Mohon tunggu...
Albert Tarigan
Albert Tarigan Mohon Tunggu... -

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jejak Hitam di Pintu Akhirat

22 Maret 2011   06:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:34 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PADA suatu sore yang cerah, Senin, 14 Maret lalu, Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Catharina Suryowati menyampaikan satu informasi penting kepada masyarakat melalui konferensi pers kepada beberapa wartawan di Balai Kota, Jakarta. Dari 589,65 hektar luas pemakaman, lahan yang siap pakai untuk pemakaman baru di seluruh wilayah Jakarta hanya 31,8 hektar yang di atas kertas diperkirakan cukup hingga 2013. Adapun lahan seluas 202,21 hektar yang sudah dibeli pemerintah provinsi, tidak terpakai karena belum diuruk. Pengurukan memerlukan dana hingga miliaran rupiah per hektar namun sayangnya, pemerintah Jakarta tidak menganggarkan biaya pengurukan baik pada anggaran tahun lalu maupun tahun ini.

Petang hari sesaat sesudah keterangan pers, beberapa media online di Jakarta sudah memberitakan kabar itu, disusul dengan pemberitaan media cetak keesokan harinya dengan judul, Jakarta krisis lahan pemakaman. Ini menambah daftar masalah genting di Ibukota yang sudah bertahun-tahun secara luas diketahui tak bisa lepas dari belenggu kemacetan. Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Kuntoro Mangkusubroto bahkan memperkirakan Jakarta akan macet total pada tahun 2012 jika tak ada pembenahan serius.

Berdasarkan penjelasan Catharina, masalah pemakaman tidak segawat kemacetan. Pemerintah provinsi bisa mencari solusi dengan segera melakukan pengurukan dengan biaya dari anggaran belanja daerah tahun depan. Jika 202,21 hektar tersebut selesai diuruk, Catharina memperkirakan lahan pemakaman akan cukup digunakan hingga tahun 2021.

Cara lain yang juga sudah diterapkan dan jadi andalan saat ini adalah sistem tumpang dengan menguburkan dua sampai tiga jenazah dalam satu makam, terutama mereka yang memiliki hubungan keluarga. Syaratnya, harus ada izin tertulis atau surat pernyataan dari ahli waris atau pihak yang bertanggungjawab terhadap jenazah yang akan ditumpangi berikut lampiran izin penggunaan tanah makam asli yang masih berlaku. Ada juga sistem tumpang di makam yang izin sewanya tidak diperpanjang lagi setelah masa sewa tiga tahun habis sehingga kedaluwarsa.

Kamis pekan lalu, saya mendatangi gedung perkantoran di Jalan Aipda KS.Tubun Nomor 1 Jakarta Pusat. Tempat ini biasa disebut Palang Hitam atau Palhit oleh reporter yang meliput isu-isu perkotaan. Puluhan reporter kerap duduk-duduk di teras kantor yang stand by 24 jam sembari menunggu kabar penemuan mayat entah karena pembunuhan atau faktor lainnya yang biasa dilaporkan masyarakat. Di sinilah Catharina berkantor, Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta.

Kepada saya, Catharina tidak bisa memastikan luas lahan yang akan diuruk mulai tahun depan. Demikian juga dengan perkiraan ketercukupan lahan baru sebatas asumsi-asumsi longgar sehingga keterangan yang disampaikannya kepada media satu dan media lainnya berbeda-beda. “Mungkin satu, dua hektarlah,” katanya, “Kalau mau ngebut ya lima hektar.”

Dengan kata lain, pengurukan lahan seluas 202,21 hektar paling cepat dirampungkan 40 tahun lagi.

“Tapi bicara penyediaan tanah makam dengan kesempatan masyarakat memakamkan keluarganya di Jakarta lain lagi. Memakamkam bisa di makam tumpangan atau makam kedaluwarsa sehingga bisa jadi more than 2030.”

Keterangan Catharina mengenai lahan tak siap pakai dan perlu pengurukan berbeda dengan penjelasan Suryo Wargo, Sekretaris Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta yang tak lain adalah bawahannya. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, luas lahan yang belum siap pakai atau butuh pengurukan sampai dengan tahun 2010 adalah 128,56 hektar. Keterangan berbeda antara bos dan bawahan ini terjadi karena Catharina menghitung lahan yang hanya perlu dibersihkan seluas 73,65 hektar. Sementara Wargo hanya mengukur lahan yang benar-benar perlu diuruk.

Penjelasan Wargo membingungkan. Jika benar ada lahan yang hanya perlu dibersihkan, total lahan pemakaman di Jakarta seharusnya 589,65 hektar seperti yang disampaikan Catharina bukan 516 hektar seperti yang dikatakannya.

“Catatan saya itu yang benar karena kita melakukan pengukuran ke lapangan, 128,56 hektar itu perlu pengurukan kalau yang lain cuma perlu land clearing aja, ada rumput-rumput,” kata Wargo.

Dalam data yang diberikan Wargo, terdapat asumsi pemerintah jika lahan diuruk akan mampu mencukupi kebutuhan pemakaman hingga tahun 2018. Dinas Pemakaman pernah menargetkan pematangan lahan seluas 18,37 hektar per tahun dan dimulai dari tahun 2011 hingga tahun 2018. Namun, rencana tersebut hanya di atas kertas karena nyatanya tahun ini tidak ada program pengurukan dengan alasan biayanya tidak dianggarkan. Bahkan, seperti disampaikan Catharina, pemerintah hanya mengira-ngira bisa menguruk satu sampai dua hektar mulai tahun depan.

“Ada pengurukan di satu pemakaman tapi bukan buat dipakai untuk makam baru. Di Tanah Kusir. Cuma buat jalan aja, tadinya nggak ada jalan, sekarang ada,” kata Wargo.

Wargo memperkirakan tiap hektar lahan yang belum siap pakai membutuhkan biaya pengurukan antara 1,5 hingga 2 miliar atau minimal 192,84 miliar untuk lahan seluas 128,56 hektar. Lahan yang siap diuruk tersebar di beberapa tempat antara lain pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Pusat; Kampung Kandang, Jakarta Pusat; Srengseng Sawah, Jakarta Pusat, Pondok Ranggon, Jakarta Pusat; Kampung Kandang, Jakarta Pusat; Semper Jakarta Utara; Tegal Alur Jakarta Barat dan Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
II
JIKA anda naik kendaraan dari Terminal Kampung Melayu ke arah Jalan Otista, Jakarta Timur, lalu belok ke kiri setibanya di lampu merah di depan pom bensin menuju kompleks perumahan Pesatuan Wartawan Indonesia, anda akan melewati Taman Pemakaman Umum Cipinang Besar Utara. Areal pemakaman ini secara mencolok terlihat ketika anda sampai di perempatan jalan sesudah melewati jembatan. Belok ke kiri menuju Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti dan jalan lurus menuju perumahan PWI.

Saat berkunjung pada Rabu lalu, saya melihat pemakaman ini tak terawat, terutama di kompleks kuburan orang-orang Cina. Dinding pemakaman penuh coretan, pagar kusam berdebu, bangunan makam pecah dan belumut serta ditumbuhi rumput liar yang tinginya di beberapa tempat kurang lebih mencapai dua meter. Tak heran, tempat ini dimanfaatkan warga sekitar untuk mengembalakan puluhan ekor kambing. Selain tak terawat, kuburan ini juga mengeluarkan kesan angker.

Memasuki areal pemakaman muslim, saya bertemu Amir, pemuda duapuluhan tahun yang ketika itu sedang makan siang, rambutnya ikal dan mengaku sebagai penggali kubur.

“Berapa biaya pemakaman jenazah baru di sini?”

“Kalau di sini. A I satu setengah juta, tempatnya enak, gampang kalau ziarah,” kata Amir, “Tapi kalau mau yang murah ada A II di belakang.”

“Mahal juga ya, enggak bisa kurang?”

“Ya bisa negolah, kita bantu, istilahnya kan kita juga mbantu.”

“Itu sudah sama penyewaan tenda waktu acara pemakaman?”

“Kalau sama tenda lain lagi, bisa nyewa tenda yang biasa buat kawinan atau tenda terpal itu.”

Keterangan yang nyaris sama juga saya terima saat menyambangi Kantor TPU Cipinang Besar yang berada persis di depan kompleks pemakaman. Suasana kantor siang itu sedang sepi karena pas jam makan siang. Saya disambut Indra, seorang pria paruh baya yang mengaku sebagai koordinator lapangan atau mandor penggali makam dan Heru, anggota satuan pengamanan setempat.

Mendapat kabar perwakilan Dinas Pemakaman sedang tidak di tempat, saya menanyakan hal yang sama kepada Indra. Harga yang ditawarkan 2,5 juta, lebih mahal dari yang disampaikan Amir. Harga ini belum termasuk biaya penyewaan ambulans yang dipatok senilai enam ratus ribu rupiah dan biaya perawatan makam tiap bulan yang besarnya bervariasi antara 50-200 ribu rupiah, tergantung keikhlasan ahli waris. Sekali lagi masih bisa dinegosiasi.

“Dua setengah juta itu di bagian mana pak?”

“Di A I, tempatnya di depan sini,” katanya seraya menunjuk ke arah makam.

“Waduh mahal juga ya pak.”

“Ya nanti pasti kita bantulah (harga masih bisa kurang). Itu kan soalnya sekalian kita tata juga nanti. Ini kan nggak beraturan.” Indra merujuk letak makam yang tampak berantakan. “Dulu koordinator sebelum saya, sembarangan aja. Asal dapat duit.”

Biaya pemakaman jenazah baru sebenarnya sangat murah dan sudah diatur secara jelas oleh Pemerintah Jakarta. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pemakaman, pemerintah menetapkan retribusi pelayanan pemakaman yang besarnya sesuai Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006. Biaya pemakaian tempat pemakaman bervariasi dari nol sampai paling mahal seratus ribu rupiah untuk jangka waktu tiga tahun.

Blok AA I sebesar seratus ribu rupiah, Blok AA II sebesar delapan puluh ribu rupiah, Blok A I sebesar enampuluh ribu rupiah, Blok A II sebesar empat puluh ribu rupiah dan Blok A IIII untuk jenazah terlantar dan tidak diketahui ahli warisnya sebesar nol rupiah.

Ahli waris bisa memperpanjang kontrak setelah tiga tahun pertama dengan membayar perpanjangan sewa lima puluh persen dari biaya sewa sebelumnya. Biaya perpanjangan meningkat menjadi seratus persen pada perpanjangan tiga tahun kedua dan seterusnya.

Pemerintah akan menggunakan kembali tanah makam untuk pemakaman ulang jika ahli waris tidak memperpanjang sewa tanah atau kedaluwarsa.

Sementara biaya pemakaian kendaraan jenazah dan kelengkapannya dipatok seharga seratus ribu untuk dalam kota dan 1500 per kilometer untuk perjalanan ke luar kota. Namun di lapangan seperti penawaran Indra, biaya sewa Ambulans bisa naik enam kali lipat jika tak ditawar.

Menariknya, di pemakaman Cipinang Besar kabar krisis lahan terasa masih sangat jauh. Jika ditanyakan kepada penggali kubur dan mereka yang mengaku selalu “siap membantu” pemakaman 24 jam, lahan masih banyak dan gampang dicari. Meskipun sejauh mata memandang, jarak makam yang satu dan yang yang lain sudah sangat berdekatan. Hanya beberapa jengkal orang dewasa. Bahkan beberapa makam muslim sudah memasuki lahan untuk umat budha.

“Baru,” kata Indra ketika ditanya apakah lahan yang digunakan baru atau menumpang.

Hal yang sama juga terjadi di pemakaman Menteng Pulo, satu pemakaman paling padat di daerah Setiabudi dan Tebet, Jakarta Pusat. Pemakaman ini terletak di wilayah strategis, dijepit oleh gedung-gedung pencakar langit perkantoran tak jauh dari wilayah Kuningan. Di antaranya Hotel The Park Lane dan Puri Casablanka. Pada tahun 1992, pemerintah Jakarta setuju tukar guling tanah pemakaman ini seluas 10.646 meter persegi kepada PT Bakrie Swasakti Utama, perusahaan milik konglomerat Aburizal Bakrie. Sebagai gantinya, Bakrie bersedia menyediakan lahan seluas 2,5 hektare untuk pemakaman di Kampung Kandang, Jagakarsa, Ciganjur, Jakarta Selatan.

Di Menteng Pulo, harga yang ditawarkan para penggali makam juga tak jauh beda dengan yang di Cipinang Besar, yakni 1,5 hingga 2 juta termasuk tenda, rumput dan batu nisan.

“Enggak usah pakai tenda biar murah. Cuma 1,5 juta,” kata seorang pria paruh baya yang menyebut namanya “Banteng” dan juga mengaku siap dihubungi 24 jam.

“Syaratnya cukup keterangan surat kematian aja dari rumah sakit, sama pengantar RT dan RW,” katanya meskipun sesuai aturan makam tumpang harus mendapat izin ahli waris.

Banteng mengatakan, sudah tidak ada lahan kosong di Menteng Pulo untuk pemakaman baru. Semua jenazah dikebumikan dengan sistem tumpang.

Saya sempat berjalan beberapa ratus meter di areal makam. Di sana-sini tampak makam yang tertutup semak belukar, pepohonan dan rumpu liar setinggi kurang lebih dua meter. Ada tukang ojek, warung makan, juga lagi-lagi kawanan kambing.

Harga yang sama juga ditawarkan saat saya mendatangi pemakaman Karet Bivak di Jakarta Pusat.

Pemakaman Cipinang Besar, Menteng Pulo dan Karet Bivak adalah tiga dari tujuh puluh delapan tempat pemakaman umum di seluruh Jakarta yang totalnya menurut Wargo mencapai lebih dari 516 hektar. Luas Cipinang Besar mencapai 160.190 meter persegi, Menteng Pulo mencakup areal seluas 413.207 meter persegi dan Karet Bivak seluas 161.861. Meski para penggali makam kerap mengklaim masih banyak lahan baru yang bisa digunakan, data dari Wargo menunjukkan sebaliknya. Ketiga kompleks pemakaman itu sudah penuh.

Dari tujuh puluh delapan kompleks pemakaman, hanya delapan yang belum penuh. Berikut datanya, luas dalam meter per segi.

1. Bulak Turi Cilincing, Luas 4000
2. Semper Cilincing, Luas 575.660
3. Tegal Alur I/II Kalideres, Luas 628.826
4. Kampung Kandang Jagakarsa, Luas 229.416
5. Tanah Kusir I/II Kebayoran Lama Luas 519.858
6. Jeruk Purut Pasar Minggu Luas 91.210
7. Pondok Ranggon Cipayung Luas 593.534
8. Pondok Kelapa Duren Sawit Luas 442.921

Selain itu, terdapat dua tempat pemakaman berupa tanah kosong yakni Pegadungan, Jakarta Pusat seluas 65.943 meter per segi dan Rorotan, Jakarta Utara seluas 16.700 meter per segi.
III
KETIKA tengah tawar-menawar harga pemakaman siang itu, tiba-tiba Amir nyeletuk, “kalau ngeliat tukang gali kubur bengong kagak ada kerjaan, jangan mikir oh dia ngarepin orang mati biar ada rezeki,” katanya sembari membetulkan letak topinya dan menatap tajam ke arah saya. Di giginya tampak banyak sisa makanan. Ia sedang makan saat saya datang dan berhenti sementara walau makanannya belum habis untuk berbincang dengan saya. Tanpa minum terlebih dahulu.

Berapa sebenarnya perputaran uang dari kegiatan pemakaman di seluruh Jakarta tiap tahun? dan berapa biaya yang dianggarkan pemerintah untuk pemakaman?

Pada tahun 2000, Dinas Pemakaman memproyeksikan penduduk Jakarta berjumlah 8.385.639 jiwa, rata-rata pelayanan jenazah 100 jiwa per hari atau 36.500 jiwa per tahun. Artinya, tingkat kematian penduduk pada tahun itu adalah 0.44 persen. Lima tahun kemudian, jumlah penduduk meningkat menjadi 8.699.600 jiwa dengan rata-rata pelayananan 110 jenazah per hari atau 40.150 jiwa per tahun. Tingkat kematian juga naik menjadi 0.46 persen. Angka ini kembali naik menjadi 0.50 persen pada tahun 2007. Proyeksi penduduk Jakarta saat itu berjumlah 8.814.000 jiwa dengan rata-rata pelayanan 120 jenazah per hari atau 43.800 per tahun.

Dari ketiga data tersebut, Dinas Pemakaman menarik kesimpulan persentase tingkat pelayanan kematian di Jakarta mencapai 0.46 persen per tahun.

Jika diasumsikan tiap tahun tingkat kematian mencapai 40 ribu jiwa dan orang harus mengeluarkan biaya pemakaman sekira dua juta per satu jenazah, jumlah uang yang beredar mencapai 80 miliar per tahun. Uang ini berasal dari akumulasi retribusi sewa lahan, biaya ambulans, penyewaan tenda, pembuatan batu nisan, pengadaan rumput, pemeliharaan makam dan upah para penggali. Tak mengherankan, pada tahun 2010 saja, Wargo mengatakan retribusi makam yang berhasil dikumpulkan lembaganya mencapai 7,9 miliar rupiah.

Namun, jumlah bersih yang diterima penggali masih gelap karena upah untuk mereka diatur koordinator lapangan atau mandor semacam Indra. Selain itu, proses pergantian penggali makam juga termasuk tinggi karena mereka bebas datang dan pergi.

Leofold Batubara, Kepala Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Pusat menyebut para penggali makam sebagai “pencari nafkah” yang datang silih berganti tanpa ada ikatan resmi dengan pemerintah. Leo berperawakan sedang dan jika sedang semangat berbicara, dialek Bataknya sangat kental dan volume suaranya meninggi.

Ditemui di kantornya yang berjarak kira-kira seratus meter dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Kamis pekan lalu, Leo menjelaskan ihwal perputaran uang sambil mondar-mandir di kantornya yang sejuk . Meski terlihat kurang nyaman, ia tetap menjelaskan dengan antusias. Kata Leo, pemerintah hanya mensubsidi biaya penggalian sebesar 300 ribu per makam. Tiap makam biasanya digarap oleh tujuh sampai delapan orang –di beberapa tempat kami menjumpai ada juga yang hanya dikerjakan oleh 2 sampai 4 orang.

Para penggali kubur tidak mendapat gaji per bulan. Oleh karena itu, harga per paket pemakaman yang ditawarkan mandor untuk penggalian makam baru macam-macam dari 1,2 juta hingga 2,5 juta untuk tambahan penghasilan. “Kita hanya memberikan subsidi. Selebihnya ditanggung masyarakat,” kata Leo.

“Tetapi biaya retribusi yang masuk ke kas pemerintah tetap sesuai tarif yang ditentukan peraturan daerah. Tahun 2010 retribusi dari Suku Dinas Pemakaman Jakarta Pusat mencapai 1,3 miliar.”

Penjelasan Leo bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Menurut Hasan dan Ono, dua penggali kuburan dan perawat kuburan di Pemakaman Karet Bivak, pembayaran retribusi untuk jenazah baru paling murah 300 ribu dan paling mahal 500 ribu. Hal ini masih ditambah 600 ribu untuk ongkos penggalian. “Bersihnya kalau (makam) baru itu sekitar satu juta seratus sampai satu juta tiga ratus,” kata Hasan.

“Itu yang memungut mandor dari Taman Pemakaman.”

Bagaimana menjelaskan perbedaan ini?

“Jangan berfikir mereka korupsi,” tutur Leo, “tetapi mereka mencari lebihnya dari pada pekerjaan dia, karena dia bukan pegawai,” katanya dengan suara meninggi. Ia yang sebelumnya mondar-mandir tiba-tiba berhenti menatap serius ke arah saya.

Intinya, Leo mengatakan, para penggali makam tidak berubah mejadi jutawan dari profesi mereka. Alasannya, jumlah orang mati tidak pernah diprediksi sementara kebutuhan sehari-hari rumah tangga penggali makam harus terpenuhi tiap hari. Dalam banyak kasus, biaya pemakaman yang mencapai 2,5 juta juga tidak terlepas dari permintaan anggota keluarga yang meninggal misalnya, meminta tenda, memesan batu nisan, perawatan dan pembersihan makam dan lain-lainnya. Leo benar dalam hal permintaan warga. Dengan berapi-api ia kembali menunjukkan sisi manusiawi penggali makam.

“Kalau misalnya minggu ini enggak ada yang meninggal,” katanya, “maka dia punya utang di warung.”

“Ini permasalahan pengangguran, siapa yang mau jadi penggali makam? maka hargai mereka, jangan berfikir uang yang mereka keluarkan tadi terus kita anggap korupsi, mereka sebagai penggali liang lahat seharusnya kita kasih reward kepada mereka. Bagaimana sudah jaman modern ini kok hidupnya masih tukang gali kubur?”

“Kalau banyak duitnya jadi tukang gali kubur,” Leo melanjutkan, “kita semua jadi tukang gali kubur aja. Jangan kau pikir banyak duitnya!”

Jika Leo memaklumi pungutan-pungutan liar itu, sebaliknya dengan Wargo. Sesuai peraturan daerah dalam setiap pemakaman satu jenazah baru, masyarakat sebetulnya tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan di luar retribusi resmi yang ditetapkan pemerintah. Dengan kata lain, “paling mahal 100 ribu.” Kecuali jika ahli waris sendiri yang menginginkan atau meminta fasilitas di luar yang di tanggung pemerintah seperti tenda, kursi, rumput atau sound system. Bahkan, masyarakat tidak mampu bisa memperoleh pemakaman gratis.

“Plaket pun sebenarnya tidak perlu karena kita ada program plaketisasi seluruh makam tiap tahun yang dibiayai APBD. Tahun ini dianggarkan 1 miliar,” katanya, “tapi kan kadang ahli waris itu enggak sabar dan ingin berkorban untuk keluarganya. Masang sendiri biar bagus.”

Masyarakat juga tak perlu membayar biaya penggalian dan penutupan liang lahat karena sudah ditanggung pemerintah dengan subsidi 300 ribu per makam, kecuali diberikan dengan sukarela. Meski demikian, Wargo tak menutup mata dengan pungutan-pungutan liar dari calo yang mengaku siap membantu 24 jam seperti di pemakaman Cipinang Besar, Menteng Pulo dan Karet Bivak. Bahkan kadang Masyarakat juga susah membedakan penggali kubur yang ditugaskan pemerintah dengan calo.

Kata Wargo, “Tiap kita ke kuburan saja sudah dikeroyok calo-calo itu kayak kita ke Polda ada yang nawarin bisa ngurus cepet. Kita enggak mungkin mengusir mereka.”

Di akhir pembicaraan kami, Wargo memberikan masukan bagaimana mendapatkan biaya pemakaman murah seperti yang diatur dalam peraturan daerah. Pertama, jangan menggunakan jasa calo dan uruslah izin pemakaman secara resmi ke kantor pengelola taman pemakaman umum. Pastikan orang yang berurusan dengan anda memakai seragam dinas pegawai negeri sipil Dinas Pertamanan dan Pemakam.

“Jangan asal ketemu orang di pemakaman, ngaku-ngaku bisa mbantu. Itu calo.”

Pada Sabtu pekan lalu, saya mengunjungi Tempat Pemakaman Umum Joglo, Jakarta Barat, untuk melihat bagaimana peraturan ini dijalankan. Di tempat ini juga banyak makam yang tak terwat dan titmbuhi rumput liar setinggi hampir satu meter.

Di bawah langit mendung beberapa orang sedang berziarah ke makam sanak saudara mereka. Salah satunya Elida, ibu berusia 52 tahun, asli Padang dan tinggal di Ciledug Indah, Tangerang. Bersama seorang saudaranya, Elida membacakan surat yasin, menabur bunga dan menyiram makam suaminya yang meninggal Februari 2011 lalu dengan sebotol air mawar.

“Ibu kemarin bayarnya berapa untuk pemakaman?”

“Dua juta lima ratus mas.”

Mengutip peraturan daerah, saya menjelaskan seharusnya ia tak perlu mengeluarkan biaya sebanyak itu, namun Elida mengaku tidak tahu.

“Waktu memakamkan, Ibu berhubungan dengan petugas memakai pakaian dinas”

“Enggak. Ini orangnya,” katanya.

Elida menunjuk seorang pria berperawakan gemuk, berkumis tebal, dan menyisir rambutnya dengan belahan di tengah. Sebelumnya pria ini duduk di bawah pohon berjarak sekira 4 meter dari tempat saya dan Elida berbincang. Tanpa dimintai pendapat, dengan nada tinggi dia menyela pembicaraan kami. Sama seperti alasan penggali kubur lainnya, ia beralasan biaya sebesar itu untuk membeli batu nisan dan membayar tukang gali yang tidak digaji pemerintah.

“Soalnya kita enggak dapat gaji. Jadi kita Cuma dari itu aja.”

“Kan ada subsidi dari Pemda 300 ribu:”

“Apaan enggak pernah ada. Saya dari tahun 1992 di sini enggak pernah dapat. Paling cuma tiga bulan sekali dipanggil dibagi, itu pun enggak 300 ribu.”

Suami Elida sebenarnya dimakamkan dengan sistem tumpang bersama dua orang anaknya. Saat menggunakan jasa penggali kubur Februari lalu, ia terpaksa mengeluarkan biaya tambahan sebesar 500 ribu karena si penggali sempat keliru menggali makam milik orang lain. Biaya itu digunakan untuk mengganti batu nisan yang rusak saat proses penggalian.

Langit makin mendung dan hembusan angin berubah dingin. Saat rintik-rintik hujan mulai berjatuhan saya menyambangi Marloh sihombing, seorang pegawai swasta, yang belum lama ini mengebumikan anggota keluarganya di Joglo. Kepada saya, Marloh mengaku sebenarnya ia keberatan dengan pungutan liar tersebut. Tetapi, masyarakat seperti tak punya pilihan lain selain menerima. Secara psikologis, Marloh juga malas berdebat dengan petugas atau calo pemakaman karena sedang berduka dan menghormati kerabat mereka yang meninggal.

“Kan enggak mungkin juga kalau gara-gara itu kita komplain dan enggak jadi dikuburin,” katanya.

“Kalau sedang berduka cita kita tidak memikirkan biaya, dimintanya segitu ya kita bayar juga,” kata Istri Marloh menambahkan.

Beberapa anggota masyarakat yang saya temui juga menyampaikan cerita yang sama. Banyak yang mengaku tidak tahu peraturan pemerintah mengenai retribusi pemakaman. Oleh karena itu, kerap terdengar harapan agar pemerintah melakukan sosialisasi, misalnya dengan menempel pengumuman di kantor pengelola pemakaman atau di areal pemakaman.

“Sudah kita tempel,” kata Wargo saat dikonfrimasi.

Saat akan meninggalkan Joglo, saya berjalan hati-hati agar tidak menginjak makam. Jalan untuk pengunjung di tempat ini kian menyempit karena dipakai untuk pemakaman. Begitu menginjakkan kaki di luar kompleks pemakaman, saya menerawang ke sekeliling namun sama sekali tak menemukan sosialisasi yang dimaksudkan Wargo.

Saya beruntung, sebelum angkat kaki lebih jauh, bertemu dengan penggali kubur yang tercatat resmi di kantor pengelola Joglo. Ia mengaku bernama Piih. Pemakaman Joglo tercatat memiliki 19 orang penggali makam, di luar itu masih terdapat 60 orang lainnya yang tak tercatat.

Pembagian uang subsidi penggalian dan penutupan makam sebesar 300 ribu dari pemerintah biasanya dialkukan secara bergilir. Kesembilan belas orang tersebut dibagi menjadi dua kelompok dan masing-masing bertugas secara seminggu secara bergiliran.

“Jadi enggak semau kita” katanya, “Semua ada ketentuannya.“

Di luar itu, Piih dan kawan-kawannya masih mendapat uang tambahan dari kantor pemakaman sebesar 50 ribu untuk uang minum dan 200 ribu untuk penggalian.

“Kadang-kadang dapat uang “kerohiman” dari ahli waris, yah paling besar seratus sampai dua ratus lah.”

Beberapa ratus meter dari Kompleks Pemakaman, saya menemui Andi, seorang perajin batu nisan sekaligus penjual rumput untuk kebutuhan makam guna memperkirakan tingkat kewajaran pungutan liar yang ditawarkan calo. Kata Andi, harga satu plaket yang sesuai standar Dinas Pemakaman dan paling sering dibeli masyarakat hanya 500 ribu. Ini plaket berkwalitas paling bagus dengan tulisan memakai cat keemas-emasan. Plaket biasa dengan bahan marmer berukuran 20x20 sentimeter hanya dijual 250 ribu. Masih bisa ditawar!

Untuk menilai temuan di lapangan dan menganalisis keterangan Dinas Pertamanan dan Pemakaman saya menghubungi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), lembaga swadaya masyarakat yang dipercaya kredibilitasnya dalam meneliti anggaran pemerintah.

Hasilnya memprihatinkan. Kordinator Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi mengatakan program pelayanan pemakaman jenazah bagi keluarga miskin untuk tahun 2011 hanya dianggarkan sebesar 536 juta untuk seluruh Jakarta. Jumlah ini turun drastis karena pada tahun lalu, masih dianggarakan sebesar 5.2 miliar. Secara keseluruhan Dinas Pertamanan dan Pemakaman memperoleh pagu anggaran sebesar 546 miliar. Dari jumlah tersebut, sebanyak 76 miliar di antaranya digunakan untuk pemakaman.

Uchok juga mengkritisi biaya yang dibebankan kepada masyarakat jika menggunakan mobil pengantar jenazah ke luar kota.

Anggaran untuk upah atau jasa operasional pengemudi dan pembantu pengemudi kendaraan jenazah ke luar kota setiap tahun selalu dianggarakan. Tahun lalu, pagu anggarannya sebesar 276 juta dan pada tahun ini naik menjadi 283 juta. “Dengan adanya upah untuk sopir ini sebetulnya pengantaran jenazah ke luar kota tidak perlu dibayar oleh ahli waris orang yang sudah meninggal,” katanya. “dan sebetulnya pemerintah Jakarta harus berterimakasih kepada keluarga yeng meninggal karena jenazahnya tidak dikubur di Jakarta.”

Masyarakat juga tidak perlu repot-repot mengeluarkan biaya untuk plaket makam. Setiap tahun, anggaran untuk Plaketisasi selalu ada. Tahun ini, misalnya, anggaran Plaketisasi sebesar 4.2 miliar, bukan 1 miliar seperti yang disampaikan Wargo.

Bagaimana dengan pemakaman kumuh dan tak terawat seperti di Cipinang Besar dan Menteng Pulo? “Itu tak perlu terjadi,’ kata Uchok.

Saat menganalisis anggaran Dinas Pertamanan dan Pemakaman tahun 2011, Ia menemukan tiap kompleks pemakaman mendapat alokasi dana sebesar 500 juta rupiah per tahun. Khusus Cipinang Besar tahun ini mendapat anggaran sebesar 593 juta untuk program pemeliharaan sarana prasarana. Program itu dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama berlangsung antara Januari sampai Juni 2011 dengan biaya 243 juta. Sedangkan tahap kedua berlangsung sejak Juli sampai Desember 2011 dengan alokasi anggaran sebesar 350 juta.

Uchok juga menguatkan pernyataan Wargo bahwa masyarakat seharusnya tidak dikenai biaya apa pun dalam penggalian dan penutupan makam. Karena anggaran untuk pengalian dan penutupan makam sudah tersedia dalam APBD tahun 2011 sebesar 5.8 miliar.
IV
BAGAIMANA anda ingin dikubur atau mengubur orang yang anda kasihi kelak? Makam sendiri? Menumpang makan orang lain? Atau makam anda ditumpangi? Lalu, tempatnya nyaman atau terkesan angker?

Bagi mereka yang berduit, persoalan pemakaman tentu bukan masalah karena bisa memilih liang lahat di pemakaman yang dikelola swasta dengan harga khusus untuk kantong orang kaya. Sementara masyarakat umum dengan penghasilan pas-pasan agaknya tak punya pilihan selain menerima kondisi sekarang ini.

Dari data Dinas Pemakaman yang disampaikan Wargo, pemerintah Jakarta sudah menyusun proyeksi penduduk hingga tahun 2025 berdasarkan penghitungan Badan Pusat Statistik, sekaligus proyeksi kematian dan kebutuhan lahan. Satu petak makam dialokasikan 5,5 meter per segi. Dari luas lahan 128,56 hektar yang masih harus dimatangkan sekarang ini ditambah kombinasi makam tumpang yang mampu menghemat pemakaian lahan hingga rata-rata 1,75 hektar per tahun, pemerintah memperkirakan lahan pemakaman akan mencukupi hingga tahun 2018.

Tahun Jumlah Penduduk Jumlah Kematian Kebutuhan Lahan Akumulasi Kebutuhan Lahan
2011 9.022.100 41.502 22,83 -
2012 9.063.000 41.690 22,93 22,83
2013 9.101.20041.866 23,03 45,76
2014 9.136.800 42.030 23,12 68,78
20159.168.500 42.176 23,20 91,90
2016 9.193.500 42.291 23,26 115,10
2017 9.216.400 42.396 23,32 138,36
2018 9.236.500 42.488 23,37 161,67
2019 9.252.200 42.561 23,41 185,04
2020 9.262.600 42.608 23,43 208,45
2021 9.269.300 42.639 23,45 231,88
2022 9.273.100 42.657 23,46 255,34
2023 9.272.900 42.656 23,46 278,80
2024 9.268.600 42.636 23,45 302,26
2025 9.259.900 42.596 23,43 325,71

Sekilas proyeksi di tersebut tampak sangat bagus dan membuncahkan optimisme. Namun, seperti banyak program pemerintah di bidang lainnya, pemerintah Jakarta juga mengidap penyakit “konsep bagus tapi lemah implementasi. Kelemahan sudah tampak jelas karena rencana pengurukan lahan 18,37 hektar yang rencanya dimulai tahun ini nyatanya tidak terlaksana.

Dalam APBD tahun 2011 memang ada biaya pengurukan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, sebesar 1 miliar. Tapi seperti yang dijelaskan Wargo, pengurukan itu bukan untuk lahan pemakaman baru, hanya untuk membuatkan jalan dan penataan. Selain itu juga ada anggaran pembebasan lahan untuk perluasan pemakaman di Pemakaman Srengseng Sawah, Jakarta Selatan seluas 1570 meter per segi dengan biaya 2 miliar,pembebasan lahan untuk Pemakaman Cilangkap, Jakarta Timur dialokasikan 6,6 miliar dan penataan Pemakaman Karet Bivak sebesar 3 miliar. Totalnya secara keseluruhan mencapai 12,6 miliar.

Pada bagian akhir analisisnya, Uchok menyimpulan, pemerintah dan DPRD Jakarta benar-benar keterlaluan karena tak lagi mempedulikan anggaran untuk jenazah keluarga miskin.

“Dari semua permasahaan di atas, yang paling menyedihkan adalah target restribusi daerah untuk “orang mati” pada wilayah pemakaman tahun 2011 sebesar 9,5 miliar,” katanya.

(Dede Rohali turut membantu bahan cerita ini)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun