Mohon tunggu...
Arie Lesmana
Arie Lesmana Mohon Tunggu... Novelis - Saya hanya seorang pemuda yang hobi menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang mahasiswa yang selalu meng-upgrade diri dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aldo Faisal Umam: Tembok Rasa

25 Oktober 2021   03:51 Diperbarui: 25 Oktober 2021   14:33 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Aldo Faisal Umam

Kita ditakdirkan Tuhan untuk bertemu,

Tapi semesta tak mengijinkan kita untuk bersatu. 

Ada sekat yang menghadang, seolah menjadi penghalang.

Padahal kita punya rasa yang sama, tapi dipaksa untuk sirna. 

- Aldo Faisal Umam

*****

 

Rasa yang kemarin ternyata hanyalah semu. Sementara tapi bukan fatamorgana. Waktu tak bisa diulang, tapi rasamu harus dibuang. Egois, hanya memikirkan perasaannya tanpa memikirkan hubungan pertemanannya. Semua tentang rasa yang terlambat disadari ketika aku sudah mulai beranjak pergi.

Kisah kita kemarin memang sudah berakhir, tapi kisahku yang kemarin bukanlah yang terakhir. Aku berdiri tegap disini, menatap keramaian yang tak pernah sirna. Menatap pedagang pedagang yang sedang melayani mereka yang membeli dagangan mereka, sedari pagi. Pun area parkir gor yang berjejer motor yang diatasnya masih ada sang pengendara. Jangan lewatkan kumpulan anak basket yang berjalan bersama-sama memasuki area gor sambil bercanda ria. Sedang aku berjalan sendirian, sengaja.

Teriakan dan nyanyian ultras terdengar riuh kala aku mulai memasuki gor dan berjalan menuju tribun. Aku berjalan menaiki tribun paling atas dan pojok adalah spot ternyamanku. Tribun seberang dikuasai penuh oleh satu sma yang sedang bertanding. Entah dimana supporter sma yang menjadi lawannya, aku pikir satu tribun denganku. Aku duduk diam menyaksikan pertandingan dengan khidmat, walau kadang suara teriakan menganggu indra pendengaranku.

"Sorry boleh nanya?"

"Ya?" Aku mendongak, menatap seorang cowo yang berdiri disampingku dengan kostum basketnya. Bandung, aku simpulkan itu karena nama sekolahnya terpampang jelas dikostumnya.

Dia duduk disampingku, "Sma mana yang lagi tanding?"

"Sma Pejuang lawan sma Pahlawan."

"Ikut tanding juga?" Aku kira dia hanya bertanya sekali. Dan soal tebakannya karena mungkin aku membawa ransel yang cukup berisi. Kalo hanya menonton mungkin membawa slingbag saja sudah cukup.

"Ikut," jawabku sekenanya. Jujur aku risih ngobrol banyak dengan orang asing.

"Dari sma mana?" Raut wajahnya kentara sekali penasaran.

"Sma Bahtera."

"Kenalin gua Beni dari sma Taruna." Dia mengulurkan tangan kanannya dan senyum manisnya terukir diwajahnya.

"Dini." Aku membalas jabatan tangannya dan tersenyum simpul.

Aku langsung melepaskan tanganku dari jabatan tanganya kala dia menatapku lekat dengan senyum yang masih terpasang diwajahnya. Untung suara dari loudespeaker yang memberitahukan bahwa pertandingan akan berakhir 15 menit lagi, mengalihkan perhatian Beni. Dari sudut ekor mataku, aku melihat dia berdiri dan menanggalkan tasnya dibahu kanannya.

"Kalo ketemu lagi berarti jodoh," ucap Beni sambil cengengesan. Aku hanya diam tak menanggapi ucapan Beni yang tak masuk akal. Dia berjalan turun dari tribun yang sebelumnya melambaikan tangan padaku, menghampiri teman-temannya yang akan melakukan pemanasan.

Dari sini aku melihat Beni yang memimpin pemasanan, yang setelahnya melakukan teknik teknik dasar basket. Pertandingan selesai dengan score 37 - 25 yang dimenangkan oleh sekolah yang menguasai tribun, sma Pejuang. Pertandingan selanjutnya yaitu sma Beni dengan sma tetangganya. Tim Beni sudah mulai memasuki lapangan dan menempati tempatnya masing-masing di Zone Defense 2-3 yang dimana artinya Tim Beni berada didalam sebagai tim yang bertahan. Posisi play maker bahkan diisi oleh Beni. Aku simpulkan bahwa Beni adalah sang kapten basket.

Aura kepemimpinan Beni begitu menguar. Beni sepertinya benar benar berbakat dalam memimpin. Aku bahkan terkagum ketika dia memasukan bola kedalam ring lawan dengan teknik jump. Pertandingan selama 20 menit sudah berakhir. Kamu pasti tahu siapa yang menjadi pemenang dalam pertandingan basket putra yang terakhir hari ini, yap sma Taruna. Beni benar benar sesuatu.

Wasit yang turun ke lapangan meminta para juri untuk istirahat selama 15 menit. Dan waktu itu aku dan teman-teman yang lain gunakan untuk pemanasan dan latihan sebentar. Pertandingan basket putri, diawali dengan sma ku yang melawan sma lawan yang sudah sering bertemu, sma Generasi. Posisiku dibasket hanya sebagai center, tahu diri saja aku paling pendek ya walaupun ga terlalu pendek banget dengan tinggi 158cm. Karena posisiku ini aku berada didaerah bawah yang bertugas sebagai rebonder.

"Wah kita jodoh." Aku terlonjak kaget ketika Beni berdiri didepanku tiba-tiba, saat aku selesai mengikat tali sepatu yang sempat terlepas.

Beni terkekeh.

"Kenapa yakin banget?" tanyaku iseng.

"Lo percaya?" Bukannya menjawab, Beni malah bertanya balik.

"Percaya sama lo musyrik." Aku mengikat rambutku yang sedikit awut-awutan tanpa menatap Beni.

Mendengar jawabanku, Beni terbahak. Apanya yang lucu?

Lina, teman dekatku dieskul basket, menghampiriku. "Din, ayo buruan mau befering dulu."

"Yaudah ayo," ajakku sambil mengambil handuk kecil ditasku.

"Bentar, gua mau ngomong dulu," ucap Beni menahanku.

Aku menatap Lina seolah mengatakan, Duluan aja nanti gua nyusul, sebentar doang. Lina yang mengerti pun mengangguk dan pergi meninggalkanku.

"Apa?"

"Inget yang gua bilang kalo kita ketemu lagi berarti jodoh?"

Aku mengangguk, mengiyakan saja biar cepat.

"Berarti setelah ini kalo ketemu lagi, bagi wa lo."

"Lo nahan gua cuma mau bilang itu doang?" Aku menatap Beni tak percaya, yang kesalnya malah diangguki oleh dia.

"Bener bener," lanjutku pergi begitu saja meninggalkan dia yang sedang tersenyum gila ketika aku menoleh sebentar kebelakang.

Pertandingan yang sudah berlangsung membuat tubuhku melemas. Aku butuh asupan nutrisi. Ditambah lagi wajah wajah murung teman temanku menambah pikiranku. Sma ku kalah score dengan sma Generasi, ya walaupun hanya selisih satu point itu yang membuatku gemas. 

Siku tanganku lecet berdarah tapi aku belum mengobatinya. Aku terlalu sibuk mengobati hatiku yang merasa gagal untuk bisa ketahap selanjutnya. Bagaimana tidak kecewa, ketika kami latihan dengan mati-matian untuk bisa unggul tapi hanya karena satu orang yang egois semuanya berantakan. Bahkan aku masih ingat bagaimana raut kecewa coach kami ketika kami begitu buruk untuk bisa bersatu.

Kini kita beranjak untuk pulang karena tak mau menambah luka dihati dengan masih tetap berada disini. Aku bahkan masih disini ketika teman temanku yang lain sudah beranjak pulang. Dengan langkah gontai aku beranjak keluar untuk menghirup udara. Aku masih mau disini.

"Gagal sekali bukan penghalang buat bisa sukses. Selagi masih ada kesempatan terus aja mencoba walau harus gagal itu bahkan lebih baik daripada ga sama sekali."

Aku bahkan menghiraukan Beni yang sudah berada disampingku. Berjalan keluar bahkan tak tau mau kemana. Menoleh saja aku tidak.

"Please jangan ganggu gua dulu," pintaku sambil terus berjalan dengan pandangan kedepan.

"Lo mau bunuh diri?"

Mendengar ucapannya, aku menoleh dengan cepat. Beni hanya memandangku seolah, pertanyaan gua salah? 

"Gua masih waras," ucapku yang langsung berjalan dengan cepat menuju stand eskrim. Aku butuh yang dingin dingin. Beni menyusulku kemudian.

*****

Beni

Gua hari ini grandfinal. Nonton ya ;)

Dini

Males bgt

Beni

Biar kayak orang orang gitu dibawain minum disemangatin.

Dini

Gua ga termasuk orang orang yang lo maksud.

Beni

Yauda gpp

Chat terakhir Beni hanya aku baca saja. Sebelum pulang kita memang bertukar nomer dengan Beni yang memakai alasan konyol. Berarti setelah ini kalo ketemu lagi, bagi wa lo. Kita semakin dekat dan saling menghubungi satu sama lain, ya meskipun belum bertemu kembali sejak hari itu. Hari ini dia memintaku datang untuk menemaninya. Tim Beni berhasil lolos sampai granfinal, dan hari ini adalah penentuan pemenang.

Aku memang munafik. Ketika dichat aku mengatakan tak ingin menontonnya, nyatanya aku berdiri disini didepan pintu masuk gor mengantri untuk bayar masuk. Sepintar mungkin aku bersembunyi agar tak bertemu Beni. Setelah mendapatkan cap, aku masuk menaiki tribun paling bawah pojok. Mataku berkeliaran mencari sosok yang menungguku.

Dari kejauhan aku melihat  Beni yang sedang duduk didekat pintu dengan tangan yang memegang ponsel. Matanya terlihat bimbang dengan sesekali menatap ponselnya. Mungkin sedang menunggu chat seseorang. Aku melihat dia membuka ponselnya dan mengetikan sesuatu.

Ting.

Beni

Lo seriusan gabakal dateng? Gua nungguin loh.

Membaca chat dari Beni aku menahan tawaku yang hendak keluar.

Dini

Jangan nunggu yang gapasti.

Setelah membalasnya aku mematikan ponselku dan memasukannya kedalam slingbag. Kulihat lagi Beni yang wajahnya begitu kentara sedang badmood. Lantas aku berdiri dan keluar menuju tukang jualan untuk membeli minuman, yang selepasnya aku masuk kembali. 

Aku masih melihat Beni yang masih duduk ditempatnya. Aku menghampirinya dan dia tidak menyadariku. Lantas aku menempelkan minuman yang dingin ke pipinya, ku lihat dia terlonjak kaget. Entah karena minuman yang dingin menempel dipipinya atau aku yang datang tiba-tiba.

"Katanya gabakalan datang," ucap Beni sebagai sambutan awal kita untuk kedua kalinya bertemu lagi. Bibirnya mengerucut kesal.

"Ga seneng gua dateng? Yaudah balik lagi," ujarku sambil berdiri. Beni dengan cepat menahan tanganku seolah tak rela aku pergi.

"Jangan ih," ucap Beni menahanku untuk tak pergi.

Aku duduk disampingnya yang kebetulan kosong, dan menyodorkan minuman yang aku beli. Dia hanya menerima air mineral sedang minuman isotonik tidak ia ambil.

"Sorry gua alergi minuman kecuali air putih," terang Beni yang setelahnya meminum minuman yang aku beli.

Aku terkejut, bagaimana bisa? Aku bahkan baru mengetahui ada orang yang alergi semua minuman kecuali air putih.

"Sorry gua gatau," ucapku kikuk.

"Santai aja kali lagian gua baru ngasih tau lo. Wajar aja lo gatau." Beni menatapku pengertian.

"BEN, BURUAN MAU BEFERING!" Teriakan cowo yang kukira temannya Beni mengalihkan perhatian Beni dariku. Dia segera membereskan barang barangnya dan memasukannya  kedalam tas. Bahu kanannya ia pakai untuk menanggalkan tasnya dan tangan kanannya  memegang minuman.

"Gua kesana duluan ya."

"Semangat Beni," ucapku menyemangati dia. Wajahnya terlihat sumringah.

"Thank"s," balas Beni sambil mengusap pelan kepalaku. Aku tertegun, jantungku berdegup kencang.

"Jangan lupa nafas." Beni berlalu setelah mengucapkan itu sambil tertawa menertawakan reaksiku yang hanya diam.

Pertandingan granfinal kali ini begitu ramai, supporter dari dua sekolah itu tampak kompak. Bahkan tribun begitu padat dan untungnya aku kebagian tempat ditribun dimana supporter sekolah Beni berada. Permainannya begitu sengit dan tak jarang ada yang bermain kasar. Aku melihat Beni yang kadang melerai teman satu timnya untuk tidak memakai emosi. Tapi sayang, kekelahan harus didapat oleh Tim Beni ketika melakukan freetrowh gagal sekali. Alhasil score berbeda satu point.

Beni menghampiriku setelah dia melakukan penghormatan kepada supporternya karena telah mau berpartisipasi dan meminta maaf karena harus gagal untuk menjadi pemenang pertama. Walau begitu aku masih tetap bangga kepadanya.

Mata-mata penasaran kian menatapku, mungkin mereka bertanya-tanya siapa diriku yang bisa duduk disampingnya?. Beni meneguk minumannya dengan rakus. Keringatnya masih terlihat jelas membanjiri keningnya. Yang kemudian mengambil handuk untuk mengelap keringatnya.

"Gua dijodohin." Perkataan yang terlontar dari mulut Beni membuat perhatianku yang tadinya mengarah kedepan, menatap lekat Beni. Aku tak tau harus bereaksi seperti apa.

"Menurut lo gimana?" Dia malah bertanya kepadaku.

"Ya gua gatau. Pilihan ada ditangan lo," ucapku yang setelahnya kami saling terdiam.

*****

Hari kehari hubunganku dengan Beni terlampau dekat. Tak jarang kita bertemu untuk mengutarakan rasa rindu. Kadang sekali duakali dia mendatangi sekolahku bersama teman temannya yang naasnya menarik perhatian anak-anak sekolahku. Bahkan sekarang mereka- teman-temanku tahu kalau aku sedang dekat dengan kapten basket sekolah lain.

Hari ini sekolahku akan sparing basket dengan sekolahnya, yang dimana lapangannha berada disekolahku. Sengaja tak memilih digor karena akan mengeluarkan biaya lagi, selagi ada yang gratis kenapa engga. Aku menyapu lapangan basket yang banyak dedaunan, sedang teman-temanku yang lain ada yang membereskan bangku untuk disimpan dipinggir lapangan. Semuanya begitu kompak menyambut anak basket dari sma Beni.

Anak basket sma Beni datang ketika aku sudah selesai menyapu. Kita- anak basket sekolah ku berjajar dipinggir lapangan untuk menyambut mereka dengan bersalaman. Ketika Beni berada didepanku, aku mengulurkan tanganku untuk berjabatan dengannya. Dia menerimanya dan tetap menahanku untuk terus berjabatan.

"BENI JANGAN MACETIN JALAN! MODUS BAE LO." Teriakan dari teman Beni yang bisa membuat Beni melepaskan jabatan tangannya denganku. Dengan kesal dia pergi berjabatan dengan yang lainnya.

Sparing kali ini sebagai tanda pertemanan kami. Tim yang bermain duluan yaitu tim basket putri. Aku disuruh turun oleh coach ku, padahal aku kira dia akan menurunkan adik kelas untuk belajar menyatu dengan lapangan.

"DINI SEMANGAT." Teriakan Beni mengundang yang lainnya menyorakiku. Aku hanya diam saja ya tentu karena malu.

Setelah selesai sparing anak basket Taruna masih ada disekolahku. Kita berkumpul membentuk lingkaran dibawah pohon rindang. Darisitu kita banyak berkenalan juga berbagi cerita. Gelak tawa menjadi pelengkap dan sorakan godaan kadang mereka lemparkan kepadaku dan Beni. Semuanya mendukung kita untuk selangkah lebih jauh, hanya saja aku masih terlalu nyaman berada diposisi ini.

Daripada disana aku menahan malu, aku bangun untuk beranjak pergi menuju kantin. Kadang aku terlalu malas hanya untuk mengajak teman, ya alhasil aku kemana-mana selalu sendiri. Beni membuntutiku, aku tahu karena dari belakang banyak teman-temannya yang mengatakan Beni akan memodusiku. Aku sih diam saja.

"Bu Edo, otak-otak kentang 1 ya sama es kopinya." Aku memesan sambil berdiri didepan stand Bu Edo. Beni menyusul berdiri disampingku.

"Bu, air mineral satu."

Selagi menunggu pesanan, aku dan Beni hanya berdiri diam. Aku dengan ponselku, dia dengan pandangannya yang menyapu keseluruh penjuru sekolahku. Bahkan ketika pesanan sudah selesai pun kami hanya berjalan diam menuju meja tengah.

"Kenapa diem aja?" Beni memulai percakapan, yang sepertinya tak tahan dengan keadaan hening.

"Dih suka ga ngaca," dengusku. Aku mulai memakan makananku dan menawari dia yang ditolak mentah mentah.

"Sorry gua alergi makanan juga," ucap Beni meringis. Mungkin tak enak karena ini kali kedua ia menolak apa yang aku tawarkan.

Kali aku lebih terkejut. Pasalnya ada gitu ya orang yang tahan untuh tak makan.

"Semuanya?" tanyaku penasaran. Tak mungkin kan semuanya.

"Ngga. Tahu sama kunyit doang yang ga alergi," jawab Beni kepalang santai.

Aku bahkan hampir menyemburkan minuman yang sedang ku teguk, ya alhasil aku tersedak. Beni hendak membantuku tapi aku menahannya seolah hanya hal kecil.

"Kok lo bisa tahan ga makan nasi?"

"Ya mau gimana lagi," ucap Beni acuh tak acuh.

"Tapi berobat jalankan?"

"Jalan, cuma banyaknya minum obat."

"Pasti tersiksa ya," ucapku prihatin. Pake nanya lagi aku.

"Eum mungkin."

Kini keheningan menghampiri kami (lagi). Aku tak tau harus mengobrolkan apa setelah apa yang tadi kita bicarakan. Setelah lama berdiam diri dikantin, akhirnya Beni mengajakku untuk kembali ke lapangan. Kita masih tetap saling diam selama berjalan, sampai akhirnya dia memintaku untuk berhenti dilorong sekolah yang sepi.

"Kenapa? tanyaku penasaran.

"Gua mau ngomong sesuatu."

"Itu lo udah ngomong," ucapku cengengesan.

"Serius Dini." Aku terdiam.

"Gua ga mau basa basi. Gua suka sama lo." Penyataan yang dia lontarkan membuatku diam tak berkutik. Aku tak tau harus merespon apa.

"Gua ga tau sejak kapan gua suka sama lo. Yang gua sadar, semenjak hari pertama kita ketemu lo udah bikin gua tertarik. Mungkin banyak yang bilang ga mungkin cinta pandangan pertama, tapi itu yang gua rasain," terang Beni serius.

"Ben, gua juga mau bilang sesuatu." Beni terlihat kentara kalau dia penasaran dengan apa yang akan aku ucapkan.

"Sebenernya gua juga sama lu," terangku. Terlihat dari raut wajahnya, Beni begiu senang tapi tidak dengan ku.

"Tapi..." Aku menggantungkan ucapanku karena aku yakin dia pasti akan menentang habis-habisan apa yang akan aku ucapkan.

"Kita ga bisa sama-sama."

Beni terdiam ditempat.

"Kenapa?" Dari suaranya jelas sekali parau, raut wajahnya bahkan terlihat kecewa.

"Ada sekat yang menghadang kita."

"Tak terlihat tapi nyata."

"Maksudnya?" Beni sepertinya tak mengerti apa yang aku katakan, ya cukup berat bahasaku.

"Lo dengan perjodohan lo."

Mendengar ucapanku, Beni mengacak rambutnya frustasi.

"Jadi ini alasan lo kenapa kita ga bisa sama-sama?"

Aku diam mengiyakan.

"What do you mean Dini?!"

"Ya jelas jelas kita ga bisa sama-sama karena emang lo udah dijodohin. Lo pikir gua mau sama-sama sama cowo yang hatinya punya dua pelabuhan? Lo pikir gua mau?! ENGGA. Cewe mana sih yang mau hati cowonya dibagi sama cewe lain? Gaada Ben gaada," jelasku dengan nafas terengah engah. Aku lampiaskan perasaan yang sedari itu sudah menggelayut dihatiku.

"Din, kita masih sma soal perjodohan bukan waktu yang pas buat kita obrolin," ucap Beni menyakinkan.

Aku masih dengan pendirianku.

"Terus lo pikir pas udah waktunya lo dijodohin, lo buang gua gitu?." Aku tertawa miris.

"Bukan gitu maksud gua."

"TERUS GIMANA?!"

"Kalo kita sama-sama sekarang, gimana perasaan cewe yang mau dijodohin sama lo? Gua masih mikirin itu Ben, gua ga sejahat itu buat nyakitin perasaan dia karena gua juga tau rasanya, kita sesama cewe kalo lo lupa."

"Kalo juga kita jalanin hubungan ini, dan pada akhirnya gua harus dibuang," jedaku sebentar mengambil nafas.

"Lo nyakitin gua," ucapku sambil menunjuk kedadaku.

"See? Lo nyakitin dua cewe sekaligus."

Ku lihat Beni hanya menatap ubin lorong yang entah dimana hal menariknya.

"Kita ga perlu sama-sama. Cukup gua yang tersakiti jangan dia. Biarin gua yang nanggung rasa sakitnya sekarang dibanding nanti."

"LO EGOIS!" teriak Beni membentakku.

"LO PIKIR KALO KITA GA SAMA-SAMA CUMA LO YANG TERSAKITI? CUMA LO?! GUA JUGA DINI!"

"LO EGOIS CUMA MIKIRIN PERASAAN LO TANPA MIKIRIN PERASAAN GUA. GUA BENER - BENER KECEWA SAMA LO." Usai mengatakan itu Beni melenggang pergi meninggalkanku dikoridor sendirian.

Aku menengadah menahan cairan bening yang hendak keluar dari pelupuk mata. Aku tau aku egois, tapi aku tak mau dia dikutuk semesta karena menyakiti banyak perempuan. Biar aku yang nantinya diliputi penyesalan kedepan, daripada dia terus memupuk perasaannya padaku ketika waktu yang ditunggu datang.

Opsi antara harus bersama-sama atau tidak, tidak segampang itu untuk memilih. Banyak kemungkinan-kemungkinan buruk yang aka menghampiriku dan dia ketika kami memilih bersama. Aku dengan segala cemoohan mereka dan Beni dengan segala penyesalannya.

Detik itu, aku harus merelakan lagi cinta yang tak pernah biisa aku genggam erat. Menguarkan rasa yang telah ku pupuk baik baik. Memetik cinta yang belum tumbuh seutuhnya. Rasaku dan rasamu harus dipaksa sirna karena kita tak bisa bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun