Mohon tunggu...
Aletheia
Aletheia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar di SMP Alam Planet Nufo, Rembang, Jawa Tengah

Pelajar ingusan yang tengah bersengketa dengan kegabutan duniawi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Setengah Jam

1 Juni 2022   12:00 Diperbarui: 1 Juni 2022   12:03 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            “Wah. Hebat ini. Penyajian tulisannya sudah setara dengan mahasiswa semester akhir,” tukas Om Anas memuji. Senyum terus terpampang di bibirku. Tak henti-henti.

            “Ini kapan dimuatnya?”

            “Tiga hari yang lalu, Om,”

            “Bersyukurlah Raka menulis karena minat. Om dulu menulis karena tuntutan keadaan, Raka. Karena menjadi mahasiswa itu harus keren, membiayai hidup sendiri, mentraktir teman, iya kan? Hehehe. Dengan menulis di berbagai media massa seperti Jawa Pos, Surabaya Pos, dan lainnya, Om mendapatkan tambahan uang,” Om Anas berkisah, aku terus menyimak segala rangkaian katanya. Sebelum Pak Wahyu kembali dengan tiga cangkir kopi hitam hangat yang ia suguhi.

            “Itu keuntungan dari menulis yang pertama. Yang kedua, tidak secara langsung, nama kita juga akan naik di mata dosen. Segala tugas yang Om kerjakan, pasti akan diterima tanpa perintah untuk merevisi. Karena dosen sudah percaya dengan kualitas menulis Om, apalagi Om mengambil jurusan politik yang sering membedah artikel semacamnya. Jadi sudah dianggap bagus saja tugas-tugas yang Om serahkan ke dosen,” jeda sejenak, Om Anas menyeruput kopi hitamnya. Aku pun mengikuti, meskipun di lidah terasa sangat pahit.

            “Nah. Dari tulisan Raka tadi, bisa kita ambil kesimpulan, bahwa Raka memiliki elemen bakat di sana. Itu harus ditingkatkan terus menerus. Mungkin perumpamaannya, dari 100 orang yang ada, hanya kurang dari 20 orang yang terampil berliterasi. Sebenarnya, negara kita itu bukan terlalu banyak mengadopsi orang bodoh, tetapi banyaknya orang pintar yang diam,” tegas Om Anas dalam halus ucapannya, lalu kembali menyeruput kopinya.

            “Oleh karena itu, dengan Raka menulis ide dan berbagai pokok pemikiran. Raka juga harus melatih public speaking Raka. Bagaimanapun juga, masyarakat lebih membutuhkan pemikiran-pemikiran hebat dari seorang pemimpin. Mereka ingin mendengar ide-ide dahsyat seorang pemimpin. Itu lah pentingnya melatih keterampilan verbal di muka umum, Raka,” terang Om Anas bersemangat, sehingga tangan beliau bermain, beranimo. Sebelum akhirnya, Ayah mengambil alih topik pembicaraan. Di sinilah, perenunganku dimulai.

            Semakin jauh, dalam, larut berkecimpung dalam tuturan beliau. Semakin kumemahami arti dari karisma, wibawa, dan kehebatan seorang Anas Urbaningrum. Tidak keliru Ayah menyebut Om Anas sebagai tokoh hebat. Tak sedikitpun wajah beliau mengguratkan kegalauan walaupun dipenjara begitu lama. Di sini, justru orang-orang berdatangan hanya untuk berdikusi, meminta pendapat dan saran. Bahkan banyak juga yang datang hanya untuk makan bersama dan menyaksikan Om Anas tertawa lepas.

       Pemimpin hebat memang mendatangkan pengikut dengan sendirinya. Tidak salah mengapa beliau digadang-gadang sebagai tokoh berpengaruh di dalam hegemoni politik Indonesia. Benar, banyak sekali orang pintar yang memilih untuk diam. Iya, entah diam atas kemampuan yang minim, atau diam karena terbungkam oleh hukum yang mencekam. Yang terpenting, eksistensi mereka sangat dibutuhkan bangsa, semoga berkuasa.

Abah Nasih dengan Om Anas telah kenal jauh sebelum Planet Nufo didirikan. Bahkan Om Anas memberikan tanggapan positif kepada Abah kala beliau hendak merintis Planet Nufo di Rembang. Tak heran mengapa Om Anas tidak meragukan kualitas pendidikan yang pernah Abah utarakan rancangannya kepada Om Anas. “Hebat!” tanggap Om Anas.

Kata Ayah, juga beberapa informasi yang kudapat dari media massa, bahwa Om Anas akan dibebaskan tahun depan. Padahal, Om Anas dapat menjadi salah satu kandidat untuk mentakhtai Indonesia, duduk di kursi presiden. Namun, apa boleh buat? Butuh waktu yang cukup lama untuk memperbaiki citra beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun