau menunggu liburan yang lebih panjang, libur musim panas nanti. Kalau pulang, ia harus memakai uang pemberian Mak Keke dan Bonia yang masih cukup utuh. Uang itu yang jelas masih ada. Upahnya saat kerja di pabrik dulu habis untuk membayar les bahasa dan sisanya diberikan pada Mak Imel. Ketika ia sudah tak lagi les bahasa, sebagian besar uangnya diberikan pada Mak Imel, dan sisanya untuk dirinya. Habis untuk hal-hal yang tak jelas, termasuk juga biaya kencannya dengan Irena.

Kalau ia pulang pun, ia harus memakai uang dari Bonia itu untuk membeli pakaian baru seperti yang dimintanya. Padahal Soso juga nggak terlalu yakin, apakah ia akan menemui Bonia nanti atau tidak, apalagi setelah ada gosip Bonia sudah punya pacar. Kalau bener, mungkin juga Bonia nggak akan dengan sengaja menemuinya. Tapi tetap saja Soso merasa nggak enak kalau ia bertemu dengan anak itu dan tidak menunjukkan baju barunya.

“Kalian pulang lah duluan, aku mau tinggal dulu beberapa hari di rumah orang tua angkatku. Nggak enak, lama nggak ketemu mereka…” kata Soso pada teman-temannya yang mengajak pulang bareng itu.

“Yaah nggak asik ah..” kata si Gego. “Beneran itu alesannya, bukan soal duit?” tanyanya lagi.

“Beneran, ntar kalau aku sudah sampai, pasti kutemui kalian…” kata Soso.

“Yee, aku kan langsung balik ke Sveri, si Kaka dan Jaba kan juga balik ke Tskhinvali. Kita baru ke Gori lagi nanti kalau sudah mau balik ke sini, naik kereta lagi barengan…” kata si Gego lagi.

Seva segera menengahi, “Udah biarin aja Go, dia kan punya pacar di sini, barangkali mau senang-senang dulu… memangnya kau, jomblo…”

“Kau… elu juga kali…” kata si Gego sewot.

“Aku nggak jomblo, kalau mau aku bisa punya pacar. Aku sering dapat salam dari anak Rusia yang rumahnya di belakang gedung opera itu. Tapi aku kan sudah memutuskan untuk selibat[1]…” jawab Seva.

“Selibat gundulmu! Razia kemarin aja kau kedapatan punya buku porno, emangnya kuat mau selibat!” kata Gego sambil manyun.

Soso cuma cengar-cengir mendengar ocehan kawan-kawannya itu. Tapi putusannya sudah jelas, ia tak pulang bareng dengan mereka. Menyusul kemudian? Entahlah, ia juga tak terlalu yakin.

*****

Hari pertama libur, geng Goreli, tanpa Soso, bersukacita mudik naik kereta. Soso sendiri ‘pulang’ ke rumah Mak Imel dan Pak Sese seperti yang dikatakan pada teman-temannya. Dan juga seperti dugaan teman-temannya juga, ia memang beneran menemui Irena. Cukup lama ia tak mengunjungi gadis itu. Hari kedua libur, barulah Soso kepikiran untuk pulang ke Gori. Tiba-tiba saja ia kangen emaknya, sampe kebawa mimpi dan meminta Soso untuk pulang. Ya sudah, iapun mengambil uang simpanannya, pemberian dari Mak Keke dan Bonia itu, lalu berangkat untuk membeli tiket kereta dan membeli baju baru seperti permintaan Bonia, takutnya nanti ia ketemu di sana dan cewek itu menanyakannya. Sebelum itu, ia mampir ke tempat Pak Yedid untuk pamitan.

“Kapan kau akan traktir?” tanya Pak Yedid.

Soso baru inget, kalau ia belum mengambil honor puisinya di majalah Iveria. Lumayan juga kali, untuk nambah-nambah jajan di jalan atau beli oleh-oleh.

“Tenang Pak, kutraktir sekarang…” kata Soso. Ia nggak bilang kalau ia belum mengambilnya, tapi untungnya, ia lagi megang duit. “Kita makan mtsvadi[2] di warung sana!” kata Soso.

“Aku orang Yahudi, So…” kata Pak Yedid.

“Iya tau Pak, di sono dagingnya sapi kok, bukan babi…” jawab Soso yang mulai paham kebiasaan orang Yahudi, termasuk beberapa pantangan dalam hal makanannya.

“Ya sudah, ayo… kututup dulu tokoku ya…” kata Pak Yedid.

Soso menunggu di luar, tapi tiba-tiba datang Lado. Soso langsung merasa nggak enak, apalagi buku yang dipinjamkannya sudah jadi debu, jadi korban razia.

“Ah, Romo Joseph… tumben jam segini dah di sini?” kata si Lado sambil tersenyum, “Jadi kapan kita bedah bukunya?”

“Duh, aku udah kadung beli tiket Do, aku mau mudik dulu, ini kan liburan…” kata Soso. “Nanti lah pulang dari kampung ya…” kata Soso.

“Ya sudah, tapi janji ya, abis mudik. Jangan terlalu lama, nanti kukasih buku yang lain untuk dibedah. Tenang aja, aku dah minta dicarikan honornya buatmu…” kata Lado. Saat itu Pak Yedid mendekat. “Mau pada kemana ini?” tanyanya.

“Makan siang…” jawab Soso.

“Aku mau nyari buku, Pak Yedid, malah ditinggal… cemana pula ini?”

“Udah ikut makan aja, ditraktir Soso…” kata Pak Yedid.

“Nggak lah, aku masih kenyang…” kata Lado.

Pak Yedid merogoh sakunya dan mengeluarkan kunci. “Nih, kau masuk aja. Tapi jangan tinggalin toko sebelum aku sama Soso balik ya!”

Tapi si Lado emang kampret, selesai makan, saat Soso dan Pak Yedid balik ke toko, anak itu sudah menghilang. Untung aja pintunya ketutup. Pak Yedid misuh-misuh. Soso nggak enak, makanya ia langsung pamitan. Tadi dia sudah cerita mau mudik ke Pak Yedid. Tapi gara-gara ketemu si Lado, ia jadi teringat sesuatu. “Masih punya Kapital, Pak?”

“Kayaknya masih ada, tinggal satu. Banyak yang nyari buku itu akhir-akhir ini…” kata Pak Yedid. Tadinya Soso mau minjem, buat dibaca di kampung. Tapi nggak enak juga kalo kelamaan. Ia pun membelinya, sekalian buat jaga-jaga kalau nanti diminta oleh si Lado.

*****

Soso sudah pamit pada semua orang dekatnya di Tiflis. Bahkan Pangeran Ilia, pemred Iveria-pun dipamitinya saat bertemu untuk mengambil honor puisinya. Lumayan juga honornya, 30 kopeck. Tapi nggak enaknya karena ia tidak membawakan puisi baru seperti yang diminta Pangeran Ilia. “Sibuk Natal dan ujian, Tuan. Ini mau mudik sekalian cari ilham. Mudah-mudahan pulang punya banyak stok…” kata Soso.

“Ya sudah, pulanglah! Segarkan pikiranmu, lepaskan dulu dari dogma-dogma gereja dan doktrin-doktrin orang Rusia itu…” kata Pangeran Ilia.

Soso juga sudah membeli baju baru, sebuah arkhalukhi[3] berwarna abu-abu tua di Bazzar Persia yang harganya terjangkau, nggak kuatlah dia kalau harus belanja di Golovinsky Square. Ia langsung memakainya, apalagi sedang musim dingin, jadi pas. Rencananya nanti ia akan langsung menemui Bonia untuk menunaikan kewajibannya, setor muka dengan baju baru yang dipesannya. Ada duit sedikit, ia juga membeli sebuah kaftan[4] untuk Mak Keke. Ia nggak tau apakah itu bagus atau enggak, tapi seingatnya, Mak Keke sering pake pakaian longgar kayak gitu yang berwarna gelap. 

Dan, pagi itu, dia sudah berada di dalam kereta api enam gerbong jurusan Tiflis-Poti yang singgah dan melewati Gori. Ia duduk dekat jendela. Penumpangnya cukup banyak meski tiketnya cukup mahal. Entah karena kereta jarak jauh sehingga orang memilihnya untuk perjalanan yang lebih cepat, atau mungkin juga karena kereta api adalah barang baru di Georgia –yang harus diakui ada karena campur tangan Rusia. Dan alasan terakhir itu salah satu yang membuat Soso memutuskan naik kereta; takut disebut ndeso, masak iya sudah hidup di kota belum pernah naik kereta. Padahal ia deg-degan juga, takut muntah gara-gara pusing melihat jalur kereta di Georgia yang berkelok-kelok menerobos hutan, bukit, jurang-jurang dengan sungai yang dalam, dan juga beberapa terowongan panjang. Agak nyesel juga dia nggak gabung sama temen-temennya.

Tapi penyesalan Soso segera menguap ketika seorang perempuan muda, bertanya padanya, “Kursinya kosong? Boleh duduk di sini?” tanyanya dalam bahasa Georgia, sambil menatap Soso. Soso terpesona, dan dengan gagap segera mengangguk.

“Oh iya, silakan…mau di tengah atau di dekat jendela?” tanya Soso.

“Boleh dekat jendela ya…” katanya.

Soso mengangguk, ia lalu mempersilakan perempuan itu melewatinya dan duduk di dekat jendela. Padahal ia pengen banget duduk di dekat jendela itu.

Tak lama, kereta mulai berjalan, riuh dan bising dengan kepulan asap dari lokomotif yang kadang masuk ke dalam gerbong. Soso mulai merasakan ada yang aneh dengan perutnya. Duh, jangan sampai muntah… Makin melihat ke luar, makin pusing kepalanya, dan makin berontak perutnya. Rumah, bangunan, pohon-pohon di luar sana terlalu cepat bergerak, tak seperti naik kereta kuda. Soso mencoba mencari pengalihan. Ia mengambil buku Kapital yang dibelinya di toko Pak Yedid, sekalian belajar deh, pikir Soso. Tapi begitu melihat huruf-huruf, kepalanya malah semakin pusing.

“Baru naik kereta ya?” perempuan di sebelahnya itu bertanya.

Soso meliriknya dan mengangguk sambil menahan diri agar nggak terjadi hal-hal yang memalukan.

“Jangan membaca, pusing… nanti malah muntah…” kata perempuan itu lagi. Soso mengira usianya mungkin pertangahan dua puluhan atau kurang sedikit. Lebih tua beberapa tahun darinya. Tapi sangat menarik dengan pakaian kekinian ala anak-anak Rusia yang sering dilihatnya di Tiflis. Tapi ia pasti bukan orang Rusia, karena dari tadi ngomong dengan bahasa Georgia. “Udah, kita tukeran tempat lagi aja… kamu duduk di sini…” katanya.

“Boleh?” tanya Soso.

“Iya, nggak apa-apa, aku dah biasa…” jawabnya.

Soso udah nggak mikirin lagi soal gengsi. Dia bertukar tempat lagi dengan perempuan cantik itu.

“Lihat ke luar aja, sesuaikan pandangan dengan kecepatan kereta, fokus pada satu objek, jangan diliatin semua, pusing…” kata perempuan itu.

Soso mengikuti sarannya, dan, yaah jauh lebih baik.

“Anak sekolahan?” tanya perempuan itu lagi.

Soso mengangguk, “Iya Mbak…”

Ia tertawa, “Jangan panggil Mbak dong, aku Natalia Kirtava, panggil aja Natasha…” katanya sambil menyodorkan tangannya. Soso menerima uluran tangannya, lalu menyebutkan namanya.

“Joseph Djugashvili, panggil saja Soselo…” katanya. Ia mendadak suka dengan nama samaran untuk puisinya itu.

“Soselo… kirain Othello, orang Moor di cerita Shakespeare itu…” kata Natasha.

Soso tersenyum, “Baca juga ya?” tanyanya, kagum.

“Cuma tau aja. Males baca Shakespeare, kisahnya berakhir tragedi semua…” katanya.

“Tapi kan romantis…” kata Soso. “Justru karena selalu berujung tragedi orang terus mengingatnya dan berandai-andai, coba kalau Romeo ngopi dulu nggak langsung minum racun, coba Juliet bangun lebih cepat…, coba kalau…kan asyik…” katanya lagi. “Kalau kisahnya selalu happy ending kayak cerita-cerita H.C. Andersen, orang mungkin suka, tapi tidak berkesan. Baca, tamat, tidur, lupa….” lanjutnya.

Natasha tertawa, “Mmm mungkin juga sih, aku juga baca Romeo Juliet dan kepikiran terus…” katanya. “Kamu sekolah di mana? Calon adminstratur ya?”

Soso menggeleng, “Aku di seminari Tiflis…” jawabnya.

“Oooow… calon pendeta rupanya… kamu pake arkhalukhi sih, nggak pake podrjaznik, jadi nggak ketahuan…” katanya.

Soso tersenyum, “Masak mau liburan masih pake itu, malu lah. Kan masih siswa, belum jadi pendeta…” katanya.

“Jadi sudah memutuskan untuk selibat?” tanya Natasha.

Soso tertawa lagi, “Nggak lah, kayaknya nggak bakalan kuat. Masih sering tergoda liat cewek cakep, kayak kamu…” ups… keceplosan.

Giliran Natasha yang tertawa, “Kayaknya kamu lebih berbakat jadi pujangga deh ketimbang jadi pendeta…” katanya. “Rayuanmu itu lho… nggak ada pendeta yang suka menggombal…”

“Kan saya dah bilang, baru siswa, calon, masih jauuuh…” katanya.

“Turun dimana?” tanya Natasha kemudian.

“Aku pulang ke Gori…” jawab Soso, “Kamu?”

“Aku turun di Samptredia, nanti lanjut ke Batumi…” jawabnya

“Jauh ya... Sendirian aja?”

“Sendirian lah, kan dari tadi udah ketahuan…” jawabnya.

“Yaa kirain aja sama Bapak, si Abang, atau si Aa…”

Natasha ngakak sambil menutupi mulut dengan tangannya, padahal Soso suka melihat barisan giginya yang rapi. “Sumpah, kamu nggak bakat jadi pendeta!”

Soso hanya mesam-mesem.

Ah, pengalaman pertamanya naik kereta ternyata menyenangkan, atau mungkin ia sedang beruntung duduk di sebelah cewek cakep. Apalagi Natasha ternyata punya pengetahuan yang lumayan terntang karya sastra, jadi nggak membosankan dan banyak bahan untuk dibahas. Ketika kereta berhenti cukup lama di Stasiun Kaspi untuk mengisi bahan bakar dan ini-itu, mereka turun untuk melemaskan badan sambil duduk mengobrol menikmati pemandangan di kota tua yang dikelilingi pegunungan karst itu.

Sayangnya, Kaspi adalah stasiun terakhir sebelum Gori. Soso harus segera bersiap untuk turun. Rasanya berat berpisah dengan cewek itu. Bukan karena kecantikannya saja, tapi juga wawasannya yang luas. Dua cewek yang dekat dengannya, entah itu Bonia maupun Irena, tak punya bahan obrolan sebanyak dan semenarik itu. Entah karena usianya yang lebih dewasa, atau memang orangnya memang cerdas dan berwawasan.

“Kapan kamu balik ke Tiflis?” tanya Natasha saat kereta sudah semakin dekat dengan Gori.

“Dua minggu lagi aku sudah di sana…” jawab Soso. “Kamu kapan?” ia balik bertanya.

“Aku hanya ke Tiflis sesekali, kalau ada urusan…” jawabnya. Dari tadi, Natasha selalu mengelak kalau ditanya urusannya itu. “Sehari-hari ya di Batumi… Kenapa?” tanya Natasha sambil mengerlingkan matanya yang coklat.

Soso nyengir, “Yaa nggak apa-apa, kali aja kita bisa ketemu dan ngobrol-ngobrol lagi…” jawabnya.

“Bukannya kamu seharian dikurung di asrama?” tanya Natasha.

“Nggak lah, ada waktu istirahatnya juga kali…” jawab Soso, “Jam tiga sampai jam lima aku istirahat, bisa keluar…”

“Memangnya kalau aku ke Tiflis, aku harus nungguin kamu di depan seminari gitu?”

“Yaa kali aja…” kata Soso penuh harap. “Eh, tapi jam istirahat aku sering nongkrong di toko buku dekat seminari, bukunya bagus-bagus… aku kenal baik pemiliknya. Jadi kalau kamu tanya, dia pasti kenal aku…”

“Nggak janji yee…” kata Natasha dengan nada yang terus menggoda.

“Ya sudah…” Soso cemberut.

Natasha tertawa ngakak. “Iya Romo Soselo… kapan-kapan, kalau aku ke Tiflis, aku sempatkan cari toko buku itu…”

“Gitu dong, masak aku yang harus nyari kamu ke Batumi…” kata Soso.

“Eh, mau ngapain?” tanya Natasha.

“Ya nggak apa-apa, kalau udah kangen berat mau diapain, ya kususul lah…!”

“Udah, jangan gombal melulu, sudah mau nyampe!” kata Natasha.

Salib gereja sekolahan Soso dulu yang bersisian dengan stasiun sudah terlihat. Ada rasa bahagia ia bisa kembali ke kota kecilnya itu. Tapi, ada juga penyesalan berpisah dengan perempuan cantik berambut shavgvremani[5] yang seolah sudah dikenalnya sekian lama itu. Natasha juga mendadak jadi kikuk saat Soso pamit duluan turun.

Soso melambaikan tangannya saat sudah berada di luar gerbong. Natasha membalasnya dengan sebuah senyuman. Soso tak juga beranjak. Sampai ketika kereta mulai berjalan, Natasha melongokkan kepalanya dari jendela dan berteriak nyaring, “Satu Mei aku akan ada di Tiflis. Sampai jumpa di toko buku itu ya!”

Soso berjingkrak-jingkrak kegirangan. Mei? Tiga bulan lagi? Tak apa lah, ia akan mencatatnya dalam hati baik-baik. Terserah mau satu Mei kalender Julian atau Gregorian, ia akan menunggunya!

*****

BERSAMBUNG: (20) Si Tua Ninika

Catatan:

[1] Memilih jalan hidup dengan tidak menikah

[2] Semacam sate, tusukan daging diselingi potongan ketimun dan tomat, dibakar dan dibumbui

[3] Mantel panjang khas Georgia

[4] Semacam kebaya longgar Persia

[5] Coklat kehitaman alias brunette

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun