Mohon tunggu...
Aletheia
Aletheia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar di SMP Alam Planet Nufo, Rembang, Jawa Tengah

Pelajar ingusan yang tengah bersengketa dengan kegabutan duniawi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Setengah Jam

1 Juni 2022   12:00 Diperbarui: 1 Juni 2022   12:03 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            “Silakan duduk di sini, Pak!” ujar Pak Wahyu untuk yang kesekian kalinya. Aku dan Ayah hanya mengiyakan dalam diam, sembari menunggu Pak Wahyu menatakan meja dan kursi untuk kami. Sekaligus menyediakan beberapa botol air minum untuk tiga kursi.

            Aku baru sadar, keluarga seberang tampak tidak nyaman dengan kedatangan kami. Mereka terus mencuri-curi pandang kecil menjengkelkan. Lebihnya, cara mereka memandangku tidak begitu mengenakkan. Ada apa gerangan? Ah, entahlah. Masa bodo dengan sikap mereka. Segera kumengambil posisi duduk di paling pojok, tepat di sudut ruangan. Posisi andalanku, di manapun, kapanpun itu.

            “Eh, Bang. Seharusnya Ayah yang duduk di sana,” sahut Ayah. Aku yang baru saja terduduk, seketika terperanjat. “Nanti Mas Anas akan duduk di sebelah Abang. Masak yang kenal Ayah, sementara yang duduk di sampingnya Abang?”

            “Ohh. Ya sudah, Yah,” timpalku, kemudian segera beranjak tanpa bertanya. Mereka kembalu melirik tajam ke arahku. Ah, entah apa yang Ayah pikirkan. Aku hanya bisa menuruti titahnya.

            Tak lama kemudian, pintu ruang besuk terbuka. Seorang pria sekonyong-konyong muncul dari sana. Pria berbadan tinggi, tegap, berbaju polo hitam berlengan pendek rapi,  mata sipitnya terlapisi kacamata berbingkai kotak, rambut pendek beruban, seraya melihat kepada Ayah yang duduk di kursi terpojok. Kedatangannya seolah-olah mengundang sunyi yang tiba seketika. Apalagi dengan raut terkejut mereka.

            “Mas Anas,” ujar Ayah memanggil pria berbaju hitam itu. Kemudian dia tersenyum hangat kepada Ayah, menghampiri Ayah, dan mereka saling bersalaman layaknya kawan akrab pada umumnya. Apakah Ini, Anas Urbaningrum yang Ayah maksud?

            Usai bersalaman, Om Anas melihatku cergas, walau tebersit sedikit kebingungan di wajahnya.

            “Ini anak saya yang pertama, Mas,” jelas Ayah.

            “Oh! Siapa namanya?” tanya Om Anas lembut.

            “Raka, Om,” jawabku berusaha menyamai halusnya beliau berucap.

Kuraih tangan beliau cepat, kemudian menyalaminya dengan takzim. Kedua telapak tangan besar Om Anas menepuk pundakku pelan, seraya tersenyum hangat kepadaku. Sebelum kami duduk kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun