Mohon tunggu...
Aletheia
Aletheia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar di SMP Alam Planet Nufo, Rembang, Jawa Tengah

Pelajar ingusan yang tengah bersengketa dengan kegabutan duniawi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Setengah Jam

1 Juni 2022   12:00 Diperbarui: 1 Juni 2022   12:03 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            “Oh, iya iya. Nama saya Wahyu, Pak,” sapanya ramah, menyalami Ayah, kemudian kepadaku, senyum di bibir ranum gelapnya begitu hangat terasa. Sebelum akhirnya, kembali menatap Ayah.

            “Mari ikuti saya, Pak! Kita menunggu di kursi tunggu saja,” ujar Pak Wahyu kepada Ayah. Mereka pergi, aku membuntuti.

            Gedung utama memiliki serambi yang cukup luas, sehingga mampu memuat beberapa kursi tunggu yang panjang dari kayu. Sepasang pintu utama berlapis baja yang tebak mengintimidasi bulu romaku, namun ada pintu kecil di pintu kiri dengan jeruji besi kecil di bagian atasnya. Ayah dan Pak Wahyu duduk di kursi paling belakang, sementara aku tepat berada di depan mereka.

            “Ini anak Bapak yang pertama?” tanya Pak Wahyu basa-basi.

            “Iya, Pak. Raka, namanya,” warta Ayah singkat. Pak Wahyu termanggut paham.

            “Tunggu dulu saja, Pak! Tadi orangnya sedang olahraga, main bola, mungkin setelah itu mandi, dan makan,” warta Pak Wahyu membalas. Giliran Ayah yang termanggut. Aku pun diam mematung.

            Hampir 20 menit kami menunggu di kursi tunggu ini. Banyak sekali orang yang bersimpang siur di penglihatanku, baik pria kekar dan berseragam, maupun mereka yang leluasa dengan style kasual. Dari pintu kecil itu lah mereka keluar dan masuk. Sebelum akhirnya sepi datang menghampiri. Para penjaga berseragam pun kerap berhilir mudik di depanku, hanya sekadar untuk melontarkan candaan kepada Pak Wahyu, lalu lekas pergi.

            Kembali kumenengadahkan kepala ke sekeliling, sembari bergumam kecil. Wah. Ternyata orang hebat sekelas Om Anas Urbaningrum ditahan di tempat seperti ini. Ah, semakin tak sabar untuk bertemu dengan beliau.

            “Ayo, Pak! Kita tunggu di dalam saja. Sebentar lagi siap,” tukas Pak Wahyu kepada Ayah, tidak secara langsung menghimbauku untuk kembali mengekor pada Ayah. Akhirnya, bokong panasku beranjak dari permukaan keras kursi itu. Terlalu lama duduk.

            Inilah tampak dalam dari sepasang pintu baja itu, lobi gedung utama. Sejauh mataku melilau, hanya ada tiga ruangan, dan satu meja layaknya resepsionis. Bercat putih, beralaskan beton. Masing-masing diberi penjagaan ketat oleh pria kekar berseragam biru cerah menyeramkan, namun wajah mereka ramah. Terbukti dari canda tawa mereka kepada Pak Wahyu di luar tadi. Kemudian, kamu dituntun menuju ruangan di balik pintu baja kecil tadi.

            Ah, ternyata bukan hanya kami yang hadir di dalam ruangan ini. Ada seorang narapidana yang tengah dijenguk juga. Mungkin bersama keluarganya, dapat terlihat dari kedekatan mereka satu sama lain. Segera kumelewati mereka dengan sedikit menunduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun