Mohon tunggu...
Aletheia
Aletheia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar di SMP Alam Planet Nufo, Rembang, Jawa Tengah

Pelajar ingusan yang tengah bersengketa dengan kegabutan duniawi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Setengah Jam

1 Juni 2022   12:00 Diperbarui: 1 Juni 2022   12:03 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                Tiada kata terlambat bagi dirgantara gelap kelabu untuk kian membiru, sehingga hanya biru bayi yang terhampar luas kala kepala kita mendongak ke atas. Laskar kelelawar pun menghentikan penerbangan mereka sejenak, bergilir dengan burung-burung kecil yang sengaja menutup jam tidur mereka, bertengger di atas dahan pepohonan jalan, membiarkan kesadarannya terkumpul prima, sembari mengawasi keadaan sekitar. Terus, sampai sang fajar berani menyingsing pendarnya di ufuk timur.

            Tak usah peduli dengan arus balik lebaran yang super padat, karena kobaran semangat insan bernyawa di Kota Bandung kuasa melumat hebat. Terbukti dengan keramaian akbar di jalan utama Soekarno-Hatta pagi ini. Para penglajo dengan dagangan siap laris mereka, para pegawai berdasi dengan jam terbang penuh mereka, para penarik kendaraan umum, becak, bentor, angkot, dengan para penumpang berotak kalut.

Semuanya terlihat sibuk memenuhi pelupuk mata, disusul dengan kicauan koloni burung-burung kecil yang berbahagia di bawah moleknya golden hour. Menurutku, terkadang, menjadi cergas dan cekatan itu adalah suatu kebutuhan. Karena kehidupan diri, keluarga, pada dasarnya manusia, bergantung pada kepiawaian insan dalam mengutuk rasa malas dan enggan. Menjadi motif derasnya peluh mereka berderai.

            Seperihal dengan Avanza kelabu tua berplatkan Kota Padang ini, berbaur dengan para penafkah juang di atas jalan padat beraspal yang sama. Dengan raut gembiranya, Ayah nampak tak terusik dengan kemacetan di hadapannya. Malah betah dalam lamunannya, melilau skenarium hiruk pikuk Kota Bandung via jendela kokpit, dan pupil matanya sesekali membuntuti para pejalan kaki yang kebetulan menyebrang di depan matanya. Bingung mulai merundungku.

            Destinasi yang kelabu akan kupertajam dengan tanya yang cergas kulontarkan.

            “Ayah, pagi ini kita mau kemana?”

            “Kita hendak membesuk teman Ayah, Bang. Dia orang hebat,” jawab Ayah runtut, meskipun matanya enggan beranjak barang sejenak.

            “Oh. Siapa namanya, Yah?” tanyaku basa-basi, membuat mata Ayah sedikit tergubris.

            “Mas Anas Urbaningrum, Bang,” jawab Ayah singkat. Giliran aku yang bergeming.

            Anas Urbaningrum? Nama yang familiar sekali di pendengaranku. Seperti pernah terdengar di suatu tempat, namun entah di mana. Mendatangi di satu waktu, namun entah kapan. Ah, bingung kembali merundungku.

            “Mm.. Om Anas itu yang pernah masuk televisi tahun 2014 itu bukan, Yah?” tanyaku memastikan. Kini, Ayah menoleh ke arahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun