Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Stalin: (9) Toko Buku Yahudi

5 Desember 2020   09:09 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:42 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (8) Irena Federova

*****

Tidak terasa, sudah lebih tiga bulan Soso berada di Tiflis. Kulitnya terlihat lebih pucat karena hari-hari berada di dalam ruangan berbau menyengat itu, dan jarang terkena sinar matahari. Di pabrik, reputasinya menanjak, terutama di kalangan pekerja anak yang jumlahnya sekitar 30 orang, nyaris sepertiga jumlah pekerja di pabrik itu.

Soso masih saja melanjutkan kisah “Ksatria Berkulit Macan” yang nyaris tak selesai-selesai itu, bahkan bagian kedua dari epos itu, ketika Teriel mencari Nestan-Darejan belum sampai. Masih berkutat soal Avtandil yang mencari-cari Teriel si Ksatria Berkulit Macan itu. Kisahnya masih muter-muter, ditambahi kiri-kanan yang sebetulnya nggak ada di dalam cerita buatan Shota Rustaveli itu. Selain karena Soso memanjang-manjangkannya, karena makin banyak anak yang bergabung mendengarkannya, ia diminta mengulang lagi, dan tentu saja ulangannya tidak lagi sama, kadang malah ditambahi lagi.

Memang tak semua pekerja anak yang menjadi penggemar dongeng Soso. Sekelompok anak Armenia tak ikut bergabung. Mungkin karena mereka tak paham bahasa Georgia –yang digunakan Soso untuk menceritakan dongengnya itu, atau mungkin karena merasa berbeda. Jumlah orang Armenia yang bekerja di pabrik itu juga rasanya makin banyak, entah kenapa. Denger-denger sih karena mereka mau dibayar lebih murah daripada pekerja orang Georgia.

Dan, di antara sekian banyak pekerja anak itu, ada satu anak yang sedikit berbeda, karena dia keturunan Turki, panggilannya Bulac. Ia tidak berbahasa Georgia, dan tak bisa pula berbahasa Rusia. Bapaknya juga kerja di situ, sudah lebih lama daripada dia. Anak itu, yang berkulit lebih gelap dibanding yang lain dengan kelopak mata seperti tertarik ke dalam tengkoraknya, sering ikutan duduk di antara para pendengar dongen Soso. Tapi ia tak pernah tersenyum, tertawa, atau bertanya seperti yang lain. Hanya duduk dan mendengar sambil menikmati makan siang yang itu-itu saja; roti lavashi yang tipis, labio[1], adjika,[2]sesekali telur; tak pernah ikan apalagi daging. Potongan daging, kadang ditemukan kecil-kecil di dalam labio, itu aja.

Sementara itu, pelajaran bahasa Rusia-nya sudah jauh berkembang. Bukan cuma membaca ejaan ‘ini Budi atau ini ibu Budi,’ Soso malah sudah membaca teks-teks panjang dengan lancar. Dari segi bahasanya, untuk percakapan sehari-hari, bahasa Rusia Soso sudah lebih dari cukup. Kalau ia menguping orang Rusia bercakap-cakap, ia sudah bisa memahaminya. Hanya perbendaharaan kata saja yang harus ditambah, dan tentu saja pengucapan kata-kata tertentu yang harus disesuaikan.

Pak Dmytro sampai nggak tahu lagi apa yang harus diajarkan pada Soso. “Sudah berhenti saja So… kau belajar nambah kosa-kata sendiri lah…” kata Pak Dmytro.

Soso juga merasa begitu, tapi kalau ia berhenti belajar di tempat Pak Dmytro, ia jadi nggak punya alasan untuk sering-sering ketemu Irena dong…

“Mmm, kalau begitu ajari saya membaca dan menulis Latin…” kata Soso.

“Ya sudah..” kata Pak Dmytro.

Dan keesokan harinya, Soso mulai belajar membaca dan menulis huruf Latin..

Hubungannya dengan Irena juga sudah tak lagi diam-diam. Mereka sering ngobrol sambil menunggu Pak Dmytro mulai mengajar. Atau mengobrol setelah Soso selesai belajar. Tapi Pak Dmytro dan istrinya tak pernah tahu hubungan spesial di antara anak-anak itu. Mereka tak tahu kalau beberapa kali Soso dan Irena keluar dan ngelayap malam-malam. Mereka hanya tahu kalau Soso pernah mengajak Irena siang hari, itu juga hari Minggu, dan mereka tidak keberatan, karena Soso selalu ‘mengembalikan’ Irena sebelum hari gelap.

Pernah suatu hari, hari Minggu tentunya, Soso mengajak Irena ke ‘calon sekolahnya,’ karena sebelumnya ia pernah bercerita kalau ia akan masuk sekolah itu nantinya. Ketika melewati toko buku yang pernah dimasukinya saat baru pertama ke Tiflis itu, Soso mengajak Irena masuk.

Rupanya pemilik toko itu masih mengenali Soso. “Buku apa yang kau cari, Gruzin?” tanyanya dalam bahasa Rusia, dan masih menyebutnya Gruzin atau ‘orang Georgia.’

Soso teringat pada sebuah cerita pendek berjudul Pikovaa Dama[3]  karya Alexander Puskhin yang diberikan Pak Dmytro sebagai bahan bacaan. Dan ia dengar, Alexander Puskin juga menulis novel. Ia penasaran dengan novelnya itu.

 “Punya novelnya Alexander Puskhin?” tanya Soso dalam bahasa Rusia.

 Lelaki itu melongo, “Kau sudah bicara bahasa Rusia rupanya!”

 Soso hanya tersenyum. “Ada atau tidak?” tanya Soso lagi.

 “Ada satu…” kata lelaki itu sambil beranjak dari tempat duduknya, lalu mencari buku yang dimaksudkannya. Setelah menemukannya, ia menyodorkannya pada Soso.

 “Zhenikh…”[4] Soso membaca huruf Rusia di sampul buku itu.

 “Bisa membaca pula rupanya…” kata lelaki itu.

 Soso tersenyum bangga, apalagi di sebelahnya ada Irena. “Berapa?” tanya Soso.

 “Kuberi kau harga bagus, satu denga[5]…” katanya.

 “Jangan mahal-mahal, satu poluskha[6]….” tawar Soso. 

 “Begini saja… Kau beri aku satu denga, minggu depan kau datang lagi ke sini, ceritakan isi buku itu, dan akan kukembalikan satu poluskha!” kata lelaki itu.

Soso tidak tahu apa tujuan lelaki itu, entah berniat menipunya, atau justru ia sedang menguji Soso. Tapi Soso tak mau mengalah, apa susahnya, pikirnya. “Oke, aku ambil.. tapi jangan bohong, minggu depan akan kuambil satu poluskha-ku…”

Lelaki itu tersenyum.

*****

Hari Minggu depannya, Soso kembali lagi ke toko buku itu. Sendiri, tanpa ditemani Irena. Ia sudah selesai membaca dongeng ringan itu. Baginya, kisah yang diceritakan terlalu remeh, kurang nendang seperti cerita pendek Pushkin yang ia baca sebelumnya. Tapi lumayanlah, ada bahan dongeng buat anak-anak di pabrik nanti kalau “Ksatria Berkulit Macan” sudah selesai. Toh, ia juga sudah mulai bosan cerita itu terus.

“Ceritakan dalam bahasa Rusia, dan kukembalikan satu polushka-mu…” kata si Pemilik Toko itu.

Soso menceritakannya dengan lancar, hanya bahasa Rusia-nya saja yang masih agak tersendat-sendat. Si Pemilik Toko mendengarkan dengan seksama. Ia tidak mengagumi cerita itu, tapi ia mengagumi kemampuan Soso menceritakannya kembali dalam bahasa Rusia.

“Siapa namamu anak muda?” tanya lelaki itu, setelah Soso menyelesaikan ceritanya.

“Apakah itu bagian dari syarat untuk mendapatkan uangku?” tanya Soso.

Lelaki berjanggut itu tertawa, “Tentu tidak. Aku hanya ingin tahu…” katanya.

Soso menyebutkan namanya, lengkap, “Tapi panggil aku Soso saja…”

“Aku Yedidya…” lelaki itu menyebutkan namanya juga. Ia lalu mengambil uang di laci mejanya, dan memberikan satu denga, bukan satu poluskha. “Kau simpan buku itu, dan kukembalikan uangmu, utuh…”

“Beneran nih?” tanya Soso,  “Nggak pake syarat lagi?”

Lelaki itu menggeleng.

Soso menerimanya dengan senang hati. Rupanya lelaki itu tak pelit seperti penilaiannya saat ia datang dulu.

Lelaki itu kemudian malah mengajaknya ngobrol, “Aku tak punya banyak teman ngobrol…” katanya. Ia lalu bercerita kalau ia adalah keturunan Yahudi yang sudah lama tinggal di Batumi, dan pindah ke Tiflis setelah orangtuanya meninggal. Di Tiflis, ia menemukan jodohnya, sesama keturunan Yahudi, menikah dan punya dua anak perempuan. “Dulu, aku tak merasa perlu belajar bahasa Rusia. Orang-orang tuaku, pindah ke Batumi, belajar berbahasa Georgia, dan anak-turunannya hidup dengan dua bahasa. Aku pindah ke sini, dua bahasa itu sudah cukup. Tapi sekarang, dua bahasa itu tak lagi cukup. Georgia, Tiflis, sudah tak seperti dulu. Banyak berubah. Di sana-sini banyak perubahan yang bagus, tata kota, ekonomi.. tapi rasanya tidak lagi seperti di Tiflis. Lebih seperti di St. Petersburg. Orang-orang datang dari berbagai penjuru. Lalu bahasa Rusia menjadi penyambung. Bukan bahasa Georgia. Anakku sendiri sekarang berbahasa Rusia…”

“Sebagai pebisnis, meski kecil-kecilan, aku juga terpaksa harus berbahasa Rusia. Pelangganku sekarang banyaknya orang Rusia. Bukan karena jumlahnya yang semakin banyak, tapi karena memang mereka lebih melek buku. Orang-orang Georgia, mulai melupakan buku, meninggalkan sekolah, dan menghabiskan hari-harinya untuk bekerja di pabrik-pabrik orang Rusia. Mereka yang tak berpendidikan dan tak punya pekerjaan, menjadi kinto, bandit, copet, rampok. Di sini, di kampung halaman mereka sendiri…” lanjutnya. “Omong-omong, kau asli Tiflis?” tanya Pak Yedid.

Soso menggeleng, “Saya berasal dari Gori. Baru tiga bulanan di sini…” jawabnya.

“Jadi waktu pertama kau ke sini itu baru?” tanya Pak Yedid.

Soso mengangguk, “Saya baru tiba, sehari sebelumnya…”

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Soso menceritakan kisahnya, setidaknya dari tujuan awalnya ke Tiflis, sampai apa yang ia lakukan sekarang. Pak Yedid mendengarkannya dengan penuh minat.

“Luarbiasa…” kata Pak Yedid setelah mendengarkan cerita Soso. “Jadi kau sungguh-sungguh akan sekolah di situ?”

“Sejauh ini, rencananya begitu…” jawab Soso. “Tapi entahlah. Apakah ada rezeki atau tidak. Mencari empatpuluh rubel tidak mudah. Saya tak yakin ibu saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Upah saya hanya 12 kopeck seminggu, yang sepuluh untuk bayar les bahasa, sisanya saya berikan untuk orang yang saya tinggali..”

“Tapi tabunganmu yang lain sudah sangat besar dan berharga….” kata Pak Yedid.

“Saya belum menabung barang sekopeck-pun!” kata Soso.

“Kau menabung ilmu..” timpal Pak Yedid, “Kemampuan bahasa dan membacamu sudah sangat baik. Itu akan sangat berguna buat hidupmu nanti, selama kau tidak menghabiskan sisa umurmu di pabrik!”

“Saya tak mau di pabrik selamanya, meskipun nantinya saya nggak jadi sekolah!” kata Soso.

“Ya jangan lah, jangan mau jadi proletar selamanya!” kata Pak Yedid.

“Apa itu proletar?” tanya Soso.

Pak Yedid tersenyum, “Nanti lah kau baca soal itu, aku tak bisa menjelaskannya dengan baik. Intinya, jangan bercita-cita menjadi bawahan orang lain, jangan mau diperintah orang lain. Apalagi yang memerintah itu bukan bangsamu sendiri. Berusaha mandiri, bila perlu memiliki kekuatan agar tak menjadi budak jenis baru!” katanya. “Sebagai orang Georgia, kau masih beruntung memiliki tanah, meski tidak lagi berkuasa sepenuhnya untuk mengelolanya. Aku, kami, orang-orang Yahudi bahkan tak punya tanah air. Kami menyebar hanya untuk bertahan hidup. Jangankan punya tanah untuk lahan bertani, mencari sepetak tanah untuk mendirikan sinagog pun susahnya minta ampun. Tak ada cita-cita kami menguasai tanah-tanah yang kami huni sekarang. Diberi kesempatan untuk menumpang hidup pun sudah baik. Tapi kau, tanah ini milikmu, seharusnya kau yang berhak mengelola tanah ini, bukan orang lain!”

Entah kenapa omongan Pak Yedid itu merasuk ke dalam benak Soso. Hal itu, secara tidak langsung juga terpikir olehnya, tapi ia tak bisa mengungkapkannya, karena tak ada juga orang yang mau berbicara soal itu. Ia merasakan banyak hal yang dikatakan Pak Yedid. Tentang orang-orang Rusia itu terutama. Bagaimana bisa, di Gori saja, yang merupakan kampung halamannya, orang Rusia begitu berkuasa. Di Tiflis bahkan lebih terasa lagi. Bagaimana kemudian orang-orang Georgia –lupakan dulu para imigran dari Armenia atau Turki juga Yahudi—harus tersisih dari kota, dan menjadi pengabdi orang-orang Rusia. Soso membayangkan bagaimana rasanya jika ia menjadi penguasa atau bangsawan di Georgia dulu yang mendadak kehilangan kekuasaan atas tanahnya sendiri.

“Tapi bukankah Rusia membebaskan dan menjaga Georgia dari Persia atau Otoman?” tanya Soso.

“Karena Rusia yang menang lawan Otoman atau Persia. Sebelumnya kan Persia yang berkuasa di sini. Mungkin kalau orang Persia yang masih berkuasa, mereka juga akan mengatakan kalau mereka menjaga Georgia dari Rusia!” kata Pak Yedid.

Soso mengangguk-angguk paham, “Kenapa Georgia tidak menjaga dirinya sendiri ya?”

“Nah itu…”

“Tapi Rusia kan membangun Georgia, memberi pendidikan, menguatkan agama…” kata Soso kemudian.

“Apa Persia dan Otoman tidak akan begitu juga kalau masih berkuasa di sini?” Pak Yedid balik bertanya. “Kau bahkan mungkin harus menjadi pengikut Muhammad dan menyembah Tuhan mereka, belajar dengan cara mereka, untuk menjadi bagian dari mereka…”

“Berarti Rusia sedikit lebih baik kan?” tanya Soso.

“Sedikit lebih baik karena kalian lebih dulu menjadi pengikut Isa dibanding sebagian besar orang Azerbaijan dan Armenia yang lebih dulu menjadi pengikut Muhammad!” kata Pak Yedid.

“Lah Bapak sendiri pengikut siapa? Isa atau Muhammad?” tanya Soso.

Pak Yedid tersenyum, “Kami pengikut Musa…”

“Terus, di mana para pengikut Musa sekarang?”

“Para pengikut Musa tak lagi punya tanah. Kami terjepit di antara pengikut Isa dan Muhammad. Hari ini kami harus tunduk pada para pengikut Isa, besok harus diperintah para pengikut Muhammad, lalu pengikut Isa lagi, lalu Muhammad lagi…” kata Pak Yedid. “Karena itu, kami kemudian menyebar meninggalkan kampung halaman sendiri, hanya untuk bertahan hidup dan tetap menjadi pengikut Musa!”

“Kenapa tidak menjadi pengikut salah satunya?” tanya Soso.

“Itu bukan soal mudah!” jawab Pak Yedid. “Tidak mungkin juga kan setiap saat harus berubah. Hari ini ikut Isa, besok ikut Muhammad…”

Soso mengangguk-angguk, ia mulai paham. “Dimana seharusnya pengikut Musa berada?” tanyanya kemudian.

“Seharusnya kami berada di Jerusalem!” 

*****

BERSAMBUNG: (10) Solidaritas di Pabrik

Catatan:

[1] Masakan dari berbagai jenis kacang, umumnya kacang merah, direndam semalaman bersama bumbu-bumbu, keesokan harinya baru dimasak perlahan sampai

[2] Mirip dengan sambal di Indonesia, bahan utamanya adalah cabai atau paprika, bawang putih, ketumbar, garam, kenari, dan lain-lain. Ada juga versi yang diberi tambahan tomat sehingga mirip sambal tomat. Selain itu, ada versi keringnya yang disebut dengan ‘svanuri marili.’ Sama seperti sambal juga, digunakan untuk penyedap berbagai hidangan gurih, dioleskan pada roti, dan sebagainya.

[3] Dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘The Queen of Spades’

[4] Pengantin Pria; Rusia. Cerita yang ditulis Alexander Puskin berdasarkan dongeng Jerman ‘Pengantin Perampok’ yang dikumpulkan oleh dua bersaudara Jacob dan Wilhelm Grimm yang dikenal dengan Brothers Grimm.

[5] Setengah kopeck

[6] Setengah denga atau seperempat kopeck

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun