Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Stalin: (9) Toko Buku Yahudi

5 Desember 2020   09:09 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:42 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Siapa namamu anak muda?” tanya lelaki itu, setelah Soso menyelesaikan ceritanya.

“Apakah itu bagian dari syarat untuk mendapatkan uangku?” tanya Soso.

Lelaki berjanggut itu tertawa, “Tentu tidak. Aku hanya ingin tahu…” katanya.

Soso menyebutkan namanya, lengkap, “Tapi panggil aku Soso saja…”

“Aku Yedidya…” lelaki itu menyebutkan namanya juga. Ia lalu mengambil uang di laci mejanya, dan memberikan satu denga, bukan satu poluskha. “Kau simpan buku itu, dan kukembalikan uangmu, utuh…”

“Beneran nih?” tanya Soso,  “Nggak pake syarat lagi?”

Lelaki itu menggeleng.

Soso menerimanya dengan senang hati. Rupanya lelaki itu tak pelit seperti penilaiannya saat ia datang dulu.

Lelaki itu kemudian malah mengajaknya ngobrol, “Aku tak punya banyak teman ngobrol…” katanya. Ia lalu bercerita kalau ia adalah keturunan Yahudi yang sudah lama tinggal di Batumi, dan pindah ke Tiflis setelah orangtuanya meninggal. Di Tiflis, ia menemukan jodohnya, sesama keturunan Yahudi, menikah dan punya dua anak perempuan. “Dulu, aku tak merasa perlu belajar bahasa Rusia. Orang-orang tuaku, pindah ke Batumi, belajar berbahasa Georgia, dan anak-turunannya hidup dengan dua bahasa. Aku pindah ke sini, dua bahasa itu sudah cukup. Tapi sekarang, dua bahasa itu tak lagi cukup. Georgia, Tiflis, sudah tak seperti dulu. Banyak berubah. Di sana-sini banyak perubahan yang bagus, tata kota, ekonomi.. tapi rasanya tidak lagi seperti di Tiflis. Lebih seperti di St. Petersburg. Orang-orang datang dari berbagai penjuru. Lalu bahasa Rusia menjadi penyambung. Bukan bahasa Georgia. Anakku sendiri sekarang berbahasa Rusia…”

“Sebagai pebisnis, meski kecil-kecilan, aku juga terpaksa harus berbahasa Rusia. Pelangganku sekarang banyaknya orang Rusia. Bukan karena jumlahnya yang semakin banyak, tapi karena memang mereka lebih melek buku. Orang-orang Georgia, mulai melupakan buku, meninggalkan sekolah, dan menghabiskan hari-harinya untuk bekerja di pabrik-pabrik orang Rusia. Mereka yang tak berpendidikan dan tak punya pekerjaan, menjadi kinto, bandit, copet, rampok. Di sini, di kampung halaman mereka sendiri…” lanjutnya. “Omong-omong, kau asli Tiflis?” tanya Pak Yedid.

Soso menggeleng, “Saya berasal dari Gori. Baru tiga bulanan di sini…” jawabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun