“Wah. Dulu sering masuk televisi Om Anas itu, Bang. Mungkin yang Abang tahu cuma saat 2014 itu,” ujar Ayah menimpali. Ah, ternyata benar.
Anas Urbaningrum, kembali kuucap nama itu, namun cukup jelas kentara kali ini. Mantan ketua umum DPP Partai Demokrat pada tahun 2010. Pernah menjadi anggota DPR RI, dan pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI yang diresmikan pada tahun 1997, senior Ayah. Menilik jejak politik hebat beliau, rasa penasaran hampir saja membuncah dari pikiranku.
“Jadi Om Anas ditahan di Bandung, Yah?” tanyaku.
“Iya, Bang. Tepatnya di Lapas Kelas 1 Sukamiskin. Itukan masih Bandung, Bang,” jelas Ayahku lebih bersemangat dari sebelumnya.
Populasi pejalan kaki telah menyusut sekarang, sehingga Ayah mampu melajukan mobil tua ini. Melintasi deretan pepohonan jalan yang sekelibat kulihat. Melewati bangunan berarsitektur Belanda kuno bersejarah, menjadi pojok estetik bagi para remaja pegiat media sosial. Kota Bandung memang ciamik. Dari segi infrastruktur, arsitektur, tata letak kota, dan lain-lainnya dikelola dengan teliti. Kota Kembang ini berhak merekahkan bunga-bunga indah itu kembali.
***
“Tujuan anda berada di sebelah kiri,” navigasi pintar itu kembali berbicara, siapa lagi jika bukan Google Maps. Destinasi kami tepat berada di depan mata.
Gerbang putih panjang tersibak lebar saat kami hendak memasuki kawasan lapas. Diteduhi oleh tetumbuhan hijau dengan pepohonan rindang di bagian depan. Warna merah menyala, beraksen putih dan coklat menambah kesan perkasa dari gedung utama. Beratapkan khas Keraton Kasepuhan, perlambang mengakarnya kebudayaan nan tradisional, diperlengkap dengan beberapa lembaga koperasi yang pastinya senaungan dengan lapas. Hingga akhirnya, Ayah memarkir mobil di depan gedung utama.
“Ayo turun, Bang!” ujar Ayah, sembari beranjak dari jok kokpitnya, aku mengekor padanya.
Di bawah bayangan pohon raksasa nan meneduhi, tidak mungkin sirkulasi udara segar kan terganggu. Sedang udara di pelataran Sunda teramat segar dan dingin. Sekali lagi, Bandung benar-benar ciamik. Tiba-tiba, seorang pria paruh baya, berbadan lumayan, mengenakan jaket kelabu, menghampiri kami dengan cekatan.
“Dengan Pak Ukma ya?” tegurnya mengawali. Ayah tersenyum mengiyakan.