“Anak muda itu harus banyak makan ikan,” celetuk Om Anas, sembari menaruh sepotong ikan nila bakar ke piringku. Senyum kembali merekah di bibirku yang memerah karena pedasnya sambal. Berlanjut, hingga hidangan tandas tak bersisa.
***
“Om, saya duluan ya?” tukasku meminta izin, hendak menyalami tangannya kembali.
“Hehehe. Sukses selalu ya, Raka,” doa Om Anas yang langsung kuaminkan segera. Tangannya kembali menepuk bahuku hangat, hanya sekarang ia tampak sedikit merunduk, sehingga terasa geli kala janggut tajamnya menyentuh permukaan tengkukku. Lalu, aku dan Ayah keluar dari ruangan “ajaib” ini.
Tak terasa, matahari kian merayap menuju ufuk barat. Bahkan azan zuhur usai berkumandang. Avanza kelabu tua ini baru saja keluar dari kawasan lapas. Senyum tak henti-henti terukir dalam bibirku. Entah kapan redanya, tapi tak mengapa. Suatu kehormatan yang luar biasa, bisa ngopi dan makan, sembari mendengar gagasan keren mereka.
“Seru juga ya, Yah,” celetukku iseng, dengan senyum yang masih terpampang.
“Nah. Itu lah manfaatnya berbincang bersama orang pintar, Bang. Tidak terasa, waktu kita sudah tandas banyak di lapas kan?” tanya Ayah retoris, aku termanggut cepat tanda setuju.
“Lain kali, jikalau Ayah memiliki kesempatan untuk bertemu orang-orang hebat, akan Ayah ajak Abang,” ucap Ayah kepadaku yakin. Semangat mengangkara, memenuhi relung hati. Siap untuk tantangan selanjutnya.
Terima kasih, Om Anas Urbaningrum, atas kehangatan bersikap, bertutur, petuah, dan sekilas doa yang kau siratkan untukku.
Terima kasih, Lapas Kelas 1 Sukamiskin, engkau bak sekolah super kilat bagiku, 2,5 jam laksana sepenggal menit dengan ilmu visioner mereka yang hebat. Wallahualam bi ashawwab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI